Mohon tunggu...
Sahroha Lumbanraja
Sahroha Lumbanraja Mohon Tunggu... Teknisi - Masih percaya dengan Cinta Sejati, Penggemar Marga T..

When You Have nothing good to say, Then Say nothing!!! Email: Sahrohal.raja@ymail.com IG: @Sahroha

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tayangan Tak Berkualitas, Cukup Serahkan ke Remote?

10 September 2014   01:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:10 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="614" caption="Image/blogspot.com"][/caption]

Jika penulis ditanya mengenai kualitas acara televisi saat ini secara keseluruhan, maka jawabannya masih tetap sama dengan sebelumnya, yakni tidak berkualitas! Benar, masih ada secuil program tv yang layak tonton, tapi over all dari semua kategori program acara, televisi belum menunaikan tugasnya sebagai media hiburan yang edukatif. Semua masih berlandaskan rating, share yang berujung pada Profit dengan berlandaskan azas bisnis. Televisi berita kini telah beralih fungsi menjadi kuda tunggangan elite politik, program acara talent search juga hanya menjual drama dan sensasi juri-jurinya dengan pendapat-pendapat kontroversial yang sengaja dilakukan untuk mencari perhatian, sinetron menjadi ajang mempertntonkan kekerasan, penindasan hingga kehidupan hedonisme. Acara musik berubah menjadi ajang gosip dan membuka aib presenternya agar laku, acara bakat anak-anak semuanya bermaterikan lagu dewasa dan masih banyak lagi. Hal terbaik yang mampu disuguhkan oleh televisi saat ini adalah menayangkan ulang acara televisi asing yang memang kontennya lebih baik dari produksi anak negeri. Sayangnya, semakin lama stasiun televisi telah membunuh identitasnya sebagai industri kreatif karena lebih banyak meniru.

Tanpa menyebutkan televisi berita yang menjadi kuda elite politik membangun citra dan menjatuhkan citra lawanpun, rasanya kita semua sudah tahu televisi yang mana maksud penulis. Acara pencarian bakat ‘Indonesia Mencari Bakat’pun telah memulai debutnya dengan menayangkan babak penyisihan di Trans Tv, masih sangat baru telah menuai sensasi dengan rekayasa Walkoutnya Soimah karena Komentar Dedi Corbuzier yang sama-sama juri di ajang tersebut. Hal lain yang ditawarkan adalah drama ‘suka-sukaan’ antara Dedi dan Titi Rajo Bintang di panel juri, padahal kebanyakan pesertanya adalah anak-anak berbakat usia 6-12 tahun. Pentingkah mereka melihatnya? Belum lagi acara pencarian bakat nyanyi anak-anak bertajuk La Academia di SCTV yang semua kontestan anak menyanyikan materi lagu dewasa. Apa unsur anak-anaknya?

Beralih dari Ajang Pencarian Bakat, sinetron juga menyumbangkan sumbangsih yang teramat buruk untuk pemirsanya. Ajang rebut suami di sinetron Catatan Hati Seorang Istri dan kejahatan bertubi-tubi si tokoh antagonis tak berkesudahan dihiasi umpatan-umpatan serta rencana-rencana yang sangat jahat kepada tokoh teraniaya, Dewi Sandra seolah menggambarkan bahwa hal tersebut lumrah terjadi ddi kehidupan nyata. Apa mengajarkan ketabahan seorang istri yang diperlakukan sedemikian kejamnya dan disarankan menerima semua perlakuan jahat dengan sabar?. Acara yang sangat digandrungi anak remaja, Ganteng-Ganteng Serigala juga menampilkan latar belakang pelajar di sebuah sekolah, anehnya yang dipertontonkan adegan gigit-menggigit tanpa ada adegan belajar atau ujian atau apalah yang berkaitan dengan budaya sekolah. Apa yang didapatkan oleh pemirsa televisi? Adakah nilai yang patut dicontoh? Ini belum membahas sinetron ‘Emak Ijah Pengen Ke Mekkah’ yang belakangan ceritanya justru ngawur dengan trio ubur-uburnya. Jangan ngarep materinya berbau islami.

“Loh, kan tinggal pencet remote untuk ganti channel!”

Ini mungkin tanggapan banyak orang untuk artikel-artikel Penulis yang sangat banyak berisi protes terhadap tayangan televisi. Salah? Tentu tidak, benar saja pemilihan suatu tayangan memang menjadi hak dari pemirsa televisi. Tapi bukankah dengan membiarkannya tanpa bertindak sesuatu, kita telah menonton pembodohan itu terjadi dan berkembang biak sedemikian cepatnya? Frekuensi yang dipakai televisi dalam menayangkan siarannya bukanlah milik mereka secara pribadi, Frekuensi itu adalah sewaan dan merupakan milik dari Publik seperti tertulis dalam UU Penyiaran No. 35/2002. Jadi tidak seharusnya mereka menggunakannya untuk tayangan yang berakibat pada pembodohan publik.

Protes terhadap tayangan televisi memang sudah ada sejak lama lalu apa yang kita harapkan dari sebuah artikel/opini yang berisi kritik terhadap tayangan-tayangan tersebut? Toh, produser juga belum tentu membaca atau bahkan melihat artikelnya kan? Lagian suatu tayangan pasti memiliki penggemar tertentu. Berlebihan!

Ini kemudian yang menjadi pandangan yang salah. Tujuan dari berbagi opini di blog keroyokan seperti Kompasiana tentu saja ingin menyebarluaskan hal-hal baik agar setidaknya mampu mengubah mindset masyarakat luas supaya tidak terjebak terlalu jauh dengan tayangan tak berkualitas di televisi. Biarkan saja Produser televisi mengacuhkannya, bukankah sasaran yang ingin digapai adalah masyarakat yang notabene adalah juri tak langsung dari awetnya suatu tayangan. Jika saja pemirsa televisi lebih peka terhadap nilai apa yang ingin disampaikan suatu acara, maka siaran yang awet di tv tanah air pastilah yang sarat akan kualitas bukan kuantitas. Inilah yang menjadi goal dari Penulis atau siapapun yang mengkritisi tayangan televisi.

Berbicara mengenai siaran Publik, bukan masalah selera atau tidak. Tetapi ini adalah masalah layak atau tidak suatu program acara ditayangkan. Percaya atau tidak, Televisi sangat potensial mengubah cara berpikir dan kebiasaan masyarakat hingga ke pelosok nusantara sebagaimana luasnya jangkauan siaran. Jadi, jika saja para pelaku televisi ikut serta dalam tujuan negara yakni mencerdaskan kehidupan Bangsa, maka itu akan sangat berpengaruh besar. Sayangnya, Televisi sekarang sangat menjunjung tinggi prinsip industrialis dan profit. Sehingga acuannya dalam menayangkan suatu program adalah meraih iklan sebanyak-banyaknya dengan segala cara. Sehingga kualitas dan nilai edukatif menjadi nomor ke sekian. Maka yang laku di televisi Indonesia adalah kontroversi dan sensasi.

Harapan Penulis adalah semoga saja pemirsa televisi lebih kritis dan tidak menelan bulat-bulat apa yang ditonton di televisi. Melihat banyaknya kasus kriminal yang terjadi akhir-akhir ini dan persis sama dengan adegan di televisi maka sangat dikhawatirkan efek negatif dari tayangan televisi. Tak hanya itu, diam dan mengganti remote untuk memilih channel yang tepat juga tak cukup baik untuk mengkritisi siaran televisi. Justru diam akan dianggap sebagai tindakan setuju akan menjamurnya acara televisi yang tidak berkualitas. Berbeda dengan pengguna tv Kabel yang memiliki banyak opsi tayangan, Mayoritas penduduk Indonesia masih menggunakan teresterial yang gratisan dan dicecoki dengan tayangan-tayangan yang itu-itu saja. Jadi jika tidak bisa menggerakkan pemilik televisi dalam memproduksi siaran berkualitas, setidaknya bisa menginformasikannya melalui tulisan kepada sesama masyarakat. Dari 10 orang yang membaca, semoga satu diantaranya memiliki pola pikir baru yang lebih cerdas dan kritis. Salam Cerdas menonton televisi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun