Mohon tunggu...
Sahroha Lumbanraja
Sahroha Lumbanraja Mohon Tunggu... Teknisi - Masih percaya dengan Cinta Sejati, Penggemar Marga T..

When You Have nothing good to say, Then Say nothing!!! Email: Sahrohal.raja@ymail.com IG: @Sahroha

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Terlalu Cerewet? Sebaiknya Anda Menulis...

12 Februari 2015   17:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:20 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Wordpress.com

Teringat ketika zaman Sekolah Dasar dulu, tepatnya 16 tahun yang lalu liburan selalu menjadi pengumuman paling menyenangkan dan ditunggu oleh murid. Sayangnya ketika masa liburan habis, biasanya menjadi kejengkelan tersendiri karena seperti rutinitas, Guru akan meminta muridnya untuk membuat karangan berupa aktifitas semasa liburan. Ini menjadi sangat membosankan, selain karena liburan SD dulu dihabiskan hanya di rumah saja, merangkai kalmat-kalimat terasa berat dan rumit. Namun yang namanya paksaan, murid selalu mengerjakannya entah bagaimana akhirnya. Dulu bagi saya sendiri lebih baik mengerjakan Tugas matematika atau menghafal nama latin flora dan dauna daripada harus membuat karangan mengenai liburan. Mengarang menjadi ancaman serius di akhir masa liburan. Dan entah mengapa, tugas ini selalu ada setiap kali masa liburan berakhir.

Selang beberapa tahun, semuanya seakan berbanding terbalik. Meriahnya dunia poltik di tanah air, mau tak mau membuat refleks berkomentar dan bahkan kadang bersungut-sungut setelah membaca tingkah polah politikus yang saling menjatuhkan satu sama lain. Tak hanya itu beragam acara televisi yang sangat tidak mendidik penonton demi komersialisasi dan pengejaran rating membuat saya tak henti-hentinya mengumpat menanggapinya. Mengapabegitu sih? Harusnya begini. Tak boleh begitu, begini dan lain sebagainya. Opini tersebut berakhir dengan kegondokan luar biasa dan berkecamuk dalam diri sendiri. Sebagai manusia, kita memang tak bisa lepas dari pengaruh media informasi di zaman yang sekarang dimana informasi berada di puncak. Jika mencari teman berdebat kadang justru berakhir dengan saling tidak suka. Ujungnya, berakhir dengan perselisihan. Bukan rahasia lagi, sangat banyak orang yang kurang bisa memanej diri sendiri tatkala dihadapkan pada orang yang berbeda prinsip. Apalagi perdebatan lisan, kadang keceplosan saking terlalu emosional.

Tahun 2011 silam, seorang teman kuliah mengenalkan saya dengan Kompasiana berawal dari presentase salah satu mata kuliah yang membuat saya berdebat dengan audiens. Dari sini, saya mulai membuat artikel namun belum ‘greget’ dengan Kompasiana. Hingga di tahun 2013, aroma politik di tanah air yang menghiasi berbagai media pemberitaan membuat saya tak tahan untuk tidak menuliskan opini di Kompasiana. Dan itu bertahan hingga sekarang, ketika dulu Mengarang yang mana merupakan salah satu pelajaran Wajib yang mendukung kelulusan di SD menjadi tugas mengerikan malah berubah menjadi hal yang menyenangkan dan dilakukan dnegan sukarela. Kompasiana menjadi penampung opini hingga reportase yang selama ini terpendam. Kini tak lagi kebingungan mencari tempat untuk menyalurkan respon terhadap sesuatu hal yang dinilai kurang baik.

Tak hanya saya, mungkin banyak yang memiliki pengalaman yang sama. Namun belum semua menentukan pilihan serupa. Contohnya masih banyak orang yang lebih memilih berdebat kusir di Facebook hingga media berita online di kolom komentar. Debat inipun tak main-main, bisa berkepanjangan dan berakhir dengan kata-kata kasar atau hinaan individual. Fenomena ini juga terjadi di kolom komentar Kompasiana. Suatu artikel bisa saja memiliki jumlah komentar yang luar biasa banyak dengan orang yang sama. Hal ini tentu saja bukan masalah, justru suatu kepuasan tersendiri bagi penulis apabila direspon baik oleh pembacanya. Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana apabila penulis tidak suka dengan Komentar dari anda?

Image by Wordpress.com

Tidak semua penulis mengharapkan komentar di tiap artikel yang ditulisnya, terlebih dari mereka yang terlalu cerewet. Cerewet karena terlalu ngotot berkomentar sampai berkali-kali hingga terkesan Spamming. Komentator cerewet ini juga saking cerewetnya sampai lupa sudah pernah diusir halus oleh yang empunya tulisan. Hebatnya lagi, komentarnya bisa sampai beberapa paragraf yang berisi kontra terhadap isi tulisan. walau sudah ditanggapi dengan tegas oleh penulis, masih saja muncul di artikel artikel selanjutnya. Singkatnya, tak tahu diri!

Sharing dan connecting memang menjadi satu tagline yang diusung oleh Kompasiana. Berkomentar menjadi salah satu bentuk dari connecting tersebut. Namun etika berkomentarpun perlu diterapkan. Sadarilah ketika seseorang menuliskan opininya dalam sebuah artikel, berarti itu bentuk ekspresinya akan suatu perstiwa. Jika membuat anda gerah dan tak tahan untuk tidak berkomentar, cukup sekali saja menanggapinya. Ketika penulis sudah gerah, janganlah bertele-tele dan seakan memancing penulis untuk berdebat kusir. Daripada mengarang komentar beberapa paragraf, bukankah lebih elegan bila membuat tanggapan berupa artikel. Sehingga lebih tertib dan rapi.

Menuliskan artikel ini bukan berarti penulis anti kritik, akan tetapi sebagai ingatan saja akan batas-batas berkomentar. Tak masalah anda ingin membentuk imej kritikus, tetapi jangan terkesan terlalu cerewet. Kalau sudah terlalu cerewet, maka sebaiknya anda menulis niscaya isinya lebih bermanfaat dan lebih aman dari pertikaian. Karena ketika menulis, anda akan lebih berfikir jernih dan selektif dalam merangkai kalimat demi kalimat. Selamat menulis!

[caption id="attachment_396498" align="aligncenter" width="570" caption="Ilustrasi/(blogspot.com)"]

14237491401938646112
14237491401938646112
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun