Mohon tunggu...
Mohammad Sahril
Mohammad Sahril Mohon Tunggu... -

Hanya seorang jurnalis biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hikayat Bantal Guling dan Peradaban Sebuah Negeri

9 Juli 2011   05:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:49 1953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1310189854783966076

Pernah suatu waktu di tahun 2008 saya terlibat diskusi dengan seorang terdidik di kampus. Ia lahir sekiranya 64 tahun yang lalu. Sebagian besar rambut lurusnya ubanan, disisir sibak belakang. Jika lebih pelan dan mengecil, suaranya terdengar parau. Tapi ingatannya masih terjaga. Ia seorang dosen dan mantan pejabat kampus pula. Pengalamannya cukup untuk memberikan banyak cerita kepada saya dan ratusan mahasiswanya yang lain. Diskusi berlangsung di ruangan ber-AC, sejuk dan dingin, sementara di luar matahari bersinar terik.

Entah bermula darimana, pembicaraan siang itu mengarah pada bantal guling. Kalau saya tak keliru, perbincangan sempat menyentil tentang sebuah badan milik pemerintah daerah yang bekerja asal-asalan, karena pejabatnya kebanyakan dari kalangan pensiunan. Badan ini diberinama badan pengelola Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (Kapet) Batui di Kabupaten Banggai. Harapannya, badan ini bisa memfasislitasi investor masuk ke daerah ini, khususnya di wilayah timur Sulteng untuk berinvestasi. Sang dosen berkisah tentang pangalamannya berkunjung ke kantor badan tersebut. “Kantor itu paling sunyi dan tidak menunjukkan aktifitas. Kalaupun ada yang berkantor, paling hanya beberapa jam saja, mulai jam sepuluh sampai jam dua belas siang,” katanya. Saya yang tak sabar, langsung menyela.

“Mungkin mereka berkantor di rumah pak?” Ia langsung menampik. “Bagaiman mungkin, kalau di kantor orang sudah tidak berkantor, bagaimana orang Melayu bisa berkantor di rumah. Kita ini orang melayu, diajar orang Belanda untuk tidur siang,” katanya sambil menyandarkan punggung di kursi empuknya. Dan ia melanjutkan lagi. “Dulu waktu saya masih kuliah, aneh rasanya mendengar ada istilah ‘Dutch Pillow’ (bantal guling/Belanda). Saya pun membuka lembar demi lembar di kamus. Di sana tertera istilah itu ‘Dutch Pillow’. Dan ketika saya berkunjung ke luar negeri, tak ada saya temukan bantal guling di hotel-hotel, tapi hotel-hotel di Belanda ada,” katanya entah benar atau tidak. Saya tak sepenuhnya percaya. Karena saya benar tak berpengalaman sepertinya.

Usailah perbincangan siang itu. Soal bantal guling (Dutch Pillow) tak menemui kesimpulan apa-apa. Hanya sempat ia katakana, untung saja jam kantor di Indonesia rata-rata sampai jam emapt sore. Sehingga tak ada orang yang sempat tidur siang. Bersama bantal guling tentunya.

Dua tahun kemudian, saya menemukan cerita tentang bantal guling ini dalam sebuah roman yang ditulis Pramoedya Ananta Toer. Penulis yang telah menulis banyak buku dan mendapatkan penghargaan, karena kemampuan sastra, muatan perjuangan dan idiologi yang ia tuturkan melalui buku-bukunya. Dan lebih menarik lagi, isi buku itu ia tulis saat berada di pembuangan di Pulau Buru.

Buku yang saya abaca ini berjudul “Jejak Langkah” satu di antara empat roman tetralogi yang sarat akan sejarah bangsa Indonesia jaman kolonial. Dalam sebuah dialog, tokohnya sempat bercerita tentang bantal guling. Begini ceritanya: “Tahu kalian apa sebab di dalam asrama tidak boleh ada bantal guling? Kata Wilam, tertawa senang dengan pertanyaannya sendiri.

“Nah dengarkan baik-baik aku ceritai. Guling yang kalian sukai di ranjang itu, takkan kalian temui di negeri-negeri lain di dunia ini. Setidak-tidaknya begitu cerita Mamaku. Mereka hanya meniru-niru orang Belanda. Apa keenakan yang datang dari Belanda serta-merta ditiru orang, terutama para priyai berkepala kapuk itu. Inggris mengetawai kebiasaan berguling itu”

“Cuman sedikit orang Belanda datang kesini membawa perempuan” ia meneruskan “Juga orang-orang Eropa lainnya. Di Hindia mereka terpaksa menggundik. Tapi orang Belanda terkenal sangat pelit. Mereka ingin pulang ke negerinya sebagai orang berada. Maka banyak juga yang tak mau menggundik. Sebagai pengganti gundik mereka membikin guling, gundik yang tak berkentut itu. Kalian pernah menemukan guling dalam sastra Jawa lama? Tak bakal ada. Dan dalam sastra Melayu pun nol besar. Tak ada sama sekali. Memang itu tidak ada. Memang itu bikinan Belanda tulen. Gundik tak berkentut. Dutch Wife. Tahu kalian siapa orang pertama menamainya? Raffles, Letnan Gubernur Jendral Hindia” Ia menambahi. “Dan orang Inggris ketika datang ke Hindia, yang pertama mereka cari adalah si Dutch Wife. Dan orang Belanda mengaggap orang Inggris paling pelit sedunia, paling rakus dan sekakar, menamaianya: British Doll (Boneka Inggris)”

Baru setelah saya menyelesaikan bacaan itu. Seketika tanganku meraih ponsel dan berusaha secepat mungkin meng-sms sang dosen. Saya menceritakan pengalam baca saya itu. Dan ia membalasnya seketika pula.

Seperti ini ia membalas dengan gaya berbeda: “Dutch Pillow pertama kalinya dilontarkan oleh Simon Kuznets, yang menamakan negara-negara kaya Sumber Daya Alam (SDA) tapi miskin karena dibuai oleh kekayaan SDA-nya. Sebagaimana Belanda dibuai kekayaan SDA wilayah-wilayah jajahannya dan karena mereka membudayakan tidur siang. Dimana mereka bukan hanya menyediakan bantal kepala di tempat tidurnya, tapi dengan bantal guling. Tidur siang adalah sebuah bentuk keterlenaan. Dutch Pillow/keterlenaan itu menimbulkan penyakit (Belanda) “Less Productive”.

Dan sang dosen itu pun mengakui kalau saat kecil dulu ia sering dimanjakkan bapaknya untuk selalu tidur siang. Sama dengan kebanyakan anak-anak kita sekarang, khususnya dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Tidur siang seolah menjadi kewajiban seorang anak usia Balita. Tapi untung saja kebanyakan anak-anak di usia SD sekarang ini sudah menghabiskan waktu untuk les atau belajar mengaji di taman pengajian saat pulang sekolah. Dan mulai berkuranglah kebiasaan tidur siang bagi mereka. Tapi entahlah, apakah kita masih membiasakan anak-anak kita untuk tidur siang? Atau justeru kita sendiri yang masih terlenakan dengan bantal guling saat siang hari. Hingga daerah kita yang katanya kaya SDA ini lambat berkembang karena keterlenaan masyarakatnya?

Nah, perlulah kita merenung apakah saat ini kita masih dilenakan bantal guling? Dan jika tidak, apakah kita sudah lebih produktif dan pandai menata kekeyaan SDA kita karena sudah lepas dari perangkap peninggalan Belanda itu?

Seminggu yang lalu, saya mengikuti workshop tentang advokasi anggaran pemerintah daerah di Palu. Saya terlibat mendiskusikan anggaran daerah yang banyak dianggap kalangan pemerintah tabuh untuk dibicarakan. Apalagi sampai membagikan dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Daerahnya ke masyarakat luas. Dalam satu pernyataan narasumber dari kalangan LSM, Sulawesi Tengah berada pada peringkat ketiga dalam 10 daerah terkaya SDA-nya, setelah Kaltim dan Papua. Tapi yang anehnya, Sulteng juga masuk dalam 10 daerah terkorup di Indonesia. Dalam kajian Forum Indonesia untuk Transparansi (FITRA), kerugian negara akibat dikorupsi di Sulteng mencapai 170 miliar rupiah pada tahun 2010. Kondisinya persis sama dengan masa pemerintahan Hindia Belanda yang runtuh karena korupsi merajalela. Dan kalangan terpelajar (pendahulu/pahlawan kita) memanfaatkan itu sebagai gerbang perlawanan untuk merdeka. Kenapa ya? Apa ini ada hubungannya dengan bantal guling tadi? Sehingga kita sebagai bangsa bisa dijajah selama 350 tahun oleh bangsa asing.

Ah sudalah, tak baik kita terlalu merenungkan yang sudah-sudah namun kenyataannya kita juga masih dijajah asing. Bisa dipelajari lagi, siapa di balik perusahaan-perusahaan multinasional kita yang bergerak dan menguasai kekayaan SDA kita, mulai dari pertambangan emas, minyak bumi, gas alam, atau bahkan perkebunan skala besar. Hampir semuanya perusahaan itu bersekutu dan dikendalikan oleh asing.

Lantas, apa yang kita sudah lakukan setelah kita melepaskan tradisi berguling selama lebih dari empat abad ini, dan telah menjalani kehidupan dengan kemerdekaan yang samar. Apa yang sudah kita perbuat dengan kekayaan SDA kita. Silahkan anda mengurai pemberitaan-pemberitaan di media massa, atau turun langsung ke lapangan. Temuai sandara-saudara kita yang ada di daerah pertambangan skala besar. Datangilah Jaya Pura -Timika, di sana ada Freeport (milik Amerika). Bagaimana kondisi masyarakat disana. Atau jangan terlalu jauh-jauh. Kunjungilah Poboya, apa yang terjadi dengan masyarakat asli kita disana? Apakah mereka masih dilenakan bantal guling karena memiliki tanah yang banyak untuk disewakan pada para pendatang? Ataukah mereka sudah melepaskan kebiasaan lama itu (berguling)? Saya khawatir, kalau-kalau apa yang dikatakan Simon Kuznets benar dan masih terjadi di negara kita. Dan semuanya hanya karena bantal guling peninggalan Belanda itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun