Belum tuntas purnama memandikanmu
Seberkas cahaya nampak merona di wajahmu
Sepertinya gemerlap itu tiada arti
Rupaya kilauan tak sanggup memalingkan perasaanmu
Aku masih Membesut luka
Luka yang tak lekas sembuh
Luka yang tak pernah kau obati
Luka yang tak pernah kau balut
Ada apa dengan kampung halamanku?
Lekas sembuh ...
Meski kau tidak terjangkau
Meski rintihanmu (nyaris) tak terdengar
Aku masih membesut luka ini (kampungku)
Seraya berdo'a semoga cepat pulih
Lalu belajarlah berteriak
Sebenarnya kemakmuran ini
Milik siapa?
Untuk Siapa?
Dan bagaimana???
Ah, biar aku balut sendiri luka ini,
Namun, aku masih tetap saja membesutnya dengan tanyaku.
Kekayaan kami tidak cukupkah untuk memalingkan wajahmu sejenak?
Sejenak, duduk manis sambil mendengar rintihan kami...
Keluh kesah kami...
Penderitaan kami...
Mimpi kami...
Bolehkah kami duduk manis
Sambil meminum segelas air yang sama kau suguhkan di tempat-tempat yang maju.
Bolehkah kami merengek meminta nasib
Supaya kami merasakan nikmatnya makanan yang disuguhkan di jantung-jantung kota.
Aku masih membesut luka ini,
Saat terik menyengat langkahku
Tapi takkan kubiarkan ia membumkamku
Meski dada semakin teriris
Suaraku takkan pernah sumbang
Dan kata-kataku takkan padam...
Sapeken, 01 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H