Indonesia, negara yang lahir dari semangat perjuangan melawan penjajahan, telah lama memproklamasikan dirinya sebagai sebuah republik. Dalam arti yang paling mendasar, republik berarti pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat, di mana kekuasaan tidak diwariskan secara turun-temurun, tetapi diberikan melalui mekanisme pemilihan yang adil. Namun, meskipun asas demokrasi ini dipegang teguh dalam konstitusi, dalam praktiknya, sering kali kita mendapati realitas yang seakan-akan berbeda.
Istilah "republik rasa kerajaan" mencerminkan sebuah paradoks yang ada di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di satu sisi, kita mengaku sebagai republik dengan segala perangkat demokratisnya, namun di sisi lain, ada praktik-praktik yang lebih mirip dengan sistem monarki atau kerajaan yang kental dengan hierarki dan kekuasaan yang berputar di kalangan tertentu. Fenomena ini bisa dilihat dalam berbagai aspek, mulai dari struktur politik, budaya, hingga relasi sosial yang terjadi di masyarakat.
Di dunia politik, kerap kali terlihat bagaimana kekuasaan tetap berada dalam lingkaran tertentu. Orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa, baik secara darah maupun jaringan, sering kali lebih mudah mendapatkan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Sistem meritokrasi, yang seharusnya menjadi landasan dalam pengangkatan pejabat publik, sering kali terabaikan. Sebagai akibatnya, kita melihat adanya "dinasti politik" di berbagai daerah, di mana kekuasaan seakan menjadi milik keluarga atau kelompok tertentu, dan bukan hak prerogatif rakyat.
Dalam aspek sosial dan budaya, mentalitas feodal yang masih melekat di sebagian besar masyarakat juga turut memperkuat kesan ini. Penghormatan berlebihan kepada mereka yang memiliki kekuasaan atau kekayaan, serta kebiasaan membeda-bedakan perlakuan berdasarkan status sosial, menjadi cerminan bahwa sisa-sisa mentalitas kerajaan masih ada dalam masyarakat kita. Ini bertolak belakang dengan prinsip egalitarianisme yang menjadi dasar sebuah republik, di mana setiap individu seharusnya diperlakukan sama di hadapan hukum dan negara.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika ketidakadilan menjadi hal yang lumrah. Hukum yang seharusnya menjadi pilar keadilan sering kali berlaku tajam bagi mereka yang tidak memiliki kuasa, tetapi tumpul bagi yang berkuasa. Fenomena ini mengingatkan kita pada masa-masa kerajaan, di mana raja dan kaum bangsawan memiliki kekebalan dari hukum, sementara rakyat jelata harus tunduk pada hukum tanpa ampun.
Realitas ini mengajarkan kepada kita bahwa reformasi tidak hanya harus dilakukan pada tataran sistem dan institusi, tetapi juga pada tataran mentalitas. Sebuah republik sejati tidak hanya membutuhkan konstitusi yang demokratis, tetapi juga membutuhkan rakyat dan pemimpin yang berkomitmen untuk menjalankan nilai-nilai demokrasi tersebut dalam setiap aspek kehidupan.
Menghapus "rasa kerajaan" dalam republik ini bukanlah hal yang mudah, tetapi bukan pula hal yang mustahil. Ia membutuhkan kesadaran kolektif dan kesungguhan untuk terus memperjuangkan cita-cita republik yang sejati, di mana kekuasaan benar-benar berada di tangan rakyat, dan di mana setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan kehidupan sosial.
Republik bukan sekadar nama, tetapi sebuah komitmen untuk menciptakan masyarakat yang adil, egaliter, dan demokratis. Oleh karena itu, kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa republik ini tidak hanya dirasakan sebagai kerajaan dalam bungkus demokrasi, tetapi benar-benar menjadi rumah bagi seluruh rakyat, tanpa terkecuali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H