Mohon tunggu...
Sahda Nabilah Alodia Septia
Sahda Nabilah Alodia Septia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya adalah mahasiswa Universitas Airlangga Prodi Rekayasa Nanoteknologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Hilangkan Polutan Hirup Udara Bersih Dengan Nanoteknologi

2 Mei 2024   07:00 Diperbarui: 2 Mei 2024   07:09 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini Indonesia marak akan kasus bencana alam yang terjadi seperti badai, banjir, gempa, dan tanah longsor yang biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor alamiah seperti perubahan iklim, aktivitas geologis, dan pola cuaca. Namun, polusi udara juga dapat memiliki dampak pada beberapa aspek yang dapat memperburuk bencana alam. Polusi udara disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia dan alamiah yang menghasilkan emisi berbagai zat berbahaya ke udara. Beberapa penyebab utama polusi udara meliputi; industri, kendaraan bermotor, pembakaran sambah, pembangkit listrik, dll. yang menghasilkan gas pembakaran karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO 2 ), nitrogen oksida (NO)  senyawa organik yang mudah menguap, logam berat, dioksin yang sangat sulit terurai secara hayati. . Hal ini tentunya membuat kasus tersendiri bagi sekitar yang juga tentunya akan mempengaruhi kesehatan tubuh manusia, maka dari sebab itu perlunya penanganan terhadap masalah polusi udara yang semakin meningkat tiap tahunnya.

Salah satu teknologi pengembangan mengenai pengurangan polutan yang paling efektif adalah metode analisis tradisional yang digunakan untuk pengendalian lingkungan terhadap polutan. Metode ini mencakup teknik kromatografi yang berbeda (GC/MS dan HPLC/MS) dimana mampu memberikan informasi berkelanjutan bagi polutan udara. Namun sayangnya, penggunaan metode ini memerlukan waktu yang lama, peralatan biaya yang mahal, dan memerlukan reagen yang mahal. Dengan demikian, dibutuhkan instrumen deteksi yang ekonomis, mudah untuk dioperasikan, lebih responsif, cepat, dan portabel untuk mengawasi zat pencemar yang berpotensi merugikan bagi ekosistem dan kesehatan manusia. Hal ini bertujuan untuk mengatasi pertumbuhan signifikan masalah lingkungan pencemaran lingkungan.

Baru-baru ini sebuah teknologi baru telah mengembangkan sistem baru yang murah dan menjanjikan untuk mengembangan sistem yang hemat, cepat, dan ekonomis untuk mengurangi polusi udara di sekitar. Dengan nanomaterial membantu mendeteksi polutan dan udara kotor di sekitar menggunakan sensor nanomaterial tanpa menggunakan bahan laboratorium yang mahal. Nanoteknologi menyediakan kemampuan untuk mengatur materi pada skala nano dan menciptakan material dengan sifat khusus yang sesuai dengan fungsi yang diinginkan. Penelitian dari berbagai sumber media di Uni Eropa (UE) menunjukkan tingkat optimisme yang cukup tinggi terkait dengan perbandingan antara peluang dan risiko terkait dengan nanoteknologi  yang sebagian besar terkait dengan harapan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan.

Lalu bagaimana mana nanosensor dirancang untuk mendeteksi dan mengurangi polutan udara?

Sebuah sensor dapat mendeteksi melalui reaksi antara bahan penginderaan dan gas target dengan penerapan proses adsorpsi karbon nanotube (CNT) dan partikel emas. Penggunaan CNT dan graphene juga sering digunakan dalam nanosensor karena luas permukaannya yang besar, konduktivitas listrik dan termal yang sangat baik, dan kekuatan mekanik. Nanotube menunjukkan respons yang lebih cepat dan kinerja deteksi yang tinggi dalam mendeteksi gas seperti NO 2 dan NH 3. Nanomaterial ini telah terbukti memiliki potensi yang baik sebagai adsorben yang unggul untuk menghilangkan berbagai jenis polutan organik dan anorganik, baik dalam aliran udara . Kapasitas adsorpsi polutan oleh CNT terutama bergantung pada struktur pori dan variasi gugus fungsi permukaan CNT yang luas, yang dapat dimodifikasi melalui perlakuan kimia atau termal untuk menyesuaikan kinerja CNT agar optimal sesuai dengan tujuan tertentu.

Penggunaan nanopartikel anorganik, seperti Titik Kuantum (QD), menampilkan pita emisi fluoresensi yang khusus dan sempit, menjadikannya transduser optik yang sangat efisien. Fleksibilitas panjang gelombang QD memungkinkan penyesuaian dengan mudah melalui modifikasi ukuran, bentuk, atau komposisi. Dalam struktur seperti itu, QD yang mengandung unsur pembeda yang diintegrasikan ke dalam lembaran graphene. Saat terdeteksi adanya polutan, sensor menunjukkan perubahan yang memisahkan graphene dari QD dan mengaktifkan sensor. Selain itu, penggunaan nanopartikel oksida logam dan nanohibrid juga menjadi alternatif penting. Beberapa penelitian menyadari bahwa struktur nano satu dimensi (1D) berperan sebagai model sistem untuk mendeteksi elektrokimia kontaminan lingkungan. Struktur nano 1D menunjukkan kinerja yang tinggi karena memiliki rasio luas permukaan/volume yang besar, yang mendukung wilayah muatan permukaan. Pengembangan nanokomposit dengan berbagai kombinasi, seperti nanopartikel oksida logam, nanotube karbon (CNT), dan graphene, memperkuat karakteristik penginderaan elektrokimia nanopolimer. Potensi penggunaan nanosensor untuk mendeteksi beberapa ion logam tanpa memerlukan konsentrasi awal terus dieksplorasi. Khususnya, nanosensor ini efektif dalam mendeteksi ion logam berat, termasuk unsur radioaktif, di lokasi, dengan kemampuan pembuatan dalam ukuran yang sangat kecil dan modus otomatis untuk memudahkan penggunaan di lokasi atau transportasi ke darat.

Kelebihan penggunaan bahan nano dalam sensor gas terletak pada rasio luas permukaan terhadap volume yang tinggi dan kemudahan pengubahan fungsi permukaannya, sehingga sensor tersebut sangat sensitif terhadap perubahan permukaan. Hal ini memungkinkan nanosensor untuk mencapai batas deteksi yang sangat rendah dan dapat mendeteksi konsentrasi polutan berbahaya tertentu di lingkungan yang sangat rendah. Berbagai jenis bahan nano seperti semikonduktor logam dan oksida logam, isolator, elektrolit padat, bahan katalitik, polimer, dan sebagainya, dapat berperan sebagai reseptor dalam sensor tersebut.

Meskipun nanoteknologi memberikan banyak potensi dan kemajuan yang pesat, tetapi terdapat potensi risiko penggunaan bahan nano dalam kehidupan sehari-hari kita. Bahan-bahan yang awalnya tidak berbahaya dalam bentuk besar bisa menjadi sangat beracun dalam skala nano, terutama jika mereka masuk ke dalam persediaan air minum atau rantai makanan dan tidak dapat terurai. Inhalasi nanopartikel di udara dan dampaknya terhadap penyakit paru-paru menjadi perhatian khusus, dengan penelitian terbaru menunjukkan bahwa tubuh manusia merespons beberapa bentuk CNT dengan cara yang sama seperti terhadap partikel asbes jika terhirup dalam jumlah yang cukup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun