Mohon tunggu...
Sardo Pardede
Sardo Pardede Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Suka menulis berbagai hal yang menarik (secara subjektif) atau hal-hal yang sekedar terlintas di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Globalisasi, Perdagangan Bebas dan Dilema Petani

21 Maret 2023   11:45 Diperbarui: 21 Maret 2023   11:48 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kajian ilmu Ekonomi Politik Internasional tidak lepas dari kegiatan Perdagangan Bebas (Free Trade). Karena kegiatan perdagangan bebas berkaitan erat dengan proses politik untuk memenuhi tujuan ekonomi suatu negara. Fenomena perdagangan bebas membawa perubahan besar bagi kajian ekonomi politik global. Seperti yang telah diketahui, kegiatan perdagangan bebas masih berkaitan dengan upaya politik untuk memperluas kerja sama ekonomi antar negara dalam mekanisme pasar. Sehingga berada dalam ranah dan konteks ekonomi politik global. Berbagai kajian ekonomi politik global berkembang seiring kompleksnya kegiatan perdagangan bebas di dunia. Dinamika interdependensi ekonomi antara negara dan persaingan pasar menjadi beberapa isu yang dibahas dalam ekonomi politik internasional.

Akibat revolusi teknologi telekomunikasi, transportasi, dan deregulasi perdagangan, saat ini kita sedang menyaksikan terciptanya globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang semakin kuat di semua negara. Globalisasi ekonomi adalah proses di mana berbagai aspek ekonomi suatu negara diintegrasikan ke dalam ekonomi global. Misalnya, sebagai akibat dari globalisasi informasi, selera konsumen di semua negara semakin terkait dengan dinamika pasar global dan harga komoditas di setiap negara. Fenomena globalisasi tidak terbendung saat ini. Hambatan mobilisasi berupa barang jasa, tenaga kerja, dan modal sudah tidak ada lagi. Fenomena perdagangan bebas semakin meluas sebagai akibat dari tren globalisasi. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, suatu negara memiliki lebih banyak kebebasan untuk menciptakan kemitraan perdagangan dengan negara lain. Masalah ekonomi saat ini melampaui semua batas geografis. Dalam era globalisasi seperti suatu negara diharuskan mampu dalam hal penguasaan teknologi. Sehingga secara kompetitif mampu bersaing dengan negara lain dalam pasar global yang bebas di berbagai bidang industri.

Tren konsumsi buah dan sayuran per kapita dunia dalam jangka panjang kini telah meningkat sejalan dengan ekspansi ekonomi yang masif.  Hal ini disebabkan oleh pergerakan preferensi pelanggan dari diet tinggi kolesterol. Perdagangan komoditas pangan pertanian seperti sayuran dan buah (produk hortikultura) semakin bergerak ke arah yang lebih besar di pasar global. Kedua perkembangan di sektor pertanian ini menunjukkan bahwa pasar domestik dan internasional untuk produk hortikultura akan tumbuh di tahun-tahun mendatang. Karena berkurangnya berbagai hambatan perdagangan antar negara, negara pengekspor akan memiliki akses yang lebih besar ke pasar sebagai akibat dari liberalisasi perdagangan. Sudah seharusnya ini membawa benefit besar bagi industri negara-negara pengekspor produk dan komoditas pertanian, seperti Indonesia.

Akan tetapi pembangunan industri pertanian di saat ini harus mengatasi peluang dan masalah baru. Tanpa kita sadari ada tantangan pelik yang ditimbulkan oleh globalisasi dan liberalisasi perdagangan. Kinerja agribisnis nasional dan pelaksanaan pembangunan pertanian tentunya akan terpengaruh oleh arus globalisasi dan liberalisasi yang mungkin tidak dapat kita cegah. Karena terbukanya pasar komoditas yang disebabkan oleh dihilangkannya berbagai hambatan perdagangan antar negara, hal ini dikatakan akan memberikan peluang. Namun, liberalisasi perdagangan juga dapat menimbulkan masalah jika barang-barang yang diproduksi secara lokal tidak mampu bersaing dengan barang-barang dari negara lain. Secara teoritis, jika negara berkembang bisa melakukan ekspor produk pertanian ke negara maju, maka hal sebaliknya juga harus terjadi. Negara berkembang melakukan impor produk-produk pertanian yang dihasilkan oleh negara maju. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah barang impor di pasar domestik yang berpotensi akan merugikan petani. Bagaimana bisa? Dengan terbukanya pasar negara berkembang terhadap produk pertanian negara maju, maka akan terjadi disrupsi harga. Penyebabnya adalah ketidakseimbangan persaingan antara produk yang dihasilkan oleh dua negara yang berbeda kemampuan ekonomi dan kemajuan teknologinya. Produk pertanian yang dihasilkan negara maju (seperti mesin atau alat teknologi pertanian) tentu akan menguasai segmen pasar dengan daya beli tinggi (kelompok masyarakat menengah ke atas). Sementara itu, produk pertanian negara berkembang (seperti komoditas pangan mentah atau setengah jadi) hanya dapat menembus segmen pasar konsumsi masyarat (menengah ke bawah) sehingga harganya lebih murah.  Dengan demikian, peningkatan daya saing kian rumit bagi produsen lokal di masa depan ketika pertumbuhan pertanian dilaksanakan.

Pada sisi lain, kebijakan pemerintah saat ini berkebalikan dengan situasi yang ada. Diplomasi ekonomi dunia di Pemerintahan Jokowi, kini memperluas liberalisasi ekonomi dengan memberikan akses pasar yang lebih besar untuk investasi serta perdagangan barang dan jasa. Salah satu contohnya yaitu ditunjukkan dengan ketentuan aktual RUU Cipta Kerja yang meliberalisasi impor pangan semaksimal mungkin dengan tetap membiarkan kekuatan pasar yang memegang kendali. RUU Cipta Kerja tidak dapat dilepaskan dari tujuan atau orientasi ekonomi era Pemerintahan Jokowi yang terus menekankan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan penanaman modal asing berbasis Sumber Daya Alam. Pembahasan UU Cipta Kerja di tingkat Kabinet dan DPR terus dikebut oleh pemerintah. Tidak mustahil jika timpangnya penguasaan sumber daya alam, khususnya penguasaan hak atas tanah untuk kepentingan investor, jelas dipengaruhi oleh kebijakan ini. Selain itu, RUU Cipta Kerja  yang mengubah Pasal 19 tentang UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (UU SBPB) akan memudahkan investor untuk mengubah lahan pertanian menjadi objek pembangunan. Jika program seperti itu diadopsi, banyak lahan pertanian akan diambil alih dan digusur dengan kedok pembangunan dan investasi.

Untuk mendukung perluasan sektor agribisnis dalam menghadapi liberalisasi perdagangan, agribisnis hortikultura harus semakin berdaya saing. Secara empiris, kemampuan proses pertanian untuk beradaptasi dengan dinamika pasar dan memenuhi kebutuhan pasar secara efektif dan efisien menunjukkan daya saing suatu industri. Oleh karena itu, menurut penulis, pemerintah harus lebih berkonsentrasi pada perumusan implikasi kebijakan yang akan memperkuat sektor pertanian Indonesia. Dibanding mengkampanyekan upaya liberalisasi dan perdagangan bebas pada industri pertanian, namun industri lokal sendiri belum memiliki kapabilitas untuk bersaing . Pengembangan unit-unit agribisnis terpadu di pusat-pusat produksi pertanian Indonesia dapat memajukan upaya ini. Kemudian, untuk menentukan jenis produk, jumlah, dan mutu produk hortikultura yang akan dipasarkan, setiap unit pelaku agribisnis (petani, pedagang sarana produksi dan pedagang hortikultura) harus bekerja sama melalui pola kemitraan. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi perubahan pasar sehingga komoditas pertanian dapat diproduksi dengan efisiensi, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Mungkin pemerintah bisa mendirikan fasilitas yang bergerak di bidang usaha hortikultura dan pertanian. Kelembagaan ini dapat digunakan dalam upaya mengatur volume dan kontinuitas produksi di setiap daerah penghasil agar pasokan dari seluruh daerah penghasil dapat disesuaikan dengan volume yang dibutuhkan pelanggan di setiap segmen pasar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun