Mohon tunggu...
S A Hadi
S A Hadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sholikhul A Hadi

Happy is the people whitout history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak Bermuka

21 April 2019   09:00 Diperbarui: 21 April 2019   09:20 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari .saatchiart.com/art

" Tanpa saling membantu, kita tidak akan mampu memperbaiki Dunia ini." Kalimat penutup pidatonya itu membuat semua orang berdiri sambil bertepuk tangan.

Hendi turun dari mimbar. Beberapa orang berlari menyambutnya. Mereka berebut agar bisa bersalaman dengan Bupatinya, seorang yang mereka anggap menanggung nasib baik dan buruk kehidupannya. Sebagian lain berlari sambil menenteng Gawai, mereka mencari kesempatan untuk berfoto bersamanya. Hendipun seolah mengetahui kebiasaan baru itu, dia melambatkan langkahnya dan kemudian memberikan sedikit senyum saat mereka mulai mengangkat gawainya dan menyondongkan kepala ke sampingnya.

Hendi terus berjalan sambil menyalami orang-orang yang berdiri di kanan-kirinya. Beberapa kali Hendi merundukkan kepala untuk memberikan hormat kepada yang hadirin yang tidak mendapatkan kesempatan untuk bersalaman dengannya. Ketika sampai di samping mobilnya, dua orang pengawal membuka pintu mobilnya. Sejenak Hendi memutar badannya dan kemudian memasuki mobil yang diikuti oleh seorang asisten pribadinya.

Hendi membuka kaca mobilnya, memberikan salam pada semua orang yang mengantarkannya ke samping mobil dengan mengeluarkan salah satu tangannya. Setelah memastikan mobilnya telah menjauh dari kerumunan, Hendi menarik napasnya dalam-dalam dan kemudian merebahkan badannya pada sandaran kursi mobilnya.

" Gita, Bukankah acara ini berhasil?" Tanyanya pada asisten yang duduk di di kursi depan.

Gita masih sibuk memeriksa gawainya. Dia mencari tagar atau update dari warga atas kedatangan Hendi pada pengajian itu. " Sepertinya, cukup banyak orang yang mengupdate acara ini dan mengunggah foto bapak di instagram."

Hendi tampak lega dengan jawaban Gita. Dia meminta sopirnya untuk memutarkan lagi kesukaannya. Lagu "Bongkar" yang dinyanyikan oleh Iwan Fals. "Aku dahulu selalu berharap agar dapat memperbaiki semuanya dengan turun ke jalan. Namun, pada akhirnya aku sadar kalau itu semua mustahil aku lakukan saat usiaku mulai menua." Gerutunya sambil membenahi kancing baju lengannya.

Jauh dari tempat Hendi berada, Zaid duduk di sebuah ruangan kaca bersama dengan tiga orang tamunya yang sebentar lagi pamit. Tiga orang tamu dari Jepang itu meminta agar Zaid membantunya mengurus pembangunan perusahaannya di Kabupaten yang dipimpin oleh Hendi. Mereka tahu jika Zaid-lah satu-satunya orang yang didengar olah Hendi.

Zaid mengantarkan mereka sampai di depan pintu. Setelah mempertimbangkan cukup lama, Zaid kemudian menyampaikan persetujuannya untuk membantu mereka bertiga saat berdiri di depan pintu. Setelah mereka memasuki lift, Zaid kembali duduk di ruang meetingnya. Membuka sebuah Gawai dan mengetikan sebuah nomer serta segera melakukan panggilan.

" Gita, apakah semua berjalan lancar?" Tanyanya setelah suara nada tunggu hilang.

" Alhamdlillah, sesuai yang kita harapkan. Foto Pak Bupati telah tersebar di Internet. Semua memberikan komentar yang positif." Gita terdengar senang. " Tetapi aku harus mengeluarkan uang tambahan kepada Panitia. Mereka terus saja mengikuti kami."

" Ya Sudah tidak apa, yang penting mereka menjamin dukungannya ke Kita pada pemilu mendatang." Zaid diam. " Tolong berikan telponnya ke Hendi."

Gita menyodorkan gawainya pada Hendi, "Pak, ini ada Pak Zaid mau bicara dengan bapak."

" Id, kamu ada masalahkah?" Kata Hendi saat membuka percakapan.

" Begini, tadi utusan dari perusahaan itu datang menemuiku. Mereka ingin kita membantunya dalam perijinan dan pembebasan lahan." Zaid bingung saat ingin melanjutkan bahwa dia telah menerima permintaan mereka.

" Kau tidak menolaknya kan?" Hendi tertawa.

" Kita membutuhkan banyak modal untuk memperbaiki daerahmu. Aku menerimanya." Zaid menarik napas dalam. " Aku akan mengurusnya. Kamu sekarang temui saja tokoh terdekat yang kamu lalui tanpa membuat janji. Kamu turun satu kilo meter dari rumahnya dan berjalan memberikan salam kepada warga-warga di sekitarnya. Selebihnya, biar aku yang urus." Zaid menutup telponnya.

" Sebenarnya, beberapa orang telah menemuiku dan mengaku sebagai utusan orang perusahaan." Hendi tidak sengaja menceritakan sesuatu yang telah lama dipendamnya.

"Siapa itu?" Zaid kaget.

" Mabrur, dia memaksaku agar menandatangi ijin pendirian pabrik. Dia bilang kalau kabupaten kecil semacam tempatku ini membutuhkan sebuah pabrik untuk mengurangi beban pengangguran yang mungkin dapat memperburuk citraku." Hendi menarik napas dalam sebelum akhirya terdengar nada putus pada gawainya. Hendi merasa lega karena Zaid tidak memperpanjang masalah ini.

Zaid kembali membuka gawainya. Dia mengetikkan beberapa kalimat di grup whatsapp nya. Beberapa orang mengkomentari postingnya dengan tanda jempol. Zaid kemudian menelepon Bahri. " Halo, Ri. Hendi sepertinya akan melewati rumahmu. Barangkali bisa dipercantik tentu akan sangat menarik.                                                                                                                                                                                                                                                                           

Sementara itu, Hendi mencoba mengingat tokoh terdekat yang dapat dikunjunginya. Tiba-tiba saja seorang tokoh agama menelponnya dan memintanya untuk mampir di rumahnya.

" Hei pak Hendi, kabarnya bapak habis menghadiri pengajian dari masjid Jami'?" Kata tokoh itu.

" Betul Pak Bahri, Bolehkah saya sowan ke Bapak? Mumpung saya lewat daerah rumah bapak?"

" Silahkan pak. Saya tunggu di rumah pak."

Instruksipun langsung diterima oleh sopirnya. Dia kemudian memparkirkan mobilnya di dekat warung kopi 77 yang ada di jalan masuk gang. Beberapa orang yang berkumpul di warung kopi memperhatikan dua mobil alphard yang terparkir di sebelahnya. Mereka segera berlari merapat ketika mengetahui bahwa yang berada di dalam mobil itu adalah Hendi. Mereka berebut untuk mendapat kesempatan bersalaman dan berfoto.

Gita perhatiannya tertuju pada seorang lelaki yang masih berdiam diri di warung saat yang lainnya berebut salam kepada Hendi. Gita merasa bahwa wajah dari lelaki itu sangat familiar. Tetapi Gita tidak menemukan momen dirinya bersama dengan lelaki itu.

Gita pura-pura tidak memperhatikan lelaki itu. Tetapi setelah dia bersama rombongannya memasuki gang, Gita segera mengenali lelaki itu. Dia orang yang sering kali ditemuinya saat keluar bersama dengan Hendi. Mungkin sudah lebih dari sepuluh kali atau bahkan dua puluh kali menyaksikan lelaki itu sejak dia bekerja bersama Hendi enam bulan lalu.

Hendi telah sampai di rumah tokoh Bahri, orang yang pada pemilu sebelumnya masuk dalam anggota tim suksesnya. Bahri termasuk orang yang loyal, dia sama sekali tidak merubah pilihannya walaupun sudah lebih dari empat tahun dirinya mendukung pemerintahan Hendi. Mengetahui Gita yang masih canggung padanya, Bahri segera menggodanya sambil menyodorkan Jus Jeruk. " Jus Jeruk mbak. Tapi jangan gee r ya?"

Gita bingung maksud Hendi, " Maksudnya pak?"

" Ya Just Jejer Wong Ayuk mbak. Atau Hanya duduk disamping orang yang sangat cantik mbak. Jejer itu berarti duduk bersebelahan mbak." Bahri menjelaskan.

Semuanya tertawa mendengar candaan itu. Namun kemudian ruangan itu menjadi hening ketika Bahri mulai berbicara dengan nada yang cukup rendah. "Aku mendengar kasak-kusuk tentang pembangunan jembatan kampung Sandang. Kabarnya nilai proyek yang kamu setujui lebih tinggi dari yang seharusnya. Badan Pemeriksa Keuangan telah memeriksa semua laporan proyek itu."

Hendi tidak menyangka kabar semacam itu sampai ke telinga Bahri terlebih dahulu katimbang dirinya. Dia merasa sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. " Kamu tahu dari mana kabar itu Ri?"

" Seseorang telah meneleponku dan memintaku untuk memperingatkanmu." Bahri berdiri dan meninggalkan ruang tamu.

Hendi mengikutinya di belakang. " Siapa dia?"

" Dia hanya nitip pesan, agar kamu berhati-hati dan fokus saja pada perjuanganmu." Bahri memeluk Hendi. " Baliklah, kamu perlu koordinasikan semuanya pada pengusul proyekmu agar masalahnya tidak membesar!" Ucap Bahri dengan nada setengah memerintah.

Hendi kembali dengan perasaan yang tidak tentu. Dia merasa aura kekecewaan yang mendalam dari Bahri atas apa yang terjadi. Dia selalu terbayang oleh wajah muram Bahri saat memintanya balik. Tetapi dari pesan yang disampaikan Bahri, Hendi mencurigai Zaid lah orang yang berada di balik semua ini. Orang yang memberikan informasi kepada Bahri tentang proyek jembatan itu.

Keesokan paginya, Gita berada di meja kerjanya, di samping pintu masuk ruangan Hendi ketika seorang lelaki dengan rambut acak-acakan dan mengenakan kaos berkerah warna biru itu datang ke kantor Hendi.

" Mbak Gita, Pak Hendi ada di dalam?" Ucap lelaki empat puluhan tahun itu sambil tersenyum.

" Masih ada tamu pak, dari kepala dinas. Mungkin bapak bisa menunggu di sini. Owh iya, bapak siapa namanya?"

"Zaid."

" Pak Zaid?" Gita memperhatikan penampilan lelaki yang mengenakan sandal jepit itu. Dia tidak menemukan sama sekali aura menakutkan atau berwibawa sebagaimana yang selama ini membuat pimpinannya takut. " Mau minum apa pak? Kopi apa teh?"

" Owh, teh boleh Mbak."

Dalam waktu kurang lebih setengah jam, Gita memperhatikan orang yang selama ini menghubunginya. Orang yang selalu menanyakan kabar pimpinanannya. Hampir tiap hari dia bertelepon dengannya. Bahkan menurut keterangan banyak orang, pekerjaan yang sekarang dijalaninya merupakan hasil dari rekomendasi orang itu. Gita memberanikan diri untuk duduk di samping lelaki itu dan mengucapkan terima kasihnya. "Pak, Saya benar-benar berterima kasih atas kesempatan yang bapak berikan." Tangan Gita bergetar.

"Owh, untuk apa?"

" Bapak telah memberikan saya pekerjaan."

" Kamu memang pantas mendapatkannya mbak. Bukan pula karena saya."

Kepala dinas itu telah keluar dari ruangan Hendi dan nampaknya mereka mengenal Zaid dengan sangat baik. Mereka memberikan hormat dengan merundukkan kepalanya dan menyapa Zaid.

"Apa kabar pak?" Kata salah seorang dari mereka.

" Baik." Jawab Zaid datar.

" Sampean tidak mampir pesantren Al Jami' Pak?" tandasnya.

" Sepertinya tidak. Aku harus segera kembali ke Ibu Kota siang ini." Jawab Zaid.

" Wah, sayang sekali pak. Bapak masih ingatkan siapa saya?" Tanyanya kembali.

" Sugiono bukan? Santrinya abah. Dulu sampean yang sering datang ke ibu kota dan meminta agar saya kembali kesini." Zaid merundukkan kepalanya member hormat.

" Betul pak. Andai saja bapak pulang ke sini, mungkin pesantren Al Jami' akan semakin maju. Owh iya, saya ijin pamit dulu pak." Pamit Sugiono. " Saya ingin melanjutkan agenda saya."

" Baik" Zaid berdiri sambil menempelkan mulutnya ke telinga Sugiono. " Aku minta tolong jangan bilang saudara-saudaraku kalau aku ada di sini."

Sugiono menganggukkan kepala tanda mengerti. Gita mendengar bisikan itu dan dia mengetahui bahwa keduanya tampak memiliki hubungan yang cukup dekat. Gitapun baru tahu jika masjid Jami' yang semalam dikunjunginya itu merupakan Masjid milik keluarga Zaid. Masjid yang berada di komplek pesantren Al Jami'.

Gita memperharikan rombongan kepala dinas itu keluar dari ruangan dan berjalan menuruni tangga. Dari pembicaraannya, sayup-sayup Gita mendengarkan pembicaraan mereka.

" Itu si Zaid yang dulu berhasil memenjarakan Bupati Ahyar. Orang sekuat Ahyar saja dilibasnya, apalagi Hendi yang baru kemarin tampil di sini." Ujar salah satunya.

" Mungkin dia ingin menggulingkan Hendi atau dia ingin menjadi wakil Hendi pada periode depan." Jawab lainnya.

Mengetahui itu semua, Gita merasa pengetahuannya sangat rendah tentang Zaid. Orang yang setiap hari  berkomunikasi dengannya dan bahkan memperkerjakannya. Dia ingin lebih mengenal Zaid, sosok yang sejak pagi itu menjadi Idolanya. Dia ingin tetap duduk di sampingnya dan bertanya banyak hal tentang keseharian Zaid.

Ketika Gita masih menyusun pertanyaannya untuk Zaid. Tiba-tiba Zid berdiri dan menjulurkan tangannya. " Aku masuk dulu. Ingat, apapun yang terjadi di dalam harus tetap menjadi rahasiamu. Aku ingin mengajakmu masuk bersamaku menjadi saksi pertemuanku dengan Hendi."

Gita tidak kuasa menolak permintaan itu. Meskipun dalam batinnya, dia masih belum layak menjadi seorang saksi atas pertemuan dua orang yang sama misteriusnya itu. Dia berjalan mengikuti Zaid dengan tanpa semangat.

" Mengapa kamu ajak anak itu masuk?" Hendi membentak.

" Biarlah, aku ingin dia menjadi saksi pembicaraan kita pagi ini. Aku ingin menjamin bahwa diantara kita berdua tidak akan terjadi perselisihan yang panjang. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu lagi." Zaid duduk tepat dihadapan Hendi. " Kamu duduk di sini Mbak." Perintahnya pada Gita menunjuk sebuah kursi di sampingnya.

" Mengapa harus Bahri yang memperingatkanku? Mengapa tidak kamu sendiri yang memperingatkanku?" Hendi langsung menuju pada poin yang ingin dibicarakannya.

" Aku Jauh-jauh datang kesini hanya untuk mendapatkan tuduhan itu?" Ujar Zaid setengah membentak.

" Aku telah bertemu Bahri, dan dia bercerita tentang proyek Jembatan yang aku bangun. Bahri menitip pesan juga padaku kalau dia disuruh oleh seseorang. Aku yakin, seseorang itu adalah kamu." Hendi berdiri dan mengangkat gelasnya. Dia minum tiga teguk air dari gelasnya.

" Ini sangat tidak berdasar Hen, sama tidak berdasarnya dengan tuduhanmu dulu padaku saat Gita dan kakaknya Lahir. Kau menuduhku mencampakkan ibunya hanya karena aku harus menghadiri interview di ibu kota." Zaid mencoba membela diri.

" Bukankah kamu menghubungi Bahri?" Hendi mukanya memerah. Dia tampak mengatur napasnya.

Sementara itu, Gita kebingungan. Selama ini semua menuduhnya sebagai anak haram. Bahkan tidak seorangpun lelaki kampungnya yang mau memperistrinya. Meskipun dia satu-satunya perempuan kampungnya yang berpendidikan tinggi. Dalam diam, Air mata Gita mengalir deras melewati pipinya. Dia teringat bagaimana ibunya dahulu selalu menceritakan sosok ayahnya yang banyak di idolakan perempuan karena anak dari pemuka agama. Ibunya merasa beruntung karena berhasil menikahinya secara agama meskipun pada akhirnya, keluarganya menolak dan memaksanya untuk menceraikan ayah Gita.

" Untuk apa aku memintanya menyampaikan itu padamu? Jikapun aku tahu kamu melakukannya, mungkin aku akan memperingatkanmu sendiri." Zaid tersenyum. "Kamu melupakan karakterku lagi Hen, sama seperti saat aku bersama dengan adikmu."

"Lantas siapa orang yang menyuruh Bahri menyampaikan itu padaku?" Hendi kembali duduk pada kursinya dengan tanpa menghiraukan Gita yang tersedu-sedu.

" Dengan siapa saja kamu bersekutu, Hen?" Zaid menarik kursi Gita dan membiarkan anaknya itu bersandar ke dadanya. "Maafkan aku nak, harusnya aku jujur sejak awal. Tetapi keluarga ibumu tidak mengijinkanku untuk membuka jati diriku di hadapanmu."

" Banyak, Aku bersekutu dengan banyak orang." Hendi bingung.

" Saya menduga ini berkaitan dengan proyek lain. Siapa yang pernah datang kepadamu dan berbicara proyek?"

"Tidak ada." Sebenarnya dalam pikiran Hendi, telah muncul beberapa nama lain yang mungkin melakukan itu. Tetapi Hendi tidak ingin membuat sahabatnya itu kecewa. Dia ingin menunjukkan loyalitasnya pada sahabat kecilnya itu.

" Aku ingin membawa anakku pergi ke kota. Dia sudah cukup belajar bersamamu. Aku butuh penerus untuk mengelola usahaku. Sudah cukup lama keluargamu menjaganya selama ini. Mungkin Gita akan bahagia, jika pada akhirnya harus bertemu dengan Kakaknya yang selama ini tidak pernah menemuinya. Terima kasih." Zaid tidak mendengarkan penjelasan Hendi. "Aku tidak ingin kamu dijadikan kambing hitam oleh pamanmu saat kasus Jembatan Sandang menjadi tidak terkendali."

" Hentikan tingkahmu itu Id." Bentak Hendi. " Sudah kami jelaskan bahwa Gita menjadi Hak keluargaku. Hakmu hanya membesarkan Gatra."

" Bahkan kamu sendiri tidak dapat menjamin keselamatan anakku. Begitupun kamu tampak ingin main aman sendiri. Kamu tidak menyebutkan mitramu dalam proyek itu malah kamu menuduhku sebagai pelapor atas penyelewenganmu itu." Zaid menahan diri.

" Mereka tidak akan mampu bermain secantik itu. Mereka tidak akan membuat laporan kepada BPK dengan tanpa sepengetahuanku." Hendi membentak.

Ruangan menjadi hening saat Hendi dan Zaid saling bertatap mata. Gita sendiri pikirannya masih disibukkan oleh sesuatu yang ingin dilakukannya dan sesuatu yang tidak ingin diterimanya. Jauh dalam dirinya, Gita lebih suka menganggap Zaid sebagai atasannya katimbang ayahnya. Dan dia baru terpikirkan bahwa mungkin dua orang santri yang mengikutinya saat pengajian semalam itu bukan untuk meminta uang. Dia melihat Ibu nyai yang memandanginya dari kejauhan.

Seorang pemuda berbadan tegap memasuki ruangan itu dengan tanpa mengetuk. Dia berjalan dengan sangat tenang. Gita segera mengenali lelaki itu ketika dia tersenyum. Wajah dan senyum sama yang selama ini menyertainya di setiap kunjungannya bersama Hendi. Dialah lelaki yang berada di warung kopi malam itu saat Gita dan Hendi jalan kaki ke rumah Bahri.

" Perkenalkan Git, dia Gatra. Saudara kembarmu." Zaid memperhatikan mimik wajah Gita yang tampak kebingungan. " Kalian terpisah sejak usia enam bulan. Saat itu, aku harus menceraikan ibumu dan mengambil hak asuh atas Gatra." Zaid menjelaskan.

Keduanya saling berpelukan. Hendi masih kebingungan dengan kasus proyek itu ditambah lagi dengan reuni keluarga kecil yang tidak pernah dibayangkannya. "Akhirnya kita bertemu juga Tra." Hendi mencoba menguraikan kebingungannya.

" Dalam Flash disk ini, semua data proyek paman dan mitra paman tersimpan. Di dalamnya juga terdapat data yang dicurigai oleh BPK dan dasar kecurigaannya." Gatra tersenyum.

Hendi mengambil flash disk itu dan menancapkannya ke komputer jinjingnya. " Kamu cepat sekali mengetahui semua ini. Kamu memiliki bakat yang di miliki bapakmu Tra dan Gita memiliki kecantikan dari ibunya."

" Dalam file suara, terdapat suara lukman yang memberi tahu Bahri mengenai kasusmu. Di dalam file suara lainnya, terdapat pembicaraanmu melalui telpon dengan lukman untuk menjadikan Gita sebagai kambing Hitam atas kasusmu. Aku minta ijin untuk membawa Gita keluar paman." Gatra kemudian menarik tangan Gita dan membawanya keluar ruangan.

Hendi membatu. Dia merasa tidak mampu lagi berbuat banyak. Dia merasa tidak mampu lagi menyampaikan sepatah katapun. Namun dia perlu menjelaskan sesuatu pada Zaid. " Id. Semua itu tidak benar."

" Aku tidak peduli dengan kebenarannya. Aku hanya ingin membawa Gita. Jika saja kamu menghalanginya, kamu lebih tahu akibatnya dari pada aku sendiri." Zaid berdiri. " Owh iya, bukan aku yang memberi tahu bahri mengenai kasusmu tetapi aku yang memintanya untuk memperingatkanmu."

"Id, tunggu. Bagaimana dengan perusahaan jepang itu?" Hendi ingin menunda kepergian Zaid.

" Bukankah kamu telah memainkannya bersama dengan Mabrur, Lukman, Wardi dan Tatik?" Zaid menyindirnya. " Mungkin siang ini, penduduk kampung Sandang akan datang ke sini sekitar seribu orang dan menanyakan tentang penyelesaian Jembatan yang pengerjaannya baru 70% itu. Begitupun dengan Kampung Sambi yang akan menolak untuk menjual tanah dengan harga rendah ke Tatik, itu mereka sudah pada datang. Aku pamit dulu."

" Kamu benar-benar ..." Suara Hendi terputus yang kemudian diikuti dengan suara gelas jatuh dari meja.

Zaid terus berjalan tanpa menghiraukannya sambil mencabut kamera yang telah dipasang Gatra di balik pintu untuk merekam pembicaraannya dengan Hendi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun