Setiap kali melewati Pasar Tanjung Jember, ingatan saya melintas pada cerita paman tertua saya, tentang sebuah pasar tradisional yang dulunya bukan hanya sekadar mewadahi transaksi jual beli, tapi juga berkumpulnya penduduk untuk bercengkrama. Tempat yang selain menopang perekonomian pedagang kecil, juga mendukung orang-orang di sekitarnya untukmenjalin keramahtamahan. Menyantap makanan dan menyeduh minuman bersama-sama di depan toko kelontong, sambil mendengarkan siaran radio nasional.
Pasar tradisional memang selayaknya selaras dengan pengertian kata “tradisional” itu sendiri, yakni sebuah sikap dan cara pikir serta bertindak yang selalu berpegang pada norma atau adat kebiasaan yang ada secara turun temurun. Artinya, pasar tradisional (yang kemudian penyebutannya diganti menjadi “Pasar Rakyat”—berdasarkan UU Perdagangan no 7 tahun 2014) sebenarnya bukan hanya mencakup permasalahan ekonomi, namun juga isu ruang publik, relasi sosial, serta ranah budaya.
Namun sekarang, Pasar Tanjung tak lagi seperti apayang diceritakan oleh paman saya. Pasar rakyat yang dinamai demikian karena konon di depannya dulu terdapat sebuah pohon tanjung yang harum baunya itu, kini hanya menawarkan suasana jual beli sebagaimana lazimnya hubungan pembeli-penjual. Tak ada lagi kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan para pedagang untuk menjalin relasi di luar jam dagang. Tak hanya itu, lapak-lapak pedagang juga cenderung semakin berkurang dari tahun ke tahun. Jumlah pengunjungnya juga kian menyusut. Masyarakat cenderungmengalihkan minat membeli kebutuhan sehari-hari di pasar retail modern yang kian menjamur.
Yadi, seorang pedagang sayur di Pasar Tanjung juga mengungkapkan hal serupa.
“Saya mulai menggelar dagangan lewat tengah malam, sampai pagi. Hasilnya tak sebanyak dulu. Pembeli menurun. Tapi hasilnya masih lumayan buat nyambung hidup,” kata pedagang dari Ledokombo—sebuah daerah di bagian utara Jember, ini sambil tersenyum lalu menghisap kretek di mulutnya.
Apa yang terjadi pada Yadi, ternyata juga menjadi masalah bagi pedagang lain di pasar tradisional yang lain. Artinya gejala yang terjadi pada pasar tradisional memang kian meluas dari hari ke hari. Dampaknya, semakin banyak pasar tradisional yang tutup. Berdasarkan hasil survei AC Nielsen di tahun 2013 lalu, didapatkan data bahwa jumlah pasar rakyat terus mengalami penurunan. Tahun 2007 menunjukkan jumlah pasar rakyat di Indonesia sekitar 13.55o buah, kemudian di tahun 2009 jumlahnya menurun menjadi 13.450 buah, dan di tahun 2011 semakin menyusut menjadi 9.950 buah.
Padahal pasar rakyat sejatinya memegang peranan penting dalam pertumbuhan kehidupan sosio-ekonomi masyarakat. Keberadaan pasar rakyat adalah sumber penghidupan bagi puluhan juta rakyat Indonesia yang menyandarkan nasibnya dengan menjadi pedagang. Karenanya, di saat kondisinya menjadi gawat darurat seperti saat ini, dibutuhkan beberapa upaya penyelamatan yang harus dilakukan agar nadi pasar rakyat kembali berdenyut kencang. Sikap yang bernada pesimis sudah memang selayaknya dikubur dalam-dalam untuk upaya revitalisasi pasar rakyat ini. Dan tak lupa, langkah-langkah penyelamatan ini menuntut peran aktif semua pihak terkait, baik dari kalangan pedagang maupun pemangku kebijakan (pemerintah).
Pertama, melalui pembinaan secara bertahap kepada para pedagang. Dinas Pasar selayaknya memelihara program pembinaan yang bisa meliputi strategi pengembangan usaha, kiat pemasaran sederhana, manajemen dan perencanaan keuangan, atau upaya perlindungan aset jangka pendek.
Kedua, dengan pemeliharaan sarana fisik secara rutin dan berkala. Hal ini tidak hanya berupa tuntutan kepada pihak pemerintah saja, namun juga harus disertai dengan komitmen yang kuat dari pedagang untuk senantiasa memelihara fisik pasar. Kesadaran masyarakat juga harus terus dipupuk, salah satunya dengan memperbanyak imbauan visual tentang pentingnya pemeliharaan fisik pasar, sehingga ada upaya bersama untuk melangsungkan kelestarian pasar rakyat. Berkaitan dengan aspek fisik, pasar rakyat juga harus dilengkapi dengan fasilitas umum yang layak seperti kamar mandi yang bersih dan nyaman, serta ruangan khusus untuk menyusui. Pemeliharaan fisik juga berarti standarisasi berkala perkakas (misalnya timbangan) yang digunakan setiap pedagang.
Ketiga, memberantas premanisme. Salah satu hal yang membuat masyarakat menyusutkan niatnya untuk mengunjungi pasar rakyat selain faktor kenyamanan yang minimal (becek, kotor) adalah faktor keamanan yangburuk. Pasar rakyat yang aman akan membuat masyarakat akan semakin sering mengunjunginya.
Keempat, menguatkan ikatan/asosiasi pedagang pasar rakyat. Ikatan yang kuat di kalangan pedagang pasar rakyat akan mengukuhkan hubungan emosional di antara mereka. Tak hanya itu, pelbagai permasalahan yang menimpa pedagang pasar rakyat juga cenderung semakin mudah terselesaikan.
Kelima, pemberian bantuan pinjaman modal dengan bunga terjangkau untuk pedagang pasar rakyat. Modal yang cekak seringkali menjadi penyebab kesulitan pengembangan usaha bagi pedagang. Diharapkan, pemberian bantuan pinjaman dengan bunga yang terjangkau dapat menjadi jalan keluar bagi pedagang yang mengalami kesulitan modal dalam pengembangan usaha.
Keenam, digitalisasi. Tak bisa dipungkiri, sebagian masyarakat yang tidak menggunakan pasar rakyat dalam memenuhi pola konsumsi kebutuhan dasar hidupnya, sebagaian besar didominasi oleh kalangan dengan status sosio-ekonomi menengah ke atas. Kelas sosial di tingkatan ini adalah kelas yang melek teknologi. Kelas yang menjadikan internet sebagai karib. Maka strategi promosi pasar rakyat juga harus dibenahi dengan memerhatikan aspek digital. Dinas Pasar atau asosiasi pedagang pasar rakyat harus memanfaatkan keajaiban internet untuk berpartisipasi aktif dalam pemanfaatan social media, membuat laman web yang representatif tentang profil-profil pasar rakyat, sampai pada penggunaan internet untuk bantuan transaksi barang-barang di pasar rakyat dalam skala tertentu.
Ketujuh, menciptakan “Wisata Pasar Rakyat”. Pasar rakyat harus dipoles dan disolek untuk memancing minat masyarakat untuk mengunjunginya karena ingin mendapatkan kepuasan wisata. Sekali lagi, pasar rakyat di Indonesia sangat erat kaitannya dengan aspek sejarah dan budaya masyarakat di daerah pasar tersebut berada. Maka salah satu daya tarik dalam konsep “Wisata Pasar Rakyat” adalah menonjolkan aspek sejarah dan budaya yang dimiliki oleh pasar rakyat tersebut.
Yang tak kalah penting, adalah dukungan yang diberikan oleh semua lapis masyarakat untuk pasar rakyat agar corak pasar rakyat sebagai pasar yang ramah, menyenangkan, dan penting keberadaannya, tidak menjadi pudar. Dukungan bisa berupa sumbangsih pemikiran dan ide yang dipantik, serta kebanggaan yang tersemat di dalam diri masing-masing tentang pasar rakyat di daerah masing-masing.
Segenap upaya konstruktif yang dilapisi kepedulian yang tinggi untuk kelestarian pasar rakyat tak ubahnya memberikan fajar baru bagi pasar rakyat. Setelah sekian lama diselimuti pekatnya persaingan melawan pasar retail modern yang sengit, dirundung citra yang karib dengan kumuh dan kotor, dirundung pesimisme oleh masyarakat umum, maka kini saatnya pasar rakyat menjadi primadona lagi. Fajar baru telah tiba. Sinarnya terang, namun tidak terik menyengat. Memberikan semangat, memberikan harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H