Mohon tunggu...
Komunitas POTRET
Komunitas POTRET Mohon Tunggu... Freelancer - Media Perempuan

Membangun budaya menulis di kalangan perempuan dari Aceh untuk Indonesia. Sahabat POTRET adalah komunitas penulis di majalah POTRET. Kami bukan majalah yang berorientasi bisnis, tetapi menjalankan fungsi edukasi, promosi hak perempian dan advokasi. Kami bukanlah lawan, tetapi kawan dalam membangun budaya baca dan budaya menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Aksara dan Kemerdekaan Perempuan

17 Januari 2014   06:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:45 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Dini Nuris Nuraini

Sahabat POTRET Berdomisili di Sidoarjo, Jawa Timur

Di zaman Rasulullah SAW. ada istilah zaman jahiliyah, yaitu zaman kebodohan. Ternyata, di zaman sekarang pun masyarakat belum benar-benar terbebas dari kejahilan (kebodohan). Terbukti dengan masih tingginya angka buta aksara di masyarakat. Menurut data Kementrian Pendidikan Nasional, penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas pada tahun 2009 di Indonesia mencapai 8,3 juta jiwa atau setara dengan lima persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, 64 persen di antaranya adalah perempuan, sedangkan sisanya adalah laki-laki. Kebanyakan dari mereka tinggal di daerah pedesaan dan bekerja sebagai petani kecil, buruh, nelayan, serta kelompok masyarakat miskin berpenghasilan rendah atau pengangguran.

United Nations Development Program (UNDP) menjadikan angka buta huruf dewasa sebagai barometer pengukur kualitas bangsa. Hal itu juga berpengaruh pada tinggi rendahnya indeks pembangunan manusia, di mana menempatkan Indonesia pada urutan ke-110 dari 177 negara di dunia (Human Development Report 2005). Sungguh ‘prestasi’ yang buruk. Menyikapi hal ini, sampai dengan tahun 2015, Sub Direktorat Pendidikan Keaksaraan Kementrian Pendidikan Nasional berupaya menekan buta aksara sebesar 1 sampai 2 persen. Namun, hal itu tidak mudah mengingat 70% usia penderita buta aksara sudah di atas 50 tahun dan 72% adalah kaum perempuan

Keaksaraan perempuan yang ingin dikembangkan meliputi kemampuan baca, tulis, hitung, dan keberdayaan perempuan secara sosial dan ekonomi. Menurut Direktorat Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) dalam Kusnadi, dkk (2003:50) program pemberantasan buta huruf atau pendidikan keaksaraan adalah pendidikan yang diselenggarakan bagi masyarakat penyandang buta aksara untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan keaksaraan (membaca, menulis dan berhitung) serta kemampuan fungsional yang dibutuhkan terkait dengan kemampuan keaksaraan itu, sehingga dengan kemampuan keaksaraan itu mereka dapat menguasai pengetahuan dasar (basic education) yang dibutuhkan dalam habitat dan komunitas hidupnya.

Sudah 66 tahun berlalu dari tahun 1945, namun ternyata kaum perempuan Indonesia masih banyak yang belum merdeka. Kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan secara sosial ekonomi, kemerdekaan dari berbagai tindak kejahatan (perdagangan manusia / trafficking, penipuan, dan lain-lain) dan kemerdekaan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Di Tuban, Jawa Timur, Direktur Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR), Nunuk Fawziyah, S.Pd., menyatakan, korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kebanyakan perempuan buta aksara. Dari 111 korban KDRT yang ditanganinya sepanjang 2011, lebih dari 70% tidak mampu membaca dan menulis. Mereka rata-rata warga pedesaan dan tingkat ekonominya juga sangat terbelakang. Mereka menganggap lumrah hal tersebut, karena masih kuatnya pola patrialkal dalam sistem budaya masyarakat pedesaan. “Dalam budaya patrialkal yang menempatkan laki-laki dominan, melakukan kekerasan terhadap istri setengah dibenarkan, karena istri hanya “konco wingking” atau pelengkap rumah tangga saja,” kata Nunuk.

Di sisi lain, KDRT merupakan salah satu penyebab terjadinya perdagangan manusia (trafficking), di samping kebodohan dan kemiskinan. Hal ini sangat disayangkan mengingat potensi perempuan cukup besar di dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga, masyarakat, ataupun negara. Sudah saatnya untuk menyalakan lagi semangat RA. Kartini di dalam emansipasi, tentu saja emansipasi di dalam hal positif (dan bukan feminisme). Ir. Nita Yudi, MBA. menyatakan bahwa 60% penggerak ekonomi di Indonesia adalah perempuan (2012). Menurutnya sebagai perempuan tidak hanya ditempatkan di ranah domestik, akan tetapi sudah saatnya berkarya dengan berwirausaha. Apalagi saat ini Sektor Industri Kreatif sudah mulai gencar muncul dan terbukti banyak peminatnya. Akan tetapi, sehubungan dengan AFTA, maka produk dari perempuan-perempuan Indonesia harus punya kompetensi lebih dan mampu bersaing dengan produk-produk luar negeri. Oleh karena itu, Ir. Nita Yudi, MBA. Memiliki tiga program utama sebagai usaha untuk membuat perempuan pengusaha bisa naik kelas; yaitu meningkatkan SDM, memperluas jaringan usaha, dan mempermudah akses pembiayaan atau modal.

Sejalan dengan hal ini, pemerintah dan berbagai pihak yang peduli akan pemberantasan buta aksara melakukan berbagai program. Di antara program tersebut adalah pembentukan kelompok belajar, taman bacaan, sekolah terbuka, dan pemberdayaan perpustakaan. Seperti telah disampaikan sebelumnya, penduduk yang buta aksara kebanyakan adalah perempuan yang tinggal di pedesaan, tingkat ekonominya rendah, dan berumur lebih dari 50 tahun. Maka agar pembelajaran menarik, pemateri harus mencari materi dan metode belajar yang menarik dan sesuai bagi masyarakat itu. Biasanya, untuk menarik minat para penyandang buta aksara itu dilakukan pelatihan keterampilan (life skill), kemudian disisipi dengan pelatihan baca tulis.Keterampilan tersebut harus disesuaikan dengan minat warga dan harus dapat membantu kebutuhan ekonomi / mendatangkan tambahan pendapatan. Agar keterampilan tersebut tepat sasaran, maka dilakukan survei untuk mengetahui pendekatan kemampuan awal dan kebutuhan belajar. Dalam proses belajar, para tutor menggunakan tema yang disukai para penyandang buta aksara. Jadi prinsipnya harus menggunakan pendekatan pembelajaran tematik sesuai dengan tema-tema pembelajaran yang digemari oleh para penyandang buta aksara. Contohnya kalau dia di lingkungan keagamaan, maka dikembangkan tema-tema agama; tapi kalau dia di lingkungan pertanian maka dikembangkan tema-tema pertanian.

Pelatihan keaksaraan perempuan harus dilakukan secara berkesinambungan, sebab bukan tidak mungkin para penyandang buta aksara kembali menjadi buta aksara, seperti yang terjadi di Jawa Barat. Mereka yang sudah bebas buta aksara tetapi kemudian kembali menjadi buta aksara karena kurangnya tindak lanjut pembinaan. Misalnya mereka yang baru kenal aksara dasar tetapi karena di lingkungannya tidak dibimbing dengan baik, maka penggunaan bahasa Indonesianya menjadi menurun. Mereka lebih suka menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerahnya daripada bahasa Indonesia. Selain itu, penyebab kembalinya menjadi buta aksara adalah karena terbatasnya sarana dan prasarana pembinaan. Oleh karena itu, pemerintah meningkatkan jumlah Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan memberikan block grant. Block grant tersebut berupa bantuan keaksaraan usaha mandiri sebesar Rp. 460 ribu per orang untuk pembinaan penguatan seperti baca, tulis, dan kegiatan membaca, serta wirausaha lainnya.

Pelatihan keaksaraan tidak hanya bertujuan agar masyarakat bisa membaca, tetapi lebih dari itu pelatihan ini juga bertujuan agar masyarakat menjadi cinta membaca.

Sejumlah organisasi perempuan seperti PKK, Muslimat NU, Aisyiyah, Dharma Wanita, Kowani, dan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Menteri (SIKIB) juga ikut andil di dalam pendidikan luar sekolah tersebut. Kerjasama antara pemerintah dan berbagai pihak yang peduli akan pengentasan buta aksara di Indonesia akhirnya mendatangkan hasil yang baik, yaitu meningkatnya keaksaraan dan keterampilan atau kecakapan hidup perempuan Indonesia (2011).

Dengan demikian, Insyaa Allah untuk tahun-tahun ke depannya masyarakat Indonesia bisa bebas buta aksara. Dengan semakin banyaknya perempuan Indonesia yang merdeka; keluarga semakin sejahtera, masyarakat dan negara pun semakin sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun