Mohon tunggu...
Komunitas POTRET
Komunitas POTRET Mohon Tunggu... Freelancer - Media Perempuan

Membangun budaya menulis di kalangan perempuan dari Aceh untuk Indonesia. Sahabat POTRET adalah komunitas penulis di majalah POTRET. Kami bukan majalah yang berorientasi bisnis, tetapi menjalankan fungsi edukasi, promosi hak perempian dan advokasi. Kami bukanlah lawan, tetapi kawan dalam membangun budaya baca dan budaya menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tolong Lindungi Anak Negeri Kami

1 Februari 2014   22:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:15 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Fatma Susanti

Sahabat POTRET, Mahasiswi FKIP PKn Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh

Anak merupakan bagian dari manusia yang belum dewasa, memiliki pikiran, perasaan, mental, fisik namun masih dalam pertumbuhan dan perkembangan. Karenanya, anak selalu membutuhkan orang lain demi memperoleh taraf kemanusiaan sebaik mungkin.

Dengan keterbatasannya, sangat memungkinkan jika anak melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang hingga taraf pelanggaran dan kejahatan. Ini sebagai akibat dari fisik, mental dan perasaan mereka yang belum stabil, belum dewasa dan matang, kadar pengetahuan yang belum sempurn. Juga minimnya pemahaman terhadap realita. Anak terkadang tidak sepenuhnya sadar dengan dampak dari setiap perbuatan mereka sebagaimana layaknya orang dewasa. Anak-anak dan remaja memiliki tingkat imitasi yang tinggi, yakni peniruan terhadap tingkah laku individu-individu lain yang terkadang tanpa pertimbangan logis terhadap baik-buruknya atau benar-salahnya perbuatan tersebut. Tak jarang kenakalan-kenakalan remaja disebabkan pengaruh lingkungan, teman sebaya, visualisasi dalam tayangan-tayangan media, dan sebagainya.

Berdasarkan sebuah penelitian, sebagian besar faktor yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana dikarenakan kondisi ekonomi yang tidak mampu (74,71 %), pendidikan rendah (72,76%), lingkungan pergaulan dan masyarakat yang buruk (68,87%) dan yang terakhir karena lingkungan keluarga yang tidak harmonis (66,15%). Selain itu, adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak (Sarah Mantovani: 2011).

Karenanya jangan pernah berharap anak mampu sebaik orang dewasa dalam merespon suatu kondisi. Namun sekalipun anak terjebak pada tindak pelanggaran dan kejahatan, anak tidak layak diperlakukan sama dengan orang dewasa. Oleh karenanya, diberlakukan Undang-UndangNo. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yangbertujuanmemberikan perlindungan hukum terhadap segala bentuk kekerasan dan diskriminasi kepada anak.

Dalam kedua undang-undang di atas memuat beberapa prinsip yakni: Aparat hukum yang menjalankan proses peradilan anak adalah aparat hukum yang mengerti masalah anak. terdiri dari Penyidik anak, Penuntut Umum anak, Hakim anak, Hakim Banding anak dan Hakim Kasasi anak. Orang tua/ wali/ orang tua asuh dan petugas kemasyarakatan yang berwenang dapat mendampingi anak selama proses pemeriksaan anak di persidangan. Penjatuhan pidana penjara pada anak dalam perkara anak adalah separuh dari ancaman maksimal orang dewasa. Sidang anak ialah sidang tertutup untuk umum dengan putusan terbuka bagi umum. Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal; Pemberian kesempatan pembebasan bersyarat dengan masa percobaan bagi anak yang menjalani pidana.

Yang paling utama adalah penindakan terhadap anak harus berorientasi pembinaan bukan penjeraan, yakni mengembalikan pada orang tua, wali atau orang tua asuh; menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja dan menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya dilakukan sebagai upaya terakhir, apabila upaya lain yang tersebut di atas, tidak dapat lagi dilakukan.

Namun sayangnya, meski telah diatur dalam Undang-undang, aparat penegak hukum sendiri belum serius dan professional dalam menjalankan prosedural dalam menangani pelaku tindak pidana oleh anak. Sangat banyak ditemui kasus penyimpangan yang selama ini terpublikasi di media masa, seperti perkara anak yang diduga berjudi di Terminal Bandara Cengkareng, dimana petugas dengan arogan telah menangkap mereka bahkan sempat ditahan. Bahkan di Jogjakarta terjadi kekerasan yang dilakukan petugas pada anak yang sedang menjalani penyidikan dan juga ditahan bersama narapidana dewasa, atau seorang anak dipidana karena pencurian oleh Pengadilan Negeri Padang dan telah menjalani pidana 6 bulan, tidak bisa segera bisa menghirup udara bebas dan terpaksa “diperpanjang” selama 5 bulan lagi hanya karena masalah teknis dan administrasi. Ironis!

Jangankan perlakuan kasar dan sarat kekerasan seperti penangkapan dengan cara paksa, intimidasi dalam penyidikan, ditahan sebelum jatuh vonis, dan sebagainya, bahkan labelisasi terhadap anak pelaku tindak pidana saja tak dapat disamakan dengan orang dewasa. Mereka harus disebut dengan istilah ‘Anak nakal’, bukan penjahat. Hal ini menjadi penting mengingat anak juga makhluk sosial yang hidup di tengah masyarakat.

Karena beberapa fakta membuktikan bahwa anak-anak berperilaku menyimpang yang ditreatment melalui pendekatan yang manusiawi, pembinaan yang penuh kasih sayang dan dialogis, pendidikan yang demokratis, memberikan efek yang jauh lebih positif pada perkembangan anak. Tak jarang, perlakuan hukuman yang sarat dengan kekerasan atas alasan ingin memberikan efek jera justru membuat anak menjadi manusia yang berkepribadian jauh lebih agresif, emosional, egois.

Oleh karenanya, jangan pernah salahkan manusia-manusia yang berkepribadian buruk karena dahulunya mereka diperlakukan dan dididik dengan cara yang buruk. Namun sayangnya masyarakat kita lebih suka mencap buruk, bahkan memperlakukan kasar terhadap anak berperilaku menyimpang tanpa paham dan berpikir bijak apa penyebab para anak melakukan tindakan demikian. Sepertinya masyarakat tak pernah bertanya, apakah keluarga sudah mampu menjadi tempat terbaik dalam memberikan kasih sayang dan perhatian? Apakah sekolah sudah mampu menjadi lembaga yang menyalurkan nilai secara demokratis, dialogis, nonfeodalis? Apakah pemerintah sudah menjadi lembaga yang mampu memberikan kepuasan bagi masyarakatnya? Apakah masyarakat sendiri sudah menjadi kumpulan manusia yang dapat memberikan contoh moral bagi yang lainnya? Jika tidak, lantas ketika anak berperilaku, merespon, melakukan protes melalui sikap mereka yang dianggap menyimpang karena keterbatasan mereka, sudah pantaskah masyarakat hanya mampu mencap buruk, menghujat, menghakimi, bahkan memperlakukan kasar?

Tak perlu memukul anak untuk membuat mereka tersakiti. Dan jika seperti ini terus perlakuan terhadap anak bangsa ini, jangan harap manusia-manusia Indonesia memiliki kualitas kepribadian yang layak. Tak heran mengapa bangsa ini terkadang terlihat seperti bangsa yang bar-bar.Pikirkanlah.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun