Oleh Utari Giri, Sahabat POTRET, Anggota IIDN
Tak dapat dipungkiri lagi jika perempuan Indonesia saat ini sudah dapat disandingkan dengan lawan jenisnya dalam berbagai bidang. Sarjana perempuan hampir merata tersebar diseluruh penjuru tanah air. Dokter, insinyur, guru ataupun profesi yang lain yang disandang kaum perempuan sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Bahkan dalam jajaran Pemerintahanpun perempuan sudah bisa memberikan andil baktinya. Sejarah Indonesia telah mengukir beberapa nama perempuan yang pernah menjabat sebagai bupati, menteri bahkan juga presiden perempuan. Tak terkira betapa bahagianya R.A Kartini jika beliau dapat menyaksikan hasil perjuangannya dulu. Cita-citanya tentang emansipasi rasanya sudah terwujud, meskipun masih banyak lagi hak-hak perempuan yang tetap harus diperjuangkan.
Saat ini perempuan Indonesia juga sangat memahami betapa penting peranannya dalam membentuk akhlak generasi penerusnya. Terbukti dengan banyaknya ceramah-ceramah atau komunitas-komunitas perempuan yang memberi pencerahan masalah tersebut diikuti oleh banyak peserta. Jadi meskipun seorang perempuan pekerja, dia tetap dapat menempatkan posisinya sebagai seorang istri dan ibu yang baik untuk keluarganya. Tidak ada lagi halangan dan larangan bagi perempuan untuk terus berkarir di luar rumah. Ini adalah sebuah kemajuan dalam pemahaman seorang perempuan yang luar biasa dan pantas untuk diberi acungan jempol.
Namun seiring dengan semakin terbukanya emansipasi di kalangan masyarakat, cita-cita R.A Kartini mulai banyak disalahgunakan hingga akhirnya mulai ternoda. Disela-sela berita tentang perempuan hebat yang telah banyak mengukir prestasi baik dalam skala nasional maupun internasional, kita juga dikejutkan dengan berita tentang perempuan-perempuan yang terlibat kasus korupsi. Yang demi ambisi, politik dan jabatan sanggup melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum serta merendahkan martabatnya sendiri.
Sebut saja Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti, Miranda Gultom, Wa Ode Nurhayati, Malinda Dee, Mindo Rosalina Manualang ataupun Hartati Murdaya. Perempuan-perempuan cantik dan terpelajar yang telah mencoreng perjuangan kaum perempuan di Indonesia. Ditengah kaum perempuan yang masih terus memperjuangkan hak-haknya, atau sebagian besar perempuan menyuarakan gerakan anti korupsi, ketujuh perempuan ini justru bertindak sebaliknya. Dengan modal kecantikan, kedudukan, atau jabatan sang suami mereka melakukan penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi. Mereka adalah para koruptor perempuan Indonesia yang telah menodai perjuangan kaumnya sendiri. Perempuan-perempuan terpandang yang seharusnya bisa memberi contoh yang baik bagi perempuan yang lain.
Memang tidak ada yang bisa kita banggakan dari perbuatan mereka. Tetapi paling tidak ada sedikit pembelajaran yang bisa kita petik, terutama untuk memberi contoh nyata kepada generasi penerus agar tidak terjerumus dalam kesalahan yang sama. Perempuan dengan segala gelar yang disandangnya, entah sebagai ibu rumah tangga, pendamping suami, guru untuk anak-anak, ataupun sebagai profesi yang lain seyogyanya bisa menjaga martabatnya sendiri dan keluarganya.
Disinilah kedewasaan berpikir perempuan harus dioptimalkan. Ditengah gaya hidup hedonis seperti sekarang ini, diharapkan perempuan dapat membentengi paling tidak dirinya sendiri untuk tidak sampai berbuat korupsi. Justru dalam posisinya sebagai seorang pendamping suami, perempuan diharapkan dapat meredam kasus korupsi bukan justru ikut berperan didalamnya atau bahkan mendukung tindakan salah para suami. Juga dalam perannya sebagai seorang ibu, seharusnya perempuan dapat memutus budaya korupsi yang sudah mengakar di masyarakat Indonesia. Karena dari keluargalah akan terbangun nilai-nilai moral yang membentuk dan menjaga integritas individu.
Perlu tindakan nyata dari perempuan untuk ikut serta dalam meminimalkan timbulnya kasus korupsi baik bagi dirinya sendiri, keluarga maupun orang lain disekitarnya. Untuk itu hendaknya perempuan memulainya dari sekarang.
·Sudah saatnya perempuan berani berkata “TIDAK” untuk korupsi. Lupakan gaya hidup, tekanan sosial dan lingkungan yang dapat memojokkan perempuan untuk melakukan korupsi. Tetap jadilah diri sendiri, yang tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan yang buruk. Katakan haram pada suami yang memberi nafkah dari hasil korupsi dan mendorongnya untuk selalu menghindar dari perbuatan tersebut.
·Berani melaporkan kepada pihak terkait jika melihat atau menemukan indikasi adanya korupsi disekitarnya. Sekecil apapun nilai dan lingkupnya, korupsi tetap harus diberantas.
·Untuk menghindarkan perempuan dari tindak korupsi, maka selayaknya perempuan juga mendapatkan informasi yang sama tentang bahaya dan dampak dari korupsi. Dengan demikian setidaknya perempuan dapat menghindari dan membentengi dirinya jika dihadapkan pada situasi yang memaksanya untuk bertindak korupsi.
·Tidak ada salahnya jika perempuan-perempuan mulai bergabung dalam organisasi yang menyerukan anti korupsi. Tentu banyak manfaat yang bisa didapat dari keikutsertaannya dalam organisasi tersebut. Paling tidakbisa menggerakkan hatinya untuk selalu menghindari perbuatan korupsi tersebut.
Memang tidak dapat terwakilkan hanya dari ketujuh perempuan ini saja wajah perempuan Indonesia. Tetapi sekiranya dapat kita jadikan catatan akhir tahun yang berharga, bahwa kiranya masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera dikerjakan oleh perempuan Indonesia untuk memperbaiki diri dan menghapus noda-noda yang telah menoreh dalam menuju emansipasi yang benar-benar bersih dan bermartabat. Kita harus waspada jika ternyata duri perjuangan perempuan Indonesia masih ada disekitar perempuan itu sendiri.
Semoga ditahun-tahun mendatang tidak akan pernah terdengar lagi adanya noda-noda dalam perjuangan perempuan di Indonesia. Dan semua itu dapat terwujud dengan tekad dan konsistensi para perempuan dalam mengoptimalkan perannya baik sebagai individu, istri ataupun ibu dari para penerus bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H