Bagi saya, pilpres sekarang ini bukan persoalan Jokowi atau Prabowo. Untuk Pak Jokowi saya ada banyak kritik, terutama soal prioritas pembangunan kota Jakarta yang agaknya berorientasi pada yang nampak-nampak.
(Jokowi mode= ON). Saya berikan satu contoh. Untuk pengentasan banjir yang paling vital adalah sodetan kali Ciliwung, karena itu akan mengurangi banyak debit air yang mengguyur Jakarta, dan menyelamatkan lebih banyak pemukiman. Tapi Pak Jokowi memilih waduk pluit. Saya tahu waduk pluit juga amat banyak manfaatnya. Tapi dari sedikit naluri problem solving, saya kok yakin sodetan kali Ciliwung itu lebih menyentuh inti permasalahan.
Dan sebagai manusia tentu saja masih banyak yang bisa dikritisi dari seorang Jokowi.
Tetapi pilpres ini bukanlah memilih yang sempurna.
Saya sangat mendukung perubahan. Perubahan boleh jadi suatu perjudian, tetapi memilih sesuatu yang monoton sungguh berlawanan dengan naluri untuk lebih maju. Bangsa ini sudah dicekam puluhan tahun oleh suatu ideologi kampungan bahwasannya elit atau pejabat adalah pemilik negara ini. Suatu feodalisme terselubung yang jauh lebih memuakkan dari negeri-negeri yang bahkan menganut monarkhy.
Manusia-manusia berseragam tidak ditilang. Manusia berseragam selalu mendapat kursi di gerbong kereta api. Manusia berseragam mendapat perlakuan utama di jalanan. Manusia berseragam mengurus perijinan dengan lebih cepat. Manusia berseragam mengurus uang negara, tapi memikirkan rakyat adalah bagian dari formalitasnya, sejatinya ia memikirkan dirinya sendiri, mobilnya, rumahnya dll.
Manusia berseragam dengan bangga menggunakan plat nomor X 1 XX. Bebas tilang, bebas macet. Inilah negeri yang dicekam mentalitas kampungan.
Memilih Jokowi tidak menjamin semua ini berubah seperti membalik telapak tangan. Tetapi memilih kubu seberang, segala fenomena aneh negeri ini hanya akan abadi.
Salam Dua Jari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H