"Piye Le, kepenak jamanku, ta?" Bokong truk berujar. Dengan gambar Pak Harto sedang senyum. Kakak iparku menyangkal pernyataan ini. "Nggak begitu. Ya jelas enak jaman sekarang, lah".
"Jaman Soeharto aku tinggal di kontrakan, belum punya mobil, motorku pernah ilang," imbuhnya.
Sedang Simbahku setuju 100%. "Kenapa Mbah? Harga-harga murah?". "Bukan", katanya. "Jaman Soeharto makan daging enak banget."
"Gigiku masih utuh semua," jelasnya sambil memegang dagu.
Seperti apa jaman soeharto yang uenak itu. Aku kasih ilustrasi sedikit. Waktu itu di kos-kosan, tidak lama setelah penataran P4. Kami sok aktivis, ngerasani Soeharto. Ngelek-elek. Seorang kawan menyela, "Awas, aku ga ikut-ikut." Matanya melotot, mukanya tegang memperingatkan. Rambutnya agak cepak. (Kali dia pernah gagal seleksi menwa).
Pada jaman itu dinding-dinding bisa mendengar, lalu melapor ke Koramil. Besoknya kamu diambil. Inilah kira-kira yang terjadi dengan para aktivis yang hilang, mereka dilaporkan oleh dinding-dinding. Pokoknya mencekam. Kamu boleh makan nasi pakai telur, pakai tempe, atau kerupuk, atau nggak pakai apa-apa. Tapi jangan coba-coba bilang Soeharto kurang ganteng.
Nanti kamu dibawa ke Koramil.
Di tahun 2014 ini, aku baca di koran, ada babinsa keliling-keliling. "Babinsa itu apa?" Tanyaku. "Koramil," kata mereka. Waduh.
Untungnya, berita-berita di koran tidak seperti di jaman orde baru. Di jaman orde baru, kalau ada koramil keliling, tidak ada berita di koran-koran.
Heran, kenapa ada orang seperti itu. Kenapa ia percaya dengan babinsa keliling bisa mendapat dukungan masyarakat? Yang ada malah disumpahin orang-orang. Aku ngomong pakai data lho. Pagi ini aku ke kantor pos, tukang posnya lagi nyumpah-nyumpahin babinsa.
Ini tinggal soal cacing kepanasan saja. Jangan takut njerit melihat cacing-cacing. Jangan biarkan mereka bikin dinding-dinding mendengar lagi. Nanti kita kembali ke jaman orde baru. Simbahmu tumbuh giginya, terus kakak iparmu ngontrak dan gak punya mobil.