Adanya fakta - fakta ini tentu saja menuntut adanya sikap mental tanggap bencana dari semua pihak, terlebih pada para penguasa yang menjadi poros pengurus rakyatnya. Sangat disayangkan, setiap terjadinya bencana pemerintah nyaris selalu gagap dan pada akhirnya, pemerintah kalah cepat oleh ormas, LSM, parpol, atau masyarakat biasa.
Bahkan terkadang, para pemimpin Negara bersikap abai dan lebih mementingkan urusan lain daripada melihat daerah bencana. Kalaupun mereka turun lapangan, tidak lebih hanya seremonial semata atau membangun citra. Sehingga wajar timbul pertanyaan Negara ada dimana? Bantuan sering kali datang terlambat, dengan dalih lokasi sulit dijangkau. Alih - alih membicarakan soal upaya mitigasi prabencana, untuk tanggap darurat saat kejadian saja, sering kali berjalan lamban dan seadanya.
Apalagi membicarakan soal mitigasi pasca bencana. Dampak berbagai bencana yang masih membutuhkan penanganan berkelanjutan seperti banjir bandang disertai lahar dingin Gunung Marapi di Sumatra Barat yang terjadi pada Mei 2024, banjir disertai tanah longsor di Kabupaten Luwu (Sulawesi Selatan) pada Februari 2024, bahkan gempa Cianjur yang terjadi pada 2022, hingga hari ini kondisinya belum benar - benar bisa dipulihkan.
Sejatinya, makin luasnya titik kejadian dan kian banyaknya jumlah korban bencana menunjukkan bahwa mitigasi tidak benar - benar berjalan sebagaimana seharusnya. Sehingga masyarakat sering kali menyelesaikan persoalan mereka secara swadaya. Sedangkan pemerintah hanya membantu seadanya dan berkutat dengan persoalan kekurangan dana. Wajar jika mereka memilih tidak terlalu berharap banyak pada pemimpinnya karena negara memang antara ada dan tiada.
Dampak Kepemimpinan Sekuler Kapitalistik
Kuatnya paradigma pembangunan sekuler kapitalistik menjadikan para penguasa tidak memiliki sensitivitas dan keinginan yang serius dalam menyolusikan perihal bencana dari akarnya. Hal ini kita dapati dengan adanya kebijakan yang justru menjadi penyebab munculnya bencana hingga berpotensi mendatangkan bencana baru berikutnya. Seperti penggundulan hutan dan alih fungsi lahan terutama di zona penyangga (hutan).
Temuan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) tahun 2022 menyebut 35% hutan kita rusak bahkan hilang, adapun proyek - proyek industrialisasi di berbagai daerah, penanganan daerah aliran sungai yang timbul tenggelam, pembangunan fisik yang jor - joran, dan sebagainya. Semuanya seakan sulit ditangani karena adanya kepentingan para pemilik modal.
Kebijakan AMDAL yang longgar saat ini pun mendapat banyak protes dari aktivis lingkungan. Para pelaku usaha kelas kakap berani menjalankan usahanya meski izin belum keluar. Meskipun jelas melanggar aturan, tidak sedikit diatara mereka yang lolos hukum. Masih menjadi budaya di Indonesia kongkalinkong kapitalis dan pejabat penguasa.
Mengenai persoalan mitigasi bencana selama ini, masyarakat selalu menjadi pihak yang disudutkan. Berpengetahuan minimlah, tidak bisa diatur, tidak mau direlokasi dan sebagainya. Padahal ini semua adalah tanggung jawab penguasa yang menyangkut political will yang harusnya menyediakan data dan informasi, kesediaan teknologi, fasilitas umum dan alat serta memberikan pengetahuan kepada masyarakatnya.
Bukan hanya dicerdaskan, masyarakat juga butuh difasilitasi dan diberi jaminan kesejahteraan. Dalam benak mereka, apabila meninggalkan kampung halamnya mereka akan hidup dimana dan seperti apa? Penguasa hanya menuntut masyarakatnya demikian, tetapi solusinya tidak ada. Sebab itu, jangan salahkan masyarakat jika mereka semakin lama tidak percaya pada para penguasanya.
Butuh Riayah Berdimensi Akhirat