"We Campaign with Poetry, But we Govern in Prosa"
-Mario Cuomo-
Tahun 2013 adalah tahun politik. Diawali dengan penetapan  nama-nama Partai Politik peserta pemilu pada Januari 2013 oleh KPU, sebagai penanda telah dibukanya waktu kampanye. Karenanya tidak mengherankan menjelang pemilihan umum 2014,  janji-janji politik semakin banyak tersebar di ranah publik. Calon presiden dan wakil presiden silih berganti menghiasi setiap oplah madia cetak. Stasiun televisi juga berlomba memperebutkan perhatian pemirsa melalui program-program pemilihan umum. Berbagai janji bertaburan, mulai dari kenaikan upah minimum, kartu jaminan kesehatan, janji perbaikan layanan transportasi, layanan pendidikan dan kesehatan gratis, subisidi pupuk, bahan bakar murah, hingga jargon yang lebih umum dan luas seperti ekonomi kerakyatan dan swasembada pangan. Semua itu dilakukan dengan harapan, rakyat akan memilihnya.
Ditengah banjir informasi dan janji-janji yang populis, rakyat dituntut dapat menentukan pilihannya. Rakyat dengan beragam tingkat pendidikan, latar belakang sosial, ekonomi, tradisi, atau agama akan menentukan pilihan partai politik ataupun calon presiden yang sesuai dengan aspirasinya. Pertanyaannya adalah benarkah janji-janji yang dilontarkan partai-partai politik atau calon presidennya akan dapat terlaksana atau sekedar janji dan upaya untuk meningkatkan popularitas semata? Akankah janji tersebut dipenuhi kelak atau hanya menjadi sekedar jargon popular disaat masa kampanye?
Demokrasi memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih secara bebas partai politik atau calon presiden yang mereka percaya. Melalui sistem demokrasi, akan tercipta pemerintahan yang baik yang akan dapat mendorong terciptanya kemajuan bangsa sekaligus mensejahterakan rakyat Indonesia. Demokrasi juga menawarkan pilihan-pilihan rasional yang dapat diukur serta dipertanggungjawabkan dihadapan publik. Disinilah pentingnya demokrasi bagi kehidupan kita.
Dalam perkembangan politik Indonesia, sejak momentum pemilihan umum 2009, jargon dan citra "populisme" menguat sebagai tawaran alternatif pilihan politik yang ideal di Indonesia. Kegenitan Kata "kerakyatan" atau "kebijakan yang merakyat" Â bergulir dan dianggap menjadi antithesis yang terbaik bagi kebijakan-kebijakan di Indonesia. Populisme menjadi sebuah alternatif bagi upaya untuk mencapai kemakmuran. Tawaran-tawaran program yang berbau "kerakyatan" menjadi sebuah fenomena menarik dan menggiurkan bagi sebagian kelompok masyarakat. Persoalannya, apakah kegenitan populisme telah benar-benar menjadi solusi bagi masalah-masalah kebangsaan, sehingga hal itu applicable atau memungkinkan untuk diterapkan?
Dalam kamus sosiologi, populisme diartikan sebagai "suatu bentuk khas retorika politik, yang menganggap keutamaan dan keabsahan politik terletak pada rakyat, memandang kelompok elit yang dominan sebagai korup, dan bahwa sasaran-sasaran politik akan dicapai paling baik melalui cara hubungan langsung antara pemerintah dan rakyat, tanpa perantaraan lembaga-lembaga politik yang ada" (Audiences: A Sociological Theory of Performance and Imagination, Abercrombie et. al., 1998).
Kata populis paling banyak digunakan di Amerika Latin, untuk menggambarkan kedekatan aktifitas politik para tokoh-tokohnya dengan rakyat. Populisme dalam pengertian membujuk masyarakat dengan hal-hal yang terlalu jauh dari demokrasi, amatlah membahayakan. Meski demikian, banyak ilmuwan politik yang melihat populisme sebagai patologi atau korupsi demokrasi karena kaum populis cenderung memanfaatkannya demi kepentingan politik elektoral, propaganda dan kharisma personal untuk menarik konstituen ketimbang tampil sebagai edukator. Kaum populis terlalu menggantungkan pada itikad baik para pemimpin. Mereka lupa bahwa itikad baik saja tidak cukup jika tidak dibentengi sistem yang mampu mencegah lahirnya diktator-diktator baru dengan mengatasnamakan populisme.
Dalam konteks Indonesia, populisme disimbolkan dengan kehadiran sosok Jokowi. Jokowi dianggap kebenaran tunggal. Apapun yang dilakukan adalah representasi kehendak rakyat, maka berseberangan dengan kemauan Jokowi, akan menyebabkan ancaman dan cibiran dari rakyat. Fenomena itu nampak jelas berkaitan dengan Mobil Murah.
Dalam isu pro-kontra Mobil murah, publik hanya disuguhi kehendak Jokowi melawan kebijakan pemerintah. Argumen ekonom yang mendukung kebijakan Mobil murah sama sekali tidak terdengar di publik. Semua hal yang berkaitan dengan dukungan mobil murah dianggap tidak produktif, tidak ramah lingkungan dan langsung dituding pro-asing, anti-kerakyatan, dan sarat agenda neolib. Bahkan persoalan kemacetan di ibukota seolah-olah hanya dapat diselesaikan dengan menolak kehadiran mobil murah. Strategi dan konsep penataan transportasi Jokowi sama sekali tidak pernah dibahas. Semua persoalan hanyut ditelan manuver politik Jokowi yang sarat stigmatisasi.