Di antara sekian banyaknya keistimewaan yang ada dalam Islam adalah bentuk fleksibelitas dan rasionalitasnya, sebagaimana juga bisa menyesuaikan dengan tempat dan waktu pun juga mudah diterima oleh banyak kalangan masyarakat, baik itu yang berhubungan dengan masalah akhlak, muamalat, ibadah bahkan yang berkaitan dengan hukum (aturan) dalam pernikahan. Isu-isu tentang nikah pada usia muda sering kita dapatkan bahkan tidak jarang hingga menjadi polemik, dan berbagai macam pendapat yang sifatnya kontroversial, baik itu dalam dunia remaja maupun dalam masyarakat secara umum.
Hal tersebut dikarenakan masih adanya sebagian asumsi bahwa hal yang dimaksud itu dianjurkan oleh agama, bahkan didorong serta dicontohkan oleh Nabi Muhamad SAW. Lantas bagaimana kita menyikapi berbagai hal yang beragam tersebut? benarkah asumsi-asumsi tersebut? Di sini, Saya berusaha untuk sedikit memberikan gambaran mengenai fenomena nikah di usia muda, dalam hal ini, pendapat yang Saya kemukakan juga tidak lepas dari berbagai sumber yang telah saya baca sebelumnya.
Di samping sebagai Tugas Wajib pada Mata Kuliah Aliran Modern dalam Islam, tulisan singkat ini tidak lain saya dedikasikan untuk memberikan kontribusi tentang berbagai isu-isu nikah di usia muda (nikah di bawah umur) dalam sudut pandang agama dengan harapan semoga ajaran Islam yang sudah sangat indah, damai, mudah dan toleran ini memiliki nilai-nilai, norma-norma kemanusiaan yang sangat dihormati ini tidak disalahgunakan atau bahkan diselewengkan oleh sebagian kalangan yang sifatnya mempunyai kepentingan tanpa tanggung jawab apapun.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pernikahan atau nikah mempunyai arti ikatan, berkumpul atau menyatu. Sedangkan dalam istilah lain bisa juga berarti Ijab Qobul (kesepakatan dalam nikah) yang mewajibkan pertalian antara sepasang makhluk hidup yang dalam hal ini kami maksudkan manusia kemudian mengucapkan kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sebagaimana peraturan yang disyariatkan dalam Islam.
Dalam bahasa arab, kata zawaj digunakan sebagaimana dalam al-Quran yang artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya juga dapat diartikan sebagai menyatu (pernikahan), Allah SWT. menjadikan kita (manusia) untuk saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan perbuatan zina.
Terdapat dalam salah satu hadisnya, Nabi Muhammad SAW. menganjurkan kepada setiap pemuda (muda-mudi) agar menikah ketika “mampu”. Lalu kapankah seseorang dikatakan mampu untuk menikah? Jika kita tinjau dalm pandangan agama, tidak ada petunjuk atau batasan khusus yang menyatakan di usia berapakah seseorang diharuskan untuk menikah. Jika kita merujuk pada makna hadis Nabi sebagaimana disebutkan di atas, adalah ketika kita sudah mampu. Artinya dalam hal ini agama memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk bisa menyesuaikan diri artinya orang tersebut sudah mampu dalam berbagai aspek ketika hendak melangsungkan pernikahan agar dapat memberikan kemashlahatan pada rumah tangganya kelak.
Sejarah Pernikahan Rasulullah SAW.
Melihat fenomena pernikahan antara Nabi Muhammad SAW. dengan Siti Aisyah ada sebagian kalangan yang berdalih bahwa nikah di usia muda merupakan tuntunan dan ajaran Nabi yang patut kita contoh. Pendapat ini sama sekali tidak dapat dibenarkan secara umum, karena Nabi tidak permah mendorong bahkan tidak menganjurkan untuk melaksanakan pernikahan di bawah umur. Akad pernikahan yang dilakukan antara Nabi Muhammad SAW. dengan Siti Aisyah di mana saat itu beliau baru berusia sekitar kurang lebih 10 tahun tidak bisa dijadikan sebagai sandaran atau dasar pegangan usia perkawinan dengan alasan sebagai berikut: Pertama, perkawinan itu merupakan perintah dari Allah SWT. sebagaimana yang termaktub dalam sabda Nabi Muhammad SAW, ”Saya diperlihatkan wajahmu (Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali, Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu”. (HR Bukhari dan Muslim). Kemudian yang Kedua, Nabi Muhammad SAW. sendiri sebenarnya tidak bermaksud (berniat) untuk berumah tangga jika bukan karena perintah Allah SWT. dan desakan dari para sahabat yang pada saat itu diwakili Sayidah Khawlah binti Hakim. beliau merupakan salah satu kerabat Nabi Muhammad SAW, di mana mereka melihat betapa Nabi Muhammad SAW. setelah wafatnya Sayidah Khadijah, istri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam perjalanannya mengemban amanah dalam memperjuangkan dakwah Islam kala itu. Dan yang Ketiga, Perkawinan Nabi Muhammad SAW. dengan Siti Aisyah mempunyai hikmah penting dalam perkembangan dakwah dan pengembangan ajaran-ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan manusia, khususnya yang berhubungan dengan masalah perempuan yang saat itu banyak para kaum perempuan yang bertanya kepada Nabi melalui Siti Aisyah. Saat itu, Siti Aisyah sendiri dikenal sebagai perempuan yang cakap dengan kecerdasannya yang mumpuni dibandingkan dengan perempuan-perempuan lain pada masa itu.
Pada intinya, agama sebaiknya tidak dipandang sebelah mata, ada baiknya untuk melihat lebih jauh lagi bagaimana cara agama menekankan maksud lain dan inti dari setiap ajaran dan tuntunan yang ada di dalamnya. Dalam hal pernikahan ini, Islam juga mendorong hal-hal lain agar lebih menjamin sukses tidaknya terhadap substansi sebuah pernikahan. Maksudnya adalah, agar kematangan kedua belah pihak dalam menjalankan kehidupan berkeluarga, agar terciptanya hubungan yang berimbang, berbagi rasa, saling curhat, menasihati antara keduanya dan saling memberi pun juga dapat menerima kekurangan (dengan sikap dewasa) dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaannya kepada Allah SWT.