Mohon tunggu...
Erwin Ricardo Silalahi
Erwin Ricardo Silalahi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga Negara Indonesia

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK dan Bahaya Tirani Terhadap Negara

28 Oktober 2017   15:35 Diperbarui: 28 Oktober 2017   23:02 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KPK dan Bahaya Tirani Terhadap Negara

Oleh: Erwin Ricardo Silalahi

(Wakil Ketua Umum Depinas SOKSI)

Kewenangan atau kekuasaan yang digunakan secara brutal merupakan tirani yang dapat menghancurkan tatanan masyarakat dan atau negara, bahkan berpotensi mengebiri konstitusi. Kecenderungan tirani inilah yang sedang terjadi pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari waktu ke waktu, KPK cenderung menggunakan kewenangannya seolah-olah berada di atas konstitusi, ibaratnya negara dalam negara.

KPK bertingkah seolah-olah tidak ingin disentuh oleh tata peraturan undang-undang termasuk undang-undang yang mengatur perihal keberadaan lembaga anti rasuah ini. Salah satu contoh buruk pelanggaran undang-undang yang ditunjukkan secara mencolok oleh KPK adalah menolak hadir dalam Rapat Pansus Hak Angket KPK. Padahal, DPR diberikan hak konstitusional untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah, termasuk mengawasi semua lembaga yang berafiliasi secara koordinatif dan konsultatif dengan pemerintah.  

Pada awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, KPK pun pernah melakukan blunder konstitusi karena bertendensi mengangkangi hak prerogatif Presiden dalam memilih anggota kabinet. Saat Presiden Jokowi hendak menyusun kabinet, KPK mengeluarkan 'raport merah' sebagai indikasi tersangkut kasus korupsi, terhadap sejumlah tokoh politik diantaranya Muhaimin Iskandar, sehingga Presiden Jokowi tidak memilih mereka sebagai anggota kabinet. Di kemudian hari, tuduhan KPK itu ternyata tidak pernah terbukti. Ulah KPK seperti ini tidak hanya menutup ruang pengabdian para tokoh politik untuk dapat berbakti kepada negara dan bangsa, melainkan lebih dari itu telah membunuh karakter (character assasination) terhadap para tokoh politik bersangkutan. Lalu, apa tanggung jawab moral KPK saat tuduhan tentang raport merah itu tidak terbukti?

Tendensi pelanggaran konstitusi juga tergambar pada sikap KPK yang tetap bersikukuh untuk menolak panggilan Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK DPR RI bahkan hingga hari ini. Padahal, DPR memiliki kewenangan konstitusional untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga negara di bawahnya, atau yang berada dalam relasi koordinatif-konsultatif dengan pemerintah. Selama ini KPK bermanuver menghidari panggilan Pansus KPK dengan berlindung di balik alasan bahwa belum ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan mereka untuk memenuhi panggilan Pansus KPK. Sikap angkuh KPK seperti ini dapat dikategorikan sebagai pendzoliman terhadap eksistensi lembaga tinggi negara bernama DPR RI.

Reputasi KPK patut dipertanyakan oleh karena terus menampung penyidik yang ditengarai tersangkut dalam kasus pidana pembunuhan di Bengkulu. Menyitir keterangan praktisi hukum Johnson Panjaitan di dalam Rapat Pansus Angket KPK beberapa waktu lalu, bahwa Novel Baswedan terlibat dalam pembunuhan di Bengkulu. 

Namun, persidangan terhadap Novel terputus di tengah jalan begitu saja sebagai akibat dari 'penetrasi kepentingan tertentu' yang mungkin tidak ingin Novel menjadi pesakitan atau terpidana. Hingga hari ini vonis kasus pembunuhan di Bengkulu itu bagai menggantung. Kalau KPK bertingkah seolah-olah Novel Baswedan adalah penyidik paling bersih, maka dari perspektif akal sehat publik patutlah dipertanyakan reputasi KPK. Bagaimana mungkin institusi hukum seperti KPK justru melindungi oknum yang diduga kuat tersangkut kasus pidana pembunuhan? Institusi macam apakah KPK ini sehingga bisa bertingkah seenaknya dengan tidak memedulikan fakta pelanggaran hukum oleh seorang penyidiknya sendiri?

Dalam pada itu, Polri sebagai institusi asal dari Novel Baswedan diharapkan tidak sungkan atau bersikap ewuh pakewuh dalam mengambil sikap hukum terhadap anak buahnya yang berada di KPK. Apabila Polri hendak membantu KPK untuk menjaga integritasnya sebagai lembaga hukum, maka Polri tidak perlu ragu-ragu atau takut menarik kembali keberadaan Novel Baswedan untuk kembali ke induk organisasinya yakni Polri.

Pendulum Politik Kekuasaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun