KPK Â Lari Berputar, Siapa Mengejar Siapa?
Â
Oleh: Erwin Ricardo Silalahi
(Wakil Ketua Umum Depinas SOKSI)
Â
Kegaduhan politik tidaklah serta-merta berhenti pasca keputusan Pra-Peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangkan gugatan Setya Novanto. Konsekuensi dari putusan Pra-Peradilan dengan hakim tunggal Cepi Iskandar itu adalah gugurnya status tersangka yang disematkan Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Setnov dalam dugaan kasus korupsi e-KTP. Pasca putusan pra-peradilan tersebut, Setnov secara perlahan tetapi pasti (slow but sure)mulai dapat memulihkan marwah jabatan yang melekat padanya yakni Ketua DPR RI maupun sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar.
Bila kita cermati secara seksama manuver KPK dalam kasus e-KTP, maka patut diduga KPK sedang ikut bermain api di arena pertarungan politik praktis. Beredar sinyalemen bahwa sepekan sebelum Setnov ditetapkan sebagai tersangka, berita penetapan tersangka itu sudah bocor keluar dari kantor KPK. Ini ibarat intrik politik praktis untuk menghabisi musuh politik.
Preseden politis yang dilakukan KPK juga dapat terbaca dengana terang dan jelas dalam kasus Budi Gunawan yang ditersangkakan oleh KPK, tetapi kemudian KPK justru keok di sidang Pra-Peradilan. Seperti diketahui, Budi Gunawan ketika itu hendak dipromosikan menjadi Kapolri. Namun, akibat manuver KPK, karir puncak di Polri tersebut tidak mampu lagi direngkuh oleh Budi Gunawan yang kini menjabat Kepala BIN. Â Apabila anasir-anasir KPK sudah kesengsem untuk ikut bermain politik praktis, mengapa tidak lekas-lekas menjadikan KPK sebagai parpol saja? Biar lebih terang dan jelas apa sesungguhnya sosok KPK itu. Mengapa tidak langsung mendeklarasikan KPK sebagai "Partai KPK" sekalian saja?
Tingkah polah elemen-elemen KPK beberapa waktu belakangan ini kian aneh, karena seolah-olah mereka tidak boleh dikritik. Ibaratnya KPK selalu benar dan baik, sedangkan lembaga lain di luar KPK pasti kotor dan brengsek. Anasis-anasir KPK seolah-olah menunjukkan tabiat sebagai pihak yang kebal terhadap sentuhan kritik dan penataan kelembagaan. Tidak boleh disentuh kendati dalam tataran kritik sekalipun. KPK berkali-kali menunjukkan kecenderungan bersikap untuk tidak disentuh oleh regulasi perundang-undangan. Ibaratnya KPK bertindak bagai negara dalam negara!
Beberapa isu sensitif seperti "ruangan sekap" untuk tahanan korupsi, atau barang-barang sitaan KPK yang tidak jelas juntrungan keberadaannya menjadi indikasi bahwa KPK sedang berlaku seenaknya terhadap tersangka korupsi. Belum lagi akibat psikologis yang ditimbulkan terhadap para tersangka dan saksi korupsi yang sudah terhukum oleh  opini publik sehingga mengalami demoralisasi bahkan pembunuhan karakter (character assasination).Isu lelang harta pampasan korupsi misalnya baru dilakukan pada tahun ini setelah KPK mendapatkan sorotan dan desakan publik untuk membuka 'misteri' mengenai nasib barang-barang sitaan KPK. Pertanyaan pun muncul, bagaimana 'nasib' barang-barang sitaan KPK di tahun-tahun sebelum ini, apakah sudah diaudit oleh institusi berwenang?
Terdapat kecenderungan yang berulang-ulang dimana KPK sengaja berlindung di balik sentimen dukungan publik terhadapnya. KPK seperti terus membonceng pemberitaan media massa yang cenderung genit dengan isu-isu korupsi karena cenderung bebas 'menghakimi' para tersangka korupsi (trial by the press).Manuver KPK dalam memainkan sentimen publilk ini sangat tidak sehat dalam proses dan budaya pelembagaan pemberantasan korupsi di Indonesia.