Mohon tunggu...
Petir Garda Bhwana
Petir Garda Bhwana Mohon Tunggu... Editor - Online News Editor

Seorang ayah dan kepala keluarga yang merupakan penggemar berat video game, graphic novel, film bergenre sci-fi, action figure dan diecast, kemudian menuangkan semuanya ke dalam blog. Memutuskan untuk terjun ke dunia jurnalisme pada tahun 2006. Berkarir sebagai jurnalis dan penulis artikel berita majalah selama 6 tahun lamanya, sebelum akhirnya menjadi Online News Editor di sebuah portal berita online berbahasa inggris "en.Tempo.co" pada bulan Mei tahun 2013.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nostalgia Sejuta Rasa

25 Juni 2012   10:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:33 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rindu, senang, terharu, malu, berbaur menjadi satu. Teman-teman lama pun berkumpul kembali dalam reuni. Tetapi ada yang menyambutnya dingin..

“Gue diberi fasilitas mobil, laptop, ponsel, dan baru-baru ini jam tangan oleh kantor. Bahkan di lounge kantor pun ada PlayStation,” ujar Freddy dengan rasa bangga. Di sekelilingnya, beberapa teman lama duduk mendengarkan. Ada yang terpukau dengan ceritanya, ada yang acuh, tidak sedikit juga yang pergi meninggalkan dia. Mungkin bosan, karena ocehan Freddy sejak 15 menit lalu selalu soal pekerjaan. Malam itu kami berada di dalam ballroom The Sultan Hotel, Jakarta, yang disulap menjadi ajang temu kangen para alumni sekolah. Sekitar 1.000 orang berkumpul di ruangan itu. Kelompok kecil kami hanya satu di antara banyak kumpulan yang mengobrol dan melepas kerinduan sambil mengenang masa lalu. Tampak beberapa guru kami pun juga hadir bersama para petugas sekolah. Setelah hampir 20 tahun terpisah, tentu saja ada banyak perubahan yang terjadi. Jika dulu kami bertubuh mungil dengan seragam putih merah, kini ada yang berstatus menikah dan sudah menggendong anak. Beberapa teman pun telah memiliki karakter yang berbeda dari pada belasan tahun lalu. Seingat gue, Freddy dulu pasif dan tak banyak bicara. Banyak omong bukan gayanya. Karena berperawakan kecil, dia pernah dianggap kroco sehingga sering disuruh-suruh oleh murid pentolan di sekolah. Malam ini dia malah terlihat seperti bos, dengan perut agak bulat sedikit. Penampilan Gerald, salah satu teman gue sewaktu zaman sekolah dulu, juga berubah. Sewaktu masa sekolah dulu, dia berperawakan sedang dan berpipi tembem. Sekarang, dia menjadi tambun dan bongsor. “Anak-anak (*kumpulan teman:red) sering kaget dengan perubahan fisik gue. Kalau ditanya kenapa bisa jadi berukuran besar begini? Ya gue jawab aja 'sering makan orang',” ujarnya tertawa. Lain lagi dengan Marissa, yang akrab disapa dengan Icha. Gadis mungil yang dulu berpredikat sebagai anak pemalu itu, sekarang sudah menjadi artis sebuah drama sitkom “Suami-Suami Takut Istri” pada 2009 lalu. Tentu saja banyak yang tidak menyangka Icha akan berprofesi sebagai artis. Dulu Icha bukanlah gadis populer incaran para bocah laki-laki yang kenal cinta monyet. Meski tubuhnya sekarang tidak seaduhai super model, kepercayaan dirinya memancar jelas malam itu. Icha menyapa banyak orang yang mungkin baru mengenalnya lewat layar kaca. Menjelang agak malam, gue coba berbaur dengan kelompok lain. Mereka duduk sedikit jauh di pojok ruangan, nyaris tak terlihat. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, gue akhirnya tahu kalau sebagian dari mereka masih ada yang belum seberuntung teman-teman lain. Sebut saja Darwin salah satunya. Dia masih berjuang mencari pekerjaan baru, setelah beberapa bulan sebelumnya resign dari perusahaan tempatnya bekerja. Dia selalu tampak tidak nyaman jika topik percakapan kami mulai mengarah pada soal-soal pekerjaan. Kalau ada teman lain yang tiba-tiba datang menanyakan perihal pekerjaan, Darwin berdalih. “Sekarang masih bantu-bantu usaha keluargaaja,” jawabnya singkat. --- Sejak kedatangan Friendster, Facebook, Twitter, Blackberry Messenger dan hasil teknologi lainnya di tengah-tengah kita, menemukan sahabat lama semakin mudah. Acara reuni kecil pun kian mudah diwujudkan karena kita tak harus mengumpulkan banyak orang atau membentuk panitia. Tinggal berkirim pesan, tentukan waktu dan tempat, jadilah reuni. Tak perlu ballroom, kafe atau restoran saja sudah cukup untuk dijadikan tempat berkumpul. Itu sebabnya, undangan reuni kecil lebih sering datang daripada reuni akbar di ballroom dengan kapasitas ribuan orang seperti yang gue kunjungi kemarin. Sebenarnya, gue pribadi pun lebih menyukai reuni berskala kecil. Selain tidak bingung memilih teman ngobrol, karena saking banyaknya yang datang, biasanya reuni kecil itu dihadiri oleh orang-orang yang memang pernah merasakan suka-duka bareng, seperti teman satu kelas atau sahabat dekat. Begitu mudahnya reuni masa kini, sehingga kita sering sekali mendapat e-mail atau pesan ajakan reuni dari teman sekolah, rekan-rekan kerja di kantor sebelumnya, teman seperjalanan saat liburan, teman kuliah, teman kursus, teman bermain dan masih banyak lagi. Ketika berjumpa, pembicaraan pun beragam, termasuk kenangan-kenangan indah di masa lalu. Nostalgia adalah magnet yang begitu kuat menggiring orang untuk menghadiri reuni. “Perasaan untuk kembali lagi ke masa-masa dulu untuk bernostalgia memang selalu ada dalam kita,” kata A. Kasandra Putranto, psikolog dari Himpsi Jaya (Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah Dki Jakarta). “Seru pokoknya, bisa ngobrol dan 'nostal-gila' dengan teman-teman SD,” ujar Angga, satu dari sekian teman sekolah gue yang masih berhubungan kontak sampai sekarang, “Reuni juga membantu gue dekat kembali dengan teman-teman SD yang sudah lama nggak ketemu.” Reuni ternyata bisa membantu manusia menemukan jati dirinya kembali. “Secara tidak langsung, reuni menghubungkan mereka dengan “rumah” asal tempat mereka tumbuh dulu, melalui perjumpaan dengan orang-orang dari masa lalu,” ujar Dra. Ratih Andjayani Ibrahim, MM., psikolog dari lembaga Personal Growth. Reuni bukan cuma membantu kita eksis lagi, tapi juga membantu pengukuhan diri kembali. Selain itu identitas diri pun bisa semakin kuat dengan menghadiri reuni. “Reuni membantu konstruksi biografi identitas kita. Dengan mengetahui kisah tentang identitas diri, kita lebih percaya diri menghadapi ketidakpastian di masa depan,” kata Roby Muhamad, Ph.D, dosen Fakultas Sosiologi di Universitas Indonesia Tetapi tidak semua orang siap menyambut undangan reuni. Bono, salah satunya. Guru les komputer ini malah berpikir dua kali untuk mendatangi reuni. “Setiap bertemu teman lama, pertanyaan yang diajukan pertama kali pasti mengenai profesi,” jelasnya. “Tapi setelah gue jawab, mereka hanya merespon seperlunya dan tidak tertarik lagi untuk melanjutkan percakapan” katanya sedih. Perasaan berkompetisi kadang tak bisa dihindarkan dari ajang reuni. “Orang-orang selalu ingin mengetahui sejauh mana perbedaan ukuran perekonomian mereka, khususnya dengan orang-orang yang mereka rasa memulai langkah hidupnya berbarengan,” ungkap Roby. Tak heran jika ada yang mudah merasa minder dengan pencapaian yang dianggap berbeda jauh dengan rekan lainnya. Akhirnya mereka memilih absen dengan berbagai alasan. Tetapi ekonomi bukan satu-satunya masalah. Pipin misalnya, temannya istri gue. “Awalnya saya senang. Tetapi sewaktu tahu ada teman yang punya masalah sama saya juga datang, jadi malesperginya,” katanya dengan nada sinis. Ia tak menjelaskan dendam yang tersimpan, meski akhirnya memutuskan tetap datang. “Tetapi ya jangan harap saya mau menyapa orang itu, melihat ke arahnya sajaogah!” katanya. “Sebenarnya akan lebih baik bagi individu tersebut untuk mencoba bersikap berani menghadapi mereka, dan masa lalu, dengan keadaan dirinya yang sekarang,” ujar Ratih. “Hal tersebut akan membantunya melanjutkan kehidupan yang dijalaninya sekarang. Karena kalau tidak dilakukan, maka akan berpotensi untuk terus menghantuinya.” --- Reuni ternyata bukan hanya ajang bernostalgia. Bagi mereka yang belum memiliki pasangan hidup, kesempatan ini bisa dimanfaatkan untuk menemukan cinta lama yang pernah hilang. Semasa SMP dulu, Ahmad Azhuri, disapa Heri, pernah menyukai seorang gadis. Sayang, ia tak sempat mengutarakan perasaannya. Ketika berjumpa lagi di acara reuni, ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. “Serangan” pendekatan pun mulai gencar dilakukan. “Saya tidak menyangka bisa mendapat jodoh dari reuni,” kata Ulis Lisnawati, kekasih Heri. Pertengahan tahun ini, kedua alumni sebuah SMP di Bogor ini baru saja melangsungkan pernikahannya 7 bulan yang lalu. Luka lama pun bisa hilang setelah reuni. Titania Wulansari, seorang karyawan swasta sudah membuktikannya. “Waktu SD dulu, saya musuhan berat dengan anak sok cantik itu,”ujarnya. Penyebabnya adalah sang ketua kelas yang ganteng. Tita dan teman sekelasnya itu saling berebutan mencari perhatian darinya hingga berujung permusuhan berkepanjangan. Kini, setelah bertemu lagi di reuni, dia dan “musuh lama” itu malah membicarakan kekonyolan mereka sambil tertawa-tawa. Nostalgia dalam reuni memang menjanjikan sejuta rasa. Banyak kejutan yang menanti Anda di acara itu. Jadi, kalau ada undangan reuni mampir ke Facebook, e-mail atau ponsel Anda, jangan ragu lagi. Jawab saja: Siap! PGB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun