Mohon tunggu...
Andy Saga
Andy Saga Mohon Tunggu... wiraswasta -

just an ordinary people i am

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ilmuwan Indonesia Tidak Dibutuhkan di Negeri Sendiri, Pendidikan Harus Direformasi

11 November 2011   16:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:47 1441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_148299" align="alignnone" width="186" caption="Ilustrasi nasib para sarjana di negara kita "][/caption] Kisah Inspiratif dari blog yang saya baca tadi sore, adaptasi dari blog

Lebih Baik Tidak Tahu Daripada Tidak Mau Tahu

Semoga bermanfaat bagi pembaca kompasianer.. Tulisan ini terinspirasi dari keprihatinan saya terhadap pendidikan sekarang ini. Semoga tulisan ini bisa menambah inspirasi dan wawasan kita semua. Tulisan in saya mulai dengan sebuah kisah kakak teman saya. Dia adalah lulusan S1 Teknik Kimia di ITS Surabaya. Beliau mendapat beasiswa S2 di jurusan Kimia di Taiwan, saya lupa nama perguruan tingginya. Tapi yang saya ingat, beliau lulus dengan IPK 3,9 sekian! pintar? pasti ! Beliau mendapat tawaran S3 dari Perguruan Tinggi tsb di Taiwan, akan tetapi karena permintaan dari Ibunda, akhirnya beliau balik ke Indonesia. IPK 3,9 lulusan S2 teknik Kimia dari Luar Negeri, selayaknya mendapatkan apresiasi. Kenyataannya? Susah Sangat sangat sangat jarang sekali yang mau menerima lulusan S2. Mungkin hanya Perta**** dan S********* (kalau saya tidak salah menyebutkannya) yang mau menerima. Sayangnya beliau tidak diterima tes di kedua tempat tersebut. Akhirnya setelah beberapa kali mencoba, beliau mendapatkan pekerjaan. Alhamdulillah. Tapi anda tahu dimana kerjanya? Di Bank ****** . Itupun yang dipakai S1 nya, S2 nya nda tidak terpakai. Yang lebih menyakitkan, Waktu ODP Bank ******. Waktu training, trainernya bilang di kelas, "Walaupun di kelas ini ada yang Lulusan S2 dengan IPK 3,9 dari Luar Negeri, di sini tidak berguna". Lulusan S2 dengan IPK 3,9, Di taiwan saja ditawari S3, tapi di Indonesia tidak dapat tempat? Apa Kata Dunia ? Dari kisah tersebut dapat kita ambil kesimpulan, walaupun kita pintar sampai ditawari S3 dari Orang Luar Negeri (yang bukan sanak saudara kita), kita bukanlah orang pintar di negeri sendiri. Mengenai sistem penilaian waktu kuliah juga begitu, ada 3 tempat yang menjadi bahan Survey saya, yaitu: 1. ITB Bandung 2. STAN Bintaro Tangerang 3. Unair Surabaya Dari 3 tempat tersebut (mungkin kampus anda juga iya), ada beberapa fakta yang menarik, yakni 1. Ketika selesai Ujian perkuliahan, entah itu UTS atau UAS, sangat jarang sekali atau kalau bisa dikata tidak pernah hasil ujian kita dikembalikan ke kita. Sehingga kita tidak mengetahui letak kesalahan dan bagaimana agar kita dapat memperbaiki kesalahan tersebut. Yah gimana mau memperbaiki yang salah menjadi benar,kalau bagian mana dari ujian kita yang salah saja tidak diketahui. Bahkan teman saya di Perminyakan ITB mengatakan,memang dosennya bisa memberi lembar ujian kita, tapi menunggu diprotes dulu 2. Kuliah = Nilai Hal yang membuat saya dibuat bingung adalah, pintar seseorang dalam perkuliahan hanya diukur oleh Nilai. Sehingga banyak teman-teman kuliah mendewakan "Nilai" serta IPK Memang Nilai bisa menjadi tolak ukur dalam menilai kemampuan seseorang,tetapi timbul sebuah pertanyaan. Apa beda Belajar pada tingkat Perguruan Tinggi dan SD, SMP, serta SMA?kalau memang hanya Nilai yang dikejar? Kalau saya membandingkan dengan teman-teman di Perguruan Tinggi di Curtin Singapura serta University Canberra, memang perkuliahan indikator berhasilnya juga nilai, tapi tidak hanya nilai. Tetapi juga riset. Ada beberapa hal akibat hanya nilai yang menjadi patokan dalam perkuliahan, a. Saya yakin walau Perguruan Tinggi Negeri terpandang sekalipun, kalau bersaing dengan Perguruan Tinggi asing, akan jauh tertinggal lulusannya b. Perguruan Tinggi tanpa Riset = Kurang Bermanfaat Paradigma yang terbentuk sewaktu perkuliahan sekarang adalah, bagaimana mendapat nilai bagus, IPK bagus, sehingga nanti mendapat kerja mudah. Sekadar perlu diketahui, ketika Seleksi kerja, memang ada syarat IPK diatas 3, tetapi hal tersebut hanya untuk seleksi administrasi saja dan untuk seleksi berikutnya, tidak ada beda antara mahasiswa ber IPK 3,0 sampai 4! Beberapa hari waktu yang lalu saya berdiskusi dengan teman saya yang kuliah di Curtin Singapura, ada fakta menarik yang membuat saya kaget. Seperti yang kita ketahui bersama, perkuliahan Sarjana 1 (S1) di Indonesia memerlukan perkuliahan sebanyak 144 SKS. Hal yang menarik ketika saya mendiskusikan dengan teman saya adalah, ternyata perkuliahan di Singapura hanya memerlukan 72 SKS! Perhitungannya begini: - 1 Semester memakan waktu 3 bulan (trimester) - Setahun bisa 3 semester (kira-kira sekitar 9 bulan) - setiap satu semester hanya boleh mengambil 4 mata kuliah, tidak boleh lebih, tidak boleh kurang - Untuk mendapatkan gelar Sarjana di Curtin Singapura, hanya memerluka 6 semester! YANG BERARTI UNTUK MENEMPUH GELAR SARJANA HANYA MEMERLUKAN WAKTU 2 tahun! Itu kalau lancar ya, kalau molor ya mungkin 2 tahun 3 bulan atau paling parah 3 tahun. Kalau dibandingkan di Indonesia, perkuliahan membutuhkan 144 SKS. Satu semester hanya bisa mengambil maksimal 24 SKS. jadi kalau mahasiswa tersebut jenius, paling cepat memerlukan waktu 3.5 tahun! Itu kalau paling cepet, kalau molor ya bisa 5 tahun - 6 tahun bahkan 7 tahun. Dari kisah tersebut ada yang menarik untuk diulas, yakni:Apakah dengan masa studi S1 di Indonesia yang lebih lama, mahasiswanya lebih pintar daripada Singapura? Ternyata tidak! Bisa kita lihat buktinya, banyak mahasiswa di Indonesia yang lulus hanya sekadar lulus. Hal lain yang kami diskusikan adalah mata kuliahnya. Di tempat saya kuliah, Manajemen Pemasaran hanya diajari teori dari buku. Ujian hanya disuruh belajar dari bab ini sampai bab itu. Selesai. Ternyata teman saya yang kuliah di Curtin Singapura, perkuliahan manajemen pemasarannya berbeda. Dosen tersebut meminta mahasiswanya untuk melakukan riset kecil tentang suatu produk. Apakah harga sebuah produk di sebuah supermarket dan supermarket yang lain sama atau berbeda? kalau berbeda, mengapa bisa berbeda? apa yang menyebabkan berbeda? apakah hal yang membuat sebuah konsumen memilih produk tersebut? Dan laporan tersebut ditulis dalam bahasa inggris. Agar tidak terjadi Copy Paste seperti di tempat kita Mahasiswa diminta untuk mengupload di situs TurnItIn.com . Di situs tersebut akan diketahui berapa persen kemiripan kalimat dengan situs lain atau paper dari mahasiswa lain. Kalau saya tidak salah mendengar. Kalau tingkat kemiripan paper tersebut mencapai 20%, maka tugas tersebut akan ditolak. Dan bila tingkat kemiripan lebih dari 30%, mahasiswa tersebut akan di DO dari kampus tersebut Yah, kalau diterapkan di kampus kita, mungkin mayoritas sudah ke DO semua kali ya Dari 3 Poin di atas, saya mencoba mencari solusinya. Mungkin cara Malaysia dalam memperhatikan pendidikan dan riset bisa kita contoh. Dulu Malaysia, tetangga kita paling dekat dulu belajarnya dari kita. Tetapi sekarang kita tertinggal jauh dari mereka. Dulu tahun 1960-1970an Malaysia belajar ke Indonesia, guru-gurunya dikirim ke Indonesia. Bahkan Petronas (perusahaan perminyakan dari Malaysia) belajar ke Pertamina (perusahaan perminyakan dari Indonesia) yang pada saat itu jauh lebih unggul. tetapi bedanya Indonesia "tidak peduli" dengan Riset dan pendidikan, bahkan ada "moto" Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa! Sementara Malaysia begitu "care" terhadap Riset serta pendidikan bahkan ya itu tadi sampai bela-belain guru mereka belajar ke Indonesia. Dan anda tahu perbedaannya sekarang? Indonesia yang tidak peduli dengan riset serta pendidikan, hanya menjadi negara yang hidup tidak segan, mati tidak mau. Di Indonesia, penduduknya yang pintar dan dapat beasiswa S2 dan S3 ke luar negeri, ketika balik ke Indonesia, menganggur! (seperti poin pertama yang diatas ) kenapa? Ya tidak ada riset, korupsi banyak, Hutang juga banyak. Bagaimana dengan Malaysia?. Dengar-dengar anggota DPR malaysia sekarang memakai mobil buatan Made in Malaysia dan Risetnya sangat maju. Ini terbukti perusahaan-perusahaan malaysia ikut kena imbas dari Riset, Petronas yang dulu belajar ke Indonesia, sekarang jauh melewati "senior"nya. Bahkan Petronas memiliki salah satu gedung tertinggi dunia,Menara Kembar Petronas. Petronas pun mampu menjadi sponsor salah satu kontestan F1(bagi yang pencinta F1 pasti tahu ya kontestan tersebut). Perekonomian Malaysia pun jauh melesat dibanding Indonesia. Entah 10 atau 20 tahun lagi Malaysia seperti apa. Dari tulisan saya yang diatas, dapat disimpulkan bagaimana Malaysia bisa maju pendidikan dan risetnya, caranya? Guru-guru serta dosen Malaysia disuruh belajar S2 dan S3 di Luar Negeri (tentu belajar Riset, bukan cuma dapat gelar). dan Guru-guru serta Dosen asing yang pintar Riset (Seperti guru-guru dan Dosen Indonesia ) diminta untuk mengajar di Malaysia. Jadi istilahnya Persilangan Budaya (Cross Culture). Pelajar Malaysia mendapatkan benefit dari guru-guru serta dosen asing. Dan Guru-guru serta dosen Malaysia bisa belajar dan mengetahui cara Riset dengan baik dan benar. Akibatnya ketika Dosen serta guru-guru Malaysia pulang, mereka bisa mentransfer ilmu mereka ke murid-murid serta mahasiswa mereka. Dan pelajar-pelajar yang diajar oleh guru serta dosen asing tadi sudah bisa melakukan riset yang berguna bagi Malaysia. ****** Pada akhirnya Pertanyaan yang menarik pun timbul, Apakah kita tetap membiarkan pendidikan seperti sekarang? Apakah anak-anak dan cucu kita akan menikmati pendidikan yang seperti ini? Semoga tulisan diatas dapat menambah ilmu dan wawasan. Semoga bermanfaat. Sumber:http://lebihbaikmautahu.blogspot.com/2011/08/ilmuwan-indonesia-tidak-dibutuhkan-di.html

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun