Mohon tunggu...
Sagar Matta
Sagar Matta Mohon Tunggu... -

My thoughts are what this world needs the most :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jakarta dan Sampahnya

24 Oktober 2013   15:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:05 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semakin berkembangnya dan sibuknya suatu kota maka masalah yang dihadapinya semakin rumit, salah satunya adalah masalah sampah. Urusan sampah ini tidaklah sederhana, beberapa kota megapolitan didunia masih bergumul dengan masalah sampah, terutama dinegara-negara berkembang termasuk Jakarta. Beberapa orang boleh jadi berfikir bahwa adalah suatu kewajaran bahwa masalah kebersihan dan kekumuhan dihadapi oleh kota-kota dinegara berkembang atau Negara miskin, karena penduduknya masih banyak yang memiliki tingkat kesejahteraan dan pendidikan yang masih dibawah standar untuk perduli dan mengerti atas masalah yang demikian. Pemikiran ini tentu salah dan terlalu ekstrim, karena  pasti ada faktor lain yang tidak boleh dinafikan, suatu faktor yang lebih mendasar.

Suatu studi psikologi sosial yang pernah dilaksanakan oleh Stanfod University tahun 1969 menemukan teori yang sekarang dikenal dengan efek jendela pecah. Studi ini melibatkan dua mobil yang sama persis diparkir kemudian ditinggalkan begitu saja di dua tempat yang berbeda, yakni Bronx, NY yang terkenal karena kekumuhan dan tingkat kriminalitasnya, dan di lingkungan perumahan mewah di California. Yang terjadi kemudian cukup bisa ditebak, dalam beberapa jam saja mobil yang berada di Bronx, habis dipreteli hingga rusak dan hancur sementara mobil yang berada di California masih utuh. Namun studi ini tidak selesai disitu saja, ketika peneliti memecahkan salah satu kaca jendela mobil yang berada di California, dalam waktu sehari mobil ini ikut dipreteli dan dirusak. Fenomena ini menarik, karena baik kelas atas, kelas menengah maupun kelas bawah, apabila mereka melihat suatu kemerosotan (dalam studi ini adalah jendela kaca yang dipecahkan) dan keacuhan (dimana jendela yang pecah dibiarkan saja)

mereka akan cenderung berperilaku merusak dan menghancurkan, karena mereka merasa adanya ketidakpedulian dari pihak yang berwenang yang menyiratkan tidak ada penegakan atas aturan atau norma yang berlaku. Disinilah kita dapat melihat kenyataannya, mengapa di kota-kota yang sudah dicap kotor dan kumuh susah sekali untuk diubah menjadi kota yang bersih dan tertib, karena manusianya berfikir apa yang mereka lakukan untuk berubah hanya akan menjadi suatu kesia-siaan saja.

Penting sekali untuk melihat teori ini dalam menyikapi masalah sampah di Jakarta. Dulu, kaum pinggiran dituding sebagai sumber masalah utama sampah di Jakarta, karena “rajin” membuang sampah di kali. Benar mereka ambil bagian dalam masalah sampah yang menumpuk, namun mereka bukan satu-satunya kalangan yang giat membuang sampah sembarangan, ada banyak warga Jakarta yang naik mobil mewah dengan santainya membuang sampah bungkus makanan mereka keluar jendela mobil mewah mereka.  Yang paling signifikan adalah acara Jakarta Night Festival a.k.a acara muda-mudi Jakarta yang diselenggarakan Gubernur Jakarta Joko Widodo untuk perayaan HUT Jakarta? Setelah riuh dan meriahnya acara tersebut, keesokan harinya media ramai-ramai memberitakan bahwa lokasi acara banjir sampah belum lagi taman bunga di Monas yang rusak gara –gara diduduki dan diinjak-injak. Di acara tersebut ada sekitar 200.000 warga Jakarta yang datang, dan jumlah ini mewakili berbagai kalangan yang ikut ambil bagian, baik kalangan atas, menengah dan bawah, jelas sudah tidak bisa saling tunjuk dan saling salahkan lagi. Teori efek jendela pecah ini pas untuk merefleksikan sikap warga Jakarta secara keseluruhan; kota ini sudah kotor, pemerintah tidak perduli, lalu mengapa kita harus perduli?

Lalu apa solusinya: jawabannya klasik: sebagai bagian dari kota ini, yang tentunya bertanggung jawab atas kota ini, kita harus memulai dari diri kita sendiri, jangan buang sampah sembarangan dan membuang sampah pada tempatnya. Kita harus melihat diri kita sendiri sebagai perbaikan atas kemerosotan yang ada, kita bertindak sebagai yang “berwenang” dan berpegang pada norma dan aturan kita tersebut. Kita menjadi hakim dan penegak norma atas diri kita sendiri. Kita tidak membiarkan diri kita melakukan kesalahan yang kita anggap wajar dan kecil (buang sampah sembarangan).

Apakah hal ini akan berhasil? Tentu, teori efek jendela pecah itu sendiri sebenarnya membuktikan bahwa hal-hal yang kecil itu memiliki arti yang penting. Sehingga hal-hal kecil yang kita lakukan sebagai agen perubahan akan membawa perubahan besar pada akhirnya.  Hal ini juga didukung dengan teori psikologi perilaku menular, apabila kita mengambil suatu aksi nyata dan konsisten, kita akan menularkan perilaku ini ke orang-orang sekitar kita yang nantinya akan menularkan aksi tersebut ke lebih banyak orang lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun