Kalau ada daerah yang ingin saya kunjungi lebih dari sekali maka itu adalah Lombok! Lombok memang nggak sepopuler Bali. Malah, kebanyakan turis asing menjadikan Lombok sebagai tempat “mampir” selama mereka tinggal di Bali. Buat saya, Lombok adalah pulau yang dianugerahi bentangan alam yang beragam. Dari mulai cantiknya pantai Kuta, meriahnya tiga gili, hingga megahnya gunung Rinjani ada di Lombok. Rasanya, tempat-tempat dengan karakter berbeda itu nggak asyik bila dikunjungi bersamaan. Itulah sebabnya, ke Lombok tak cukup sekali!
Dari pantai ke pantai
Pada kunjungan pertama ini, saya memilih Lombok Tengah. Lombok Tengah dikenal dengan pantainya yang sepi dan cantik. Adalah Kuta, Seger, dan Tanjung Aan, pantai yang cukup dikenal di mata wisatawan. Ketiga pantai tersebut sebetulnya berada pada satu garis pantai, tetapi dipisahkan oleh bukit-bukit.
Pantai Kuta menjadi daerah yang paling ramai—meskipun masih sangat sepi dibandingkan Kuta di Bali, apalagi trio gili. Di tempat inilah berjajar penginapan, café, serta kios penjual suvenir. Ada juga sebuah minimarket yang bagi saya sebagai tanda sebuah “peradaban”. Saat di sana, saya nggak melihat turis domestik selain saya. Kebanyakan turis yang datang ke sini adalah turis asing.
Pantai Seger terletak setelah Pantai Kuta. Di pantai inilah ritual bau nyale diadakan. Bau nyale adalah ritual tahunan yang berasal dari sebuah legenda masyarakat Sasak, suku asli Lombok. Legenda tersebut berkisah tentang seorang putri cantik bernama Mandalika yang terjun ke laut. Meski dicari oleh rakyatnya, jasad putri Mandalika tidak ditemukan. Malah, setelah putri Mandalika hilang, sekumpulan cacing laut memenuhi pantai. Rakyat percaya bahwa itu adalah jelmaan putri Mandalika. Dalam bahasa Sasak, bau berarti ‘menangkap’ dan nyale berarti ‘cacing laut’. Pada tanggal tertentu (menurut tanggalan masyarakat Sasak), sekumpulan cacing laut akan memenuhi pantai dan masyarakat akan tumpah ruah ke laut untuk menangkapnya. Saat ke sana, nggak ada orang yang memenuhi pantai apalagi kumpulan cacing laut, hanya ada pantai yang cantik dan sepi.
Pantai Tanjung Aan nggak kalah cantik dari kedua pantai sebelumnya. Bila sudah di sini, kita juga bisa berkunjung ke objek wisata Batu Payung yang letaknya di seberang pulau. Ada banyak perahu nelayan yang bisa disewa. Seperti di Kuta dan di Seger, ombak di Tanjung Aan cukup besar. Nggak heran, tempat-tempat ini lebih diminati pencinta surfing daripada snorkeling ataupun diving.
Desa adat
Selain Pantai, di Lombok Tengah juga terdapat beberapa desa adat yang sayang untuk dilewatkan. Desa-desa tersebut adalah Desa Sade, Desa Panujak, dan Desa Sukarara. Desa Sade merupakan permukiman suku Sasak. Di desa ini, terdapat sekitar 150 rumah dengan penduduk sekitar 700 orang. Pekerjaan utama masyarakat Sasak di desa Sade ini adalah bertani dan menenun. Yang unik dari desa Sade adalah bangunan rumah khas suku Sasaknya, yakni beratap jerami, berdinding anyaman bambu, serta berlantai kotoran kerbau! Ya…lantai rumah mereka dibuat dari campuran kotoran kerbau, tanah liat, dan abu jerami. “Adonan” tersebut membuat lantai keras seperti semen. “Resepnya” tentu saja diwarisi dari nenek moyang dan masih dipakai hingga sekarang.
Desa Penujak berjarak sekitar 30 menit dari Desa Sade. Desa ini merupakan pusat kerajinan gerabah. Konon, Desa Penujak adalah desa pengrajin gerabah tertua di Lombok. Mayoritas penduduknya memang berprofesi sebagai pengrajin gerabah. Dari salah seorang di antaranya, saya tahu bahwa minat turis terhadap gerabah sedang turun. Beberapa tahun lalu, gerabah sangat diminati oleh turis asing, terutama turis Australi. Kalau berkunjung, turis-turis itu bisa memborong kerajinan gerabah. Banyak juga yang membeli kerajinan lantas minta dikirim ke negaranya. Harga ongkos kirim sebuah gerabah model guci setinggi satu meter bisa sampai Rp600,000. Padahal, harga guci itu sendiri hanya Rp300,000. Sayang, beberapa tahun terakhir gerabah hanya dikirim ke Bali.
Selain Desa Sade dan Penujak, masih ada satu desa yang juga menarik, yakni Desa Sukarara. Di desa ini, mayoritas penduduknya adalah penenun. Semua anak, terutama perempuan, pasti bisa menenun. Hasil tenunan mereka dikumpulkan di sebuah koperasi untuk dijual. Di koperasi, tak hanya tersedia kain tenun yang belum diolah, tetapi juga tersedia kain tenun yang sudah dibuat menjadi kemeja, sajadah, hingga peci. Sayang, meski sebagai pusat kerajinan tenun, harga kain tenun di koperasi ini jauh lebih mahal daripada di tempat lain, seperti di kios-kios suvenir ataupun di Desa Sade! Sebagai contoh, di koperasi desa Sukarara, peci dihargai Rp75,000/buah. Padahal, di Desa Sade saya bisa membeli empat peci dengan total Rp100,000.
Lombok banget