Mohon tunggu...
Safta Pratama MR
Safta Pratama MR Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pegawai Tugas Belajar PKN STAN

Saya merupakan mahasiswa Program Diploma IV Akuntansi Sektor Publik Alih Program di Politeknik Keuangan Negara STAN. Saya telah bekerja sebagai ASN di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan sejak tahun 2018.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sudah Optimalkah Penerapan Digitalisasi SPT dalam Penggalian Potensi Perpajakan?

19 Mei 2023   13:27 Diperbarui: 19 Mei 2023   13:30 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Indonesia dan mayoritas bangsa di dunia saat ini tengah menghadapi gempuran kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Hampir semua aspek kehidupan telah dipengaruhi oleh kemajuan TIK tersebut tak terkecuali di sektor pemerintahan. Seperti yang kita ketahui, pemerintah sendiri memiliki tanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup bangsa sehingga ditetapkanlah penerimaan dan pengeluaran negara untuk menunjang pembangunan. Dengan demikian, sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam fungsi pengumpul penerimaan negara, Direktorat Jenderal Pajak ditunjuk sebagai lembaga/instansi yang bertugas untuk menjalankan fungsi tersebut.

Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut DJP merupakan instansi pemerintah yang berada dibawah naungan Kementerian Keuangan. Sejak dibentuk pada tahun 1976, DJP sendiri telah bergerak secara dinamis untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman. Hal ini dimulai sejak tahun 2002 dimana DJP telah memulai Reformasi Perpajakan I yang mencakup Modernisasi Administrasi Perpajakan. Kemudian, pada tahun 2018 dan akan berlanjut hingga 2024 nanti, DJP melaksanakan Reformasi Perpajakan III dalam hal Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan (PSAP) di lingkup Teknologi Informasi dan Basis Data serta Proses Bisnis dimana bentuk nyata dari Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan tersebut yaitu adanya peralihan saluran pelaporan SPT Tahunan dari yang semula manual baik SPT kertas ataupun e-SPT menjadi berbasis online melalui e-filing dan/atau e-form atau singkatnya disebut digitalisasi SPT.

Secara singkat, perubahan signifikan tersebut memiliki tujuan untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan dari sisi wajib pajak serta mengoptimalkan penerimaan negara di sisi pemerintah. Digitalisasi pelaporan SPT yang dikembangkan oleh DJP tersebut juga barang tentu memberikan banyak sekali manfaat dan kemudahan. Jika kita melihat kampanye yang dilakukan DJP, instansi tersebut gencar sekali menginfokan Wajib Pajak untuk melaporkan pajak melalui situs yang telah disediakan yaitu www.pajak.go.id. DJP mengklaim bahwa dengan digitalisasi pelaporan SPT, wajib pajak dapat melaporkan SPT kapan saja dan dimana saja. Terlebih semenjak tahun 2020 atau ketika pandemi covid-19 membatasi akses untuk bermobilisasi, digitalisasi ini menjadi alternatif ampuh yang disediakan pemerintah kepada wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sehingga terhindar dari sanksi administrasi yang mungkin akan muncul.

Dilansir dari situs Kementerian Keuangan, kinerja penerimaan negara 2 tahun terakhir atau semenjak penerapan digitalisasi SPT menunjukkan tren yang positif meskipun pemerintah dan masyarakat sedang berjuang di masa-masa pemulihan pasca pandemi covid-19. Pada tahun 2021, pendapatan dari pajak tembus hingga 103,9% dari target atau mencapai Rp1.227,5 triliun. Bila dibandingkan dengan realisasi penerimaan tahun sebelumnya, nominal tersebut meningkat sebesar 19,2%. Sedangkan untuk tahun 2022, realisasi penerimaan perpajakan lebih meningkat lagi yaitu melampaui 115,6% atau Rp1.717,8 triliun dibanding target Perpres 98/2022 serta tumbuh 34,3% jauh melewati pertumbuhan pajak tahun 2021.

Akan tetapi, sedikit kontradiktif dari realisasi penerimaan, tingkat kepatuhan wajib pajak tahun 2022 justru mengalami sedikit penurunan dibanding tahun sebelumnya meskipun sebenarnya telah melewati target yang ditetapkan. Pada tahun 2021, dari 19 juta wajib pajak yang wajib melaporkan SPT, hanya 15,9 juta wajib pajak atau setara 84,07%. Sementara di tahun 2022, masih dengan target kepatuhan wajib pajak yang sama, tingkat kepatuhan hanya menunjuk di angka 83,2% yang artinya dari total 19,08 juta laporan SPT, hanya 15,87 juta yang dilaporkan oleh wajib pajak. Jika berkaca dari sekian banyak manfaat, keuntungan, dan kebaikan yang diberikan atas pengaruh digitalisasi pelaporan SPT, seharusnya hal tersebut memberikan dampak yang sama-sama positif baik bagi penerimaan negara maupun kepatuhan wajib pajak. Namun demikian, pada praktiknya di lapangan, masih terdapat banyak sekali kendala yang dihadapi wajib pajak sehingga tak dipungkiri meskipun DJP telah melakukan pembaruan dari sisi administrasi perpajakan, kepatuhan wajib pajak masih tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Berdasarkan analisis penulis yang bersentuhan langsung dengan wajib pajak, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan digitalisasi pelaporan SPT masih belum bisa memaksimalkan potensinya secara signifikan dalam menaikkan kepatuhan wajib pajak yang secara tidak langsung juga akan berimplikasi terhadap peningkatan penerimaan negara. Untuk itu, kita dapat membagi faktor-faktor tersebut dari 2 (dua) perspektif yaitu dari sisi wajib pajak dan sisi pemerintah atau DJP itu sendiri.

 Dari sisi wajib pajak, tak semua merasa bahwa digitalisasi pelaporan SPT bisa atau mampu digunakan sebab terdapat keterbatasan yang mereka hadapi. Sering sekali ditemui bahwa wajib pajak yang ingin melaporkan SPT tahunan merupakan wajib pajak yang berusia lanjut. Hal utama yang menjadi kendala adalah terkait kepemilikan perangkat yang memadai. Sebagai contoh, masih banyak wajib pajak yang tidak memiliki laptop bahkan smartphone. Oleh karena itu, tak jarang mereka mengeluhkan mengapa pelaporan SPT tidak tetap manual saja yaitu menggunakan formulir kertas atau melalui pos/jasa ekspedisi lainnya. Kemudian, melanjutkan argumen sebelumnya bahwa kendala lain yang mereka hadapi adalah tingkat pemahaman dalam penggunaan teknologi itu sendiri. Hal ini tak terbatas pada rentang usia tertentu saja melainkan hampir sebagian wajib pajak belum melek terhadap sistem yang telah dibangun oleh DJP tersebut. Misalnya, sebelum bisa melaporkan SPT mereka harus memiliki nomor unik yang dikeluarkan oleh DJP untuk masing-masing wajib pajak yang lebih dikenal dengan istilah efin (electronic filing identification number). Untuk memperoleh efin tersebut, WP harus memiliki alamat email yang mana tak semua wajib pajak memiliki hal tersebut dan tidak paham bagaimana cara membuat email.

Sementara itu, dari sisi DJP sendiri, kendala yang paling sering muncul adalah terkait jaringan dan akses yang kerap kali mengalami down server. Di awal penerapan digitalisasi SPT terutama e-form, wajib pajak banyak mendatangi kantor pajak karena mengalami kesulitan pelaporan yang disebabkan karena jaringan DJP yang tidak bisa diakses. Hingga beberapa kali DJP melakukan perubahan aturan dimana wajib pajak masih diperbolehkan untuk menggunakan saluran pelaporan SPT yang lama (e-SPT) sehingga dengan hal ini DJP dinilai tidak konsisten dan belum memiliki kesiapan penuh dalam pengimplementasian perubahan yang dibuat. Hal ini tentu bisa menjadi pemicu bagi wajib pajak untuk menunda pelaporan SPT mereka yang pada akhirnya berimbas pada keterlambatan hingga dapat menimbulkan sentimen negatif terhadap DJP itu sendiri. Tentu selain berpengaruh terhadap kepatuhan, hal ini juga akan berimbas pada potensi penerimaan negara yang mungkin akan hilang karena tidak adanya setoran pajak yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak tersebut. Kemudian, satu hal yang juga tidak bisa dipungkiri bahwa sumber daya manusia di DJP pun masih berada pada tahap adaptasi. Penyempurnaan sistem administrasi di DJP terutama digitalisasi pelaporan SPT tentunya sesuatu yang baru, sehingga tak jarang masih ada pegawai yang belum sepenuhnya memahami penggunaan media tersebut. Dengan ini, perlu adanya pembenahan di sisi internal DJP agar kinerja yang diberikan oleh pegawai terutama yang bersinggungan langsung dengan wajib pajak bisa optimal dan memberikan kepuasan untuk wajib pajak.

Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa meskipun masih terdapat kendala dan keterbatasan dalam penerapan digitalisasi SPT, secara keseluruhan hal tersebut tetap memberikan kontribusi yang positif terhadap kinerja penerimaan negara. Kemudian, terhadap hal-hal yang perlu diperbaiki, DJP memiliki tanggung jawab untuk mengurangi dan mengatasinya di periode-periode mendatang. Oleh karena itu, tak akan hanya sekedar menjadi angan bagi DJP untuk mencapai tingkat kepatuhan wajib pajak yang optimal guna meraih realisasi penerimaan yang mampu memenuhi kebutuhan negara demi pembangunan berkelanjutan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun