Senja mulai meremang, kemudian bertandanglah malam ke seluruh penjuru kampung Kuta. Azan bergema sesaat setelah warna kehitaman datang. Seperti biasa, setelah musala setengah dipenuhi warga kampung, barulah sekiranya dilakukan salat kemudian zikir menyenandungkan puji syukur atas karunia Sang Khalik. Seiring itu pula terdengar iringan cicit-cuit jangkrik yang mengiringi gelapnya nuansa. Hanya sebuah lampu damar sebagai penerang musala kecil itu, namun remang itu yang memalut khusyuknya ibadah para hamba pada Tuhannya.
Di sekitar musala berdiri tegak rumah-rumah lumayan besar dan bersinar dengan kemerlap pijar lampu merebak. Seolah berkontras dengan musala yang ada di sebelahnya. Setelah Isya menjelang datang, anak-anak mulai mendatangi musala kemudian menunaikan ibadah salat. Abi merapikan barisan anak-anak yang bergerombol hendak salat itu. Sekiranya tidak seramai Magrib tadi, karena nyatanya hanya ada 3 lelaki dewasa yang masih datang waktu Isya. Meskipun lebih sedikit ketimbang jemaah saat Magrib, Abi tetap berpikiran baik dan melanjutkan salat sebagai imam kali ini.
Selesai salat, Abi mengumpulkan anak-anak yang tengah berdiri, duduk, dan berputar-putar bergelut di dalam musala. Abi mulai menuntun anak-anak nan bak pucuk rebung itu untuk segera duduk di lapik beralas tikar pandan yang mulai usang sedikit. Dirapikan olehnya anak-anak yang riuh agar duduk bersilang kaki dan mendengar petuahnya. Abi mulai menceramah seperti tabiatnya, dan itulah rutinitas. Sementara itu, Abi juga mulai memberi banyak teguran halus pada Mahid yang sedari tadi berlonjak-lonjak nan serupa kera.Â
Mahid agaknya resah duduk menetap lama, soalnya bocah itu memang anak yang tingkahnya berlebihan  dan tiada bisa tenang. Mahid memang telah dinasehati oleh Abi agar bisa tenang. Dia akan tenang, namun beberapa menit kemudian kembali diusili olehnya teman-temannya hingga menangis. Abi mulai kesal dan memukulnya agak pelan dengan rotan sekali saja, agar dia mau senyap. Setelah disentuh rotan, diamlah Mahid beberapa waktu seraya menangis. Abi mulai melanjutkan tugasnya yang baik, mengajarkan mengaji.
Sehari-harinya Abi mengajari anak-anak mengeja huruf Hijaiyah supaya bisa melanjutkan pada kajian Al-Quran. Selain mengajar ilmu agama, dia juga sibuk membersihkan kandang ternaknya dan kemudian memelihara ternak ayamnya yang beberapa meter jauhnya dari musala. Ayam-ayam itulah merupakan pembawa rezeki selain murid yang mengaji. Ayam-ayam itu ditangannya jarang sakit dan juga bertelur banyak, sehingga telur dan induk-induk ayam bisa dijual dan menghidupi Abi yang sebatang kara. Anaknya sebenarnya ada dua sekarang, seandainya saja air bah tahun lalu tidak membawa anaknya beserta istri tercinta menghadap Sang Pencipta. Baginya hanya ikhlas merelakan adalah satu-satunya yang menyucikan batinnya yang kerap terluka.
Sudah lama Abi tiada berjualan di rumah makan seperti dahulu, alasannya letih bahkan malas. Padahal sudah tentu semua warga tahu dia menyesal pernah pergi dari kampung dulu. Dulu memang dia sempat berjualan di kampung sebelah bekerja di rumah makan, sementara anak istri tinggal di kampung Kuta dan mengajar ngaji di musala. Mungkin sudah jalan dari Sang Pencipta, sehingga saat dia bekerja di kampung lain anak dan istrinya di kampung asal terbawa genangan air. Masyarakat semua mengira itulah muasal Abi tiada mau berjualan di toko-toko lagi, apalagi yang berbau rumah makan. Sangat disayangkan karena pada nyatanya makanan buatannya sangat nikmat dan lezat dibanding nasi Padang yang tekenal itu. Hanya dia dan Tuhan yang tahu akan isi hatinya.
Pagi harinya, Abi berjalan-jalan di sekitar kampung sembari memandang nuansa kampung yang masih remang-remang setelah Subuh. Udara dingin menusuknya sedikit, untungnya dia terbiasa dengan ngilu pagi peralihan fajar. Itulah berkah bagi orang yang sering bangun pagi hari rupanya, dan suci pula dibuat batin saat menghirup aroma angin dari sisa fajar. Sesekali terbang tetesan air embun ke wajahnya yang mulai menandai lekuk wajah keriputnya, dan dia biarkan begitu saja. Dia masih bahagia meneruskan jalan kakinya yang menyenangkan itu, pandang matanyanya kembali mengarah pada deretan rumah-rumah megah bak istana yang ada di hadapannya. Salah satu yang mencolok perhatiannya pada rumah raksasa, Bapak Sueb. Beliau merupakan lelaki kaya orang terpandang agaknya.Â
Dia mewakili rakyat dari wilayah kampung. Hanya saja, sedikit tidak nyaman Abi padanya. Ketimbang warga yang nyata memang tiada berada, tuan wakil gampongitu luar biasa penyimpan hartanya. Sebagai yang berkuasa, tidak rela hatinya sedikit menyumbang sebuah lagi lampu togok untuk musala. Jikalau Abi mengingat tabiat Pak Sueb, menggeretak giginya yang mulai copot itu. Hanya bukan hanya Pak Sueb saja yang berulah, karena pada nyatanya sebagian besar warga juga sama. Ah, terlalu membuat pusing kepala jika Abi harus memikirkan hal serupa itu. Saat dia sadar telah berpikir jahat, segera di Istighfar sebelum bertambah cekung bencinya.
Cukup unik warga kampung itu, setiap acara Abi selalu diundang untuk berceramah berbagai hal, namun setiap selesai acara para pengundang itu acapkali lupa dan hanya memberi Abi makan sekadarnya saja. Tak ada upaya memberi sedikit pembasah kerongkongan oleh mereka. Abi tiada protes karena baginya itu hanya sebagai tambahan semata, dan kewajibannya hanya dakwah yang lurus. Â Seringkali dia tiada dibasa-basai apa-apa melainkan hanya ucapan terima kasih. Baginya, itulah sudah cukup dibanding tiada apa-apa yang diucap.
Abi sekarang mulai merenta, namun tiada surut hatinya. Terkadang, dia berharap hanya satu cuma. Musala  kecil yang masih berdinding anyaman yang dia singgahi sejak lama, bisa dibaikkan rupanya, dikokohkan tiangnya dan dibesikan atapnya yang mulai berlobang itu. Seringkali mengaji tertunda saat badai datang ke kampung dan air hujan merengsek masuk ke celah dinding, kemudian membuat basah lapik pandan sekalian orang yang ada di dalam musala. Acap kali dia teringat masa lampau kala remaja, bentuk musala itu serupa dengan sekarang, namun dulu tiada berlobang. Sejak dia remaja hingga dia beruban putih, musala masih tiada perubahan kecuali juga merenta sama seperti dirinya.
Tidak pula Abi berharap masyarakat mau menyumbang demi perbaikan, karena baginya hanya kesadaran nurani yang utama. Bukanlah dirinya jika dia harus meminta duluan. Meminta  baginya sama halnya mengemis dengan tangan di bawah. Biarlah masyarakat yang berpikir sendiri pada musala ketimbang harus berkering tenggorokan dia memohon bantuan perbaikan. Sesekali hanya harapan semata yang ada agar warga sadar musala telah menua, karena sampai detik ini belum juga ada yang tergerak hati menyusun kata dan mengumpul dana guna mengokohkan bangunan tua itu.