"Pulau ini milik leluhur kami, leluhur kami yang pertama datang, tapi pengusaha itu mengakuinya, Pitoby mau menjadikan Pulau ini menjadi resort katanya"
"Mereka itu bukan penduduk asli Pulau Kera. Kami bingung bagaimana menata mereka"
Apakah nasib anak-anak harus dikorbankan hanya demi sebuah wilayah?Â
Apakah mereka harus tetap buta tentang tempat dimana mereka tinggal?
Senyum ceria dan bahagia anak-anak Pulau Kera ketika menerima setumpuk buku cerita, wajah sumringah Bapak Amor melihat peta wilayah Indonesia. Menceritakan bagian laut mana yang pernah ia layari.Â
Pulau Kera tak jauh dari Kota Kupang, hanya sekitar 20 - 30 menit.Â
Sekelompok pemuda Kupang yang masih peduli dan menyayangi Pulau ini, berjuang berbekal keyakinan dan keteguhan hati, mempertahankan nasib mereka yang tinggal di Pulau Kera. Beberapa warga telah menyerah pada Pulau Kera, mereka pergi ke Sulamu "Di sana anak bisa sekolah, di sana kami memiliki masa depan, tak seperti anak di Pulau Kera, mereka masih saja bodoh, belum bisa membaca dan menulis"
Tapi, di tempat inilah, anak yang masih tidak paham bahwa cita-cita dan mimpi itu ada, di tempat inilah, agama menjadi satu-satunya ilmu pengetahuan, selain tentang laut. Tak usahlah ditanya pengetahuan mereka tentang laut. Di sebuah Pulau di Tanah Timur, Pulau yang tak memiliki tanah, mereka masih bertanya "Kami ini memang suku Bajo, tapi siapakah sebenarnya kami ini?"
Sesekali, pergilah ke Kupang, berangkatlah ke Pelabuhan Oeba, dimana pasar ikan hidup dengan riuh para pedagang. Tunggulah ketika Suku Bajo dari Pulau Kera menyandarkan perahu kecil mereka di Pelabuhan, ikutlah mereka, tinggallah barang semalam. Bagikanlah cerita yang mereka bagikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H