Kami tak butuh spanduk yang tertata
membentang senyum dan tawa ditiap sudut jalan
dengan kata dan tampilan sebagai hiasan
Kami tak ingin suara-suara rayuan
dengan lirik-lirik yang diindahkan
serta alunan nada yang melarutkan
terlalu bising dan menyesatkan
Kami tak menginginkan harapan
yang terlontar seperti nyanyian gombal
melantunkan bait-bait kalimat bermakna ilusi
seperti syair tentang keindahan dalam imajinasi
yang menyeret jiwa dalam khayal surgawi
terlalu berisik dan menipu diri
Kami kini terbelenggu dalam sedih
menyaksikan mereka yang tertindas di negeri sendiri
mereka yang mencari sesuap nasi dengan tertatih
mereka yang menjadi korban kekerasan
direnggut jiwanya tak manusiawi
mereka yang berjuang untuk perlindungan dipenjarakan
ada yang bertopeng atas nama agama dan kebenaran
berteriak tentang HAM namun menindas hukum dan keadilan
Kami kini menangis dalam lirih
bermimpi untuk negeri damai tanpa caci maki
anak-anak bahagia tanpa rasa takut terus menghantui
perempuan tak lagi terpinggirkan dan didiskriminasi
hidup saling menghargai, hormat menghormati
penjahat tak lagi merajai disetiap pelosok negeri
Kami kini berharap dalam hati sanubari
ber-angan tentang negeri masa depan nanti
untuk wakil rakyat yang tak lagi memakan uang rakyat
untuk pemerintah yang tak abai akan hak rakyat
untuk pemimpin yang berjalan maju bersama rakyat
Kami adalah rakyat
sudah penat dengan janji-janji
Kami membutuhkan wakil rakyat dan pemimpin negeri
yang memerdekakan keadilan yang hakiki
(Kolong Langit, 15 Januari 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H