Malam tampak begitu pekat
Hujan deras gemercik menerjang atap
Aku tertidur dalam gelap
di dalam ruang sunyi dan pengap
Mataku begitu berat untuk terbuka
Tubuhku seolah tak ingin bangkit
lidahku kaku begitu kelu, hanya membisu
Kakiku tertahan seperti memaku
Aku ingin bangun dari lelapku
Namun tubuhku seolah membeku
Pukul dua belas malam
Jam dinding tua terus berdentang di bilik kamar
iramanya beralun bersama jiwaku yang merapuh
hingga remuk kemudian redam dan mendendam
Nuraniku terus mengendap dalam kebosanan
Aku tiba dimana langkah membawaku pada kebuntuan
pada keletihan yang mulai enggan melawan pertarungan
raga tak ingin bangkit menghadapi kejatuhan berulang
pikiran tak ingin lagi mencoba melawan semua penolakan
Langit gelap mulai berubah menjadi terang
suara berkokok ayam menggema bersama adzan
pertanda hari meninggalkan malam berganti pagi
Aku masih terpaku diam dan menatap langit-langit kamar
Perut lapar memaksaku beranjak mencari suapan
Aku membuka Jendela kamar
Menatap langit, gelap, dan kesunyian
suara lelarian anak santri terdengar samar dipinggir jalan
Tercium aroma angin subuh dihujung hidungku
membelai wajahku dan terasa beku
dingin seketika menusuk hingga kerelungku
Jam dinding kembali berdentang di bilik kamar
Waktu menunjukkan pukul enam pagi
suara hehunian mulai bising dipersimpangan jalan
Aku duduk diam dimeja makan
Dengan segelas kopi dan makanan ringan
Matahari mulai mengintip dari lubang jendela
Seolah hendak mengingatkanku untuk beranjak
Melanjutkan kembali perjalanan
Untuk menemukan sebuah harapan
yang masih berselimut dalam kepenatan
Kolong Langit, 27 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H