Review Artikel: Konservasi Tanah dan Air Sebagai Komponen Utama Sistem Pertanian Berkelanjutan
Berdasarkan data BPS (2020), laju pertumbuhan penduduk di Indonesia pada sepuluh tahun terakhir (2010-2020) sebesar 1,25% per tahun. Jumlah penduduk yang semakin bertambah akan berakibat pada kebutuhan pangan yang semakin meningkat. Pada saat itu lah sektor pertanian memegang peranan penting, yakni dalam mencukupi kebutuhan pangan nasional. Â Adapun faktor produksi utama pada sektor pertanian yang dapat menjamin sistem produksi pangan yang berkelanjutan adalah ketersediaan lahan pertanian. Berdasarkan tipologinya, lahan sawah merupakan salah satu jenis lahan pertanian. Lahan sawah merupakan lahan pertanian yang berbentuk petak-petak dan dibatasi oleh pematang. Luas lahan sawah di Indonesia pada tahun 2016 yaitu 8.186.469,65 Ha sawah irigasi dan 4.755.054,10 Ha sawah non irigasi (BPS, 2017).
Luas dan sebaran lahan pertanian di Indonesia, ternyata selama ini dalam pengelolaannya belum menjamin pertanian berkelanjutan. Persentase penggunaan lahan pertanian di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat sebesar 89,72% dikategorikan di bawah standar pengelolaan produktif yang menjamin pertanian berkelanjutan, sedangkan yang memenuhi standar pengelolaan produktif sebagai lahan pertanian berkelanjutan di ketiga provinsi tersebut yaitu hanya sebesar 10,28% (BPS, 2020). Kondisi itu semakin diperparah oleh munculnya berbagai permasalahan pada lahan pertanian. Permasalahan pada lahan pertanian yang krusial diantaranya, yaitu degradasi lahan, konversi lahan, dan pencemaran lingkungan pada lahan pertanian.
Tentunya semua hal itu dapat mengganggu sistem produksi pertanian yang berkelanjutan. Degradasi lahan akan berimplikasi pada berkurangnya atau bahkan hilangnya potensi kegunaan lahan, sehingga terjadi proses penurunan produktivitas lahan baik yang bersifat sementara maupun tetap. Â Faktor alam seperti cuaca dan curah hujan yang tinggi dengan frekuensi lama, ditengarai sebagai salah satu pemicu terjadinya degradasi lahan. Kondisi masyarakat yang meliputi perubahan jumlah populasi, kemisikinan, ketidakstabilan politik dan masalah administrasi juga menjadi faktor pemicu terjadinya degradasi lahan. Praktik pertanian yang tidak tepat juga dapat mempercepat terjadinya degradasi lahan.
Degradasi lahan dapat menjadi ancaman serius bagi lingkungan karena dapat mengakibatkan pemanasan global, kekeringan, banjir, dan peningkatan laju erosi. Bagi sektor pertanian, degradasi lahan lebih lanjut dapat mengakibatkan timbulnya areal-areal yang tidak produktif yang disebut lahan kritis. Permasalahan berikutnya yaitu konversi lahan. Konversi lahan pertanian ke non pertanian akan berimplikasi pada berkurangnya areal resapan air, sehingga laju aliran permukaan menjadi semakin tinggi dan akhirnya dapat mengakibatkan longsor. Alih fungsi lahan dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi kependudukan, kebutuhan lahan non pertanian, sosial ekonomi, otonomi daerah, dan lemahnya pertauran perundang-undangan. Permaslahan terakhir yang tak kalah penting, yaitu terjadinya pencemaran lingkungan pada lahan pertanian. Pencemaran pada lahan pertanian bisa diakibatkan oleh kegiatan non pertanian seperti industri dan pertambangan, kegiatan pertanian dengan adanya penggunaan bahan-bahan agrokimia, dan aktivitas manusia yang dapat menimbulkan sampah seperti sampah rumah tangga.
Kegiatan pertanian yang menggunakan bahan-bahan agrokimia seperti, pupuk kmia secara berlebihan akan berdampak negatif bagi lahan dan lingkungan. Sumber daya air bahkan produk pertanian akan tercemari oleh residu pupuk kimia pada tanah. Adapun kegiatan non pertanian seperti, industri dan pertambangan dapat memberikan bahan beracun berbahaya (B3) dan logam berat yang menyebabkan kontaminasi produk pertanian juga menurunkan produktivitas tanaman. Kualitas tanah, air dan produk pertanian yang tercemar oleh B3 dan logam berat, lambat laun menyebabkan lingkungan ekosistem akan hancur dan tidak berfungsi sesuai peruntukkannya. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan adanya upaya yang mampu mengatasi berbagai permasalahan terkait lahan pertanian. Upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan pada lahan pertanian, yaitu melalui penerapan teknik konservasi tanah dan air.
Penerapan teknik tersebut diharapkan dapat mengendalikan laju erosi dan aliran permukaan, mengurangi hara yang hilang, meningkatkan efisiensi pemupukan, menyeimbangkan kehilangan dan laju pembentukan tanah, serta meningkatkan produksi pertanian. Upaya tersebut sekaligus dapat membantu dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan yang kedua dengan indikator 2.4.1 mengenai proporsi luas lahan pertanian yang ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan. Indikator tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut memiliki manfaat, yakni mempertahankan areal pertanian produktif dan berkelanjutan yang dapat mendukung upaya penyediaan pangan penduduk yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Adapun teknologi konservasi tanah dan air di lahan sawah diterapkan pada 6 kelompok.
Kelompok teknologi konservasi yang pertama adalah teknologi pengolahan tanah yang penerapannya dapat dilakukan dengan cara pengolahan tanah dalam (>20-25 cm) dan pengolahan tanah biasa (10-20 cm). Kelompok yang kedua adalah teknologi pembenahan tanah yang diterapkan melalui pemberian kompos sisa tanaman dan kompos kotoran hewan. Kelompok yang ketiga adalah teknologi pencegahan erosi secara mekanik yaitu penerapan teras sawah. Kelompok keempat yaitu teknologi pengendalian aliran permukaan yang juga dilakukan melalui penerapan teras sawah. Kelompok kelima yaitu pencegahan longsor yang dapat dilakukan dengan cara pembuatan saluran pengelak dan pemasangan bronjong. Kelompok keenam yaitu pencegahan dan penanggulan salinitas dengan cara pemberian gypsum, dolmit, kapur pertanian, pencucian menggunakan air segar (tawar), dan pembuatan pintu air otomatis.
Berdasarkan Kementerian PPN/Bappenas (2020), indikator 2.4.1 yakni proporsi luas lahan pertanian yang ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan, paling tidak bermakna adanya upaya pemerintah untuk menyediakan pangan dari produksi sendiri guna mencapai kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan di daerahnya, dengan menetapkan sebagian lahan pertanian di daerahnya sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan, yaitu yang tidak mudah dikonversi ke penggunaan lain. Â Adapun kebijakan pemerintah yang telah dilakukan yaitu mengeluarkan UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Hal tersebut berguna dalam membantu mengatur penggunaan lahan agar sesuai dengan peruntukan dan kemampuannya. Selain itu pemerintah juga menerbitkan Peraturan Presiden (Perpes) No.59 tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah.
Berdasarkan pasal 18 dan 19 Perpres No.59 tahun 2019, pemerintah pusat akan memberikan insentif kepada pemerintah daerah jika sawah di daerahnya dilindungi dan ditetapkan sebagai lahan pertanian berkelanjutan, serta bagai masyarakat yang memiliki atau mengelola sawah yang ditetapkan sebagai lahan pertanian berkelanjutan. Insentif yang dimaksud berupa bantuan sarana dan prasarana pertanian, irigasi, sertifikasi tanah, dan/atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberian insentif tersebu telah diatur pada pasal 20 Perpres No.59 tahun 2019. Adapun pada pasal 21 Perpres No.59 tahun 2019 menjelaskan bahwa pemberian insentif dilaksanakan sesuai kemampuan keuangan negara. Dalam upaya memperluas lahan sawah, pemerintah melalui Perpres No. 10 tahun 2005 dan sitindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian No.299/Kpts/OT.140/7/2005 membentuk institusi yaitu Direktorat Jenderal Pengolahan Lahan dan Air (PLA) yang bertugas memperluas areal tanam beberapa komoditas. Menurut Ditjen PLA tahun 2005, Kementan mencetak lahan sawah baru sekitar 8.000 ha, tahun 2007 sekitas 18.000 ha. Pada akhir tahun 2011, telah dilakukan pencetakan sawah baru seluas 55.560.100 Ha.
Penerapan teknik konservasi tanah dan air secara agronomis, mekanis, dan kimia pada lahan sawah sudah cukup baik. Teknik tersebut dapat mencegah dan mengatasi permasalahan krusial pada lahan pertanian yakni terjadinya degradasi lahan, sehingga dapat membantu mengamankan dan memelihara produktivitas tanah guna mencapai produksi optimal secara berkelanjutan. Hal tersebut sudah sesuai dengan indikator 2.4.1 tujuan pembangunan berkelanjutan yang ingin mempertahankan areal pertanian produktif dan berkelanjutan yang dapat mendukung upaya penyediaan pangan penduduk. Namun, untuk permasalahan pencemaran lahan pertanian oleh bahan beracun berbahaya (B3) dan logam berat, masih perlu dilakukan upaya lain yang dirasa lebih ampuh dalam mengatasi permasalahan tersebut.