Hutan merupakan suatu wilayah atau dapat juga dikatakan suatu kawasan yang memiliki banyak tumbuh-tumbuhan lebat yang diantara lain berisikan seperti semak, rumput, jamur, dan sumber daya alam lainnya baik yang hidup maupun tidak hidup. Hutan juga merupakan tempat yang terbentuk secara alami yang memiliki fungsi sebagai tempat berjalan nya rantai ekosistem makhluk hidup baik itu tumbuhan maupun hewan.
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) hampir tiap tahun terjadi Indonesia, khususnya pada musim kemarau. Cuaca yang panas menyebabkan hutan dan lahan mengering sehingga memicu terjadinya kebakaran. Selain itu, praktek pembukaan lahan baru (land clearing) dengan cara membakar yang dilakukan oleh masyarakat setempat dan korporasi, diduga menjadi pemicu terjadinya kebakaran. Secara teori, peristiwa kebakaran (termasuk Karhutla) hanya akan terjadi jika terpenuhi 3 (tiga) unsur sebagai penyebabnya, yaitu: panas (heat), oksigen (Oxygen), dan bahan bakar (fuel). Ketiga unsur tersebut dikenal sebagai Segitiga Api atau Triangle of Fire (Saharjo dan Syaufina, 2015). Jika salah satu dari unsur tersebut tidak tersedia maka tidak akan terjadi proses pembakaran (combustion).
Pada kenyataannya, Karhutla di Indonesia, lebih dominan dilakukan baik secara sengaja atau tidak sengaja oleh manusia dan berhubungan dengan beberapa penyebab, diantaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup, sementara yang lainnya lebih kepada aktivitas komersial (Qadri, 2001). Pernyataan yang sama bahwa penyebab Karhutla didominasi oleh faktor manusia dikemukakan oleh Saharjo et al (1999) dan BNPB (2019).L
Sedangkan dilihat menurut perspektif hukum, membakar hutan dan lahan merupakan perbuatan yang melawan hukum karena selain bertentangan dengan KUHP, membakar hutan dan lahan juga bertentangan dengan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan PP No. 4 Tahun 2001tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. Orang yang melakukan kegiatan membakar hutan dan lahan akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atas. (Widia Ederita, 2011).
A. Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Tentang Tanggung Jawab Pemerintah Indonesia Terhadap Kebakaran Hutan Dan Lahan.
1. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 dimaksudkan untuk mengimplementasikan pemanfaatan hutan secara berkelanjutan dan berwawasan ekologi.
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tugas dan wewenang di bidang pengelolaan dan perlindungan
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.Â
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas).
B. Faktor Pemicu Kebakaran Hutan Dan Lahan.
1. Ulah manusia
a) Merokok. Terdapat kebiasaan orang merokok sambil mengemudi,
berjalan, atau bersepeda di sekitar hutan. Lalu mereka membuang puntung rokoknya begitu saja tanpa benar-benar mematikannya.
b) Perkemahan. Api unggun yang dinyalakan di perkemahan bisa berbahaya jika tidak dimatikan dengan cara yang benar.
c) Membakar sampah. Baik dampak langsung berupa polusi udara, maupun risiko membakar hutan.
d) Kembang api. Hanya butuh satu percikan api, sudah bisa menjadi penyebab kebakaran hutan.
e) Penggunaan api untuk persiapan lahan. Masyarakat di sekitar hutan biasanya membakar lahan.
f) Illegal logging. Kegiatan ini menghasilkan lahan yang mudah terbakar karena meninggalkan sisa daun dan ranting kering yang berpotensi menjadi bahan bakar ketika ada percikan api atau panas.
g) Perambahan hutan. Migrasi penduduk ke dalam hutan, baik disadari atau tidak, akan menyebabkan kebutuhan lahan untuk hidup semakin luas.
2. Kejadian alam
a) Petir. Sambaran ini sering mengenai benda yang tinggi seperti pohon, tebing atau batuan, atau kabel listrik.
b) Erupsi gunung berapi. Lahar panas yang melewati hutan bisa memicu kebakaran.
c) Iklim. Suhu yang tinggi terutama akibat pemanasan global, bisa menyebabkan hutan terbakar.
C. Karhutla Melalui Pendekatan Ekologi PemerintahanÂ
Tujuan ekologi Pendekatan ekologi pemerintahan dapat digunakan untuk menjelaskan keterkaitan antara kondisi lingkungan dengan proses ekonomi-politik dan sosial-politik yang melibatkan berbagai aktor yang berkepentingan di tingkat lokal, regional, dan global. Oleh karena itu, ekologi pemerintahan dapat menjadi pendekatan baru dalam memahami Karhutla dan menjadi salah satu solusi pemecahan terkait upaya untuk mengatasi kejadian Karhutla. Perubahan lingkungan, termasuk kerusakan lingkungan sebagai akibat dari Karhutla tidaklah bersifat netral, terkait dengan politisasi lingkungan dimana melibatkan banyak aktor yang memiliki kepentingan terhadap lingkungan itu sendiri.
Sebagai ranah studi, ekologi Pemerintahan dikaitkan dengan tingkah laku pengguna sumber daya dalam pengaturan spesifik dengan politik, institusi, dan hubungan sosial yang merupakan pengaturan pada tingkah laku tersebut. Isu-isu tentang pengelolaan SDA tidak terlepas dari aspek sosial-politik atau kebijakan pengelolaannya. Terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, negara juga sebagai aktor pengguna, diidentikkan menjadi bagian dari operasi kapitalisme global. Perusahaan multinasional memiliki kepentingan terhadap peran negara untuk mempermudah praktek eksploitasi sumberdaya alam. Pada sisi lain, Cockburn dan Ridgeway (1979) menggambarkan ekologi pemerintahan sebagai tujuan terselubung yang dilakukan negara-negara industri untuk dapat mengeksploitasi lingkungan.
D. Program Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan.
Beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya api diantaranya;
a. Penatagunaan lahan sesuai dengan peruntukan dan fungsinya masing-masing dengan mempertimbangkan kelayakannya secara ekologis disamping secara ekonomis.
b. Pengembangan sistem budidaya pertanian dan perkebunan serta sistem produksi kayu yang tidak rentan terhadap kebakaran.
c. Pengembangan sistem kepemilikan lahan secara jelas dan tepat sasaran.
d. Pencegahan perubahan ekologi secara besarbesaran diantaranya dengan membuat dan mengembangkan pedoman pemanfaatan hutan dan lahan gambut secara bijaksana (wise use of peatland).
e. Pengembangan program penyadaran masyarakat terutama yang terkait dengan tindakan prncegahan dan pengendalian kebakaran.
f. Pengembangan sistem penegakan hukum.
g. Pengembangan sistem informasi kebakaran yang berorientasi
kepada penyelesaian masalah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI