Mohon tunggu...
Safira Lahati
Safira Lahati Mohon Tunggu... Lainnya - Cortigo ego sum

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri 83 Perebut Mimpiku

2 April 2020   13:26 Diperbarui: 2 April 2020   13:39 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     Sepercik ucapan selamat pagi disampaikan oleh cahaya matahari yang membias lewat kaca jendela kamarku, yah tak perlu menatap jam dinding kala itu setelah semalaman bertemankan hawa dingin yang merasuk seluruh tulang dan persendian tubuhku dengan beralaskan selimut kecil yang menjadi tempat berlindungku dalam membunuh dinginnya malam untuk menjemput pagi yang kata mereka bahwa pagi selalu menandakan hari yang baru dan awal yang baru. Berharap lewat pagi ini akan ada awal yang baru, hidup yang baru setelah semalam cukup kelelahan dalam  menata pecahan hati yang berantakan dan berserakan yah begitulah kiranya singkat cerita dalam mengusaikan keputus asaan.

Tapi pagi itu ternyata aku keliru. Entah kenapa padahal suasana pagi ini akupun bersarang dalam pelukan hangat dari seorang perempuan renta usia yang usiannya semakin di makan hari yaahh ia adalah Ibuku wanita kebanggaanku. 

Aku cukup bertanya-tanya dan kembali membuka diskusi bersama jiwa ini menjelma dan mencoba masuk untuk bisa merasakan..

Tak butuh waktu lama kurang lebih 15 menit akhirnya kujumpai pecahan itu dengan sedikit  pertengakara yang bermuara dari perbedaan sudut pandang antara otakku dan bahasa hati.

Yaahhh, ternyata ada sedikit rasa yang belum mengikhlaskan dengan hati yang berlapang untuk keputusan Tuhan dalam takdir hidupku. Yahh, kurang lebih 83  hari yang lalu tepatnya 10 januari 2020 ada sejarah perjalanan hidup dalam memaknai bahwasanya tak ada yang abadi di dunia. Waktu yang transitory atau dalam bahasa kerennya 'fana' dan bahas mudah dipahami ‘tak kekal’ harus benar-benar kuyakini. Pagi ini tanpa ucapan selamat pagi dari seorang lelaki berbadan kekar dengan tinggi badan yang hampir 170 Cm dan juga lingkar perut yang cukup memakan tali meterku.

Iyah dia Ayahku, entah bagiamana kiranya dalam meyakinkan diri bahwa ini bukanlah bagian dari mimpi. Ini bagian pecahan yang setiap paginya selalu ku tata setelah kejadian 83 hari yang lalu. Memang meresahkan hidup dalam kepingangan pecahan hati.

Laksana embun  pada daun yang selalu kujumpai setiap bangun  dari tidurku tetapi saat itu juga akan lenyap dengan tiupan angin tapi akan selalu ada harapan, selalu ada yang tetap bisa kita harapkan setiap pagi hari.

‘Amor fati fatum brutum begitulah kiranya ku nikmati hidup. Dengan mencintai tadir hidupku sekalipun itu kejam’

Sekian cerita sang pengadu yang tak bertuan....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun