Mohon tunggu...
SANTY VIANA
SANTY VIANA Mohon Tunggu... -

sedang menempuh pendidikan di stain ponorogo jurusan tarbiah prodi bahasa arab. juga aktif dalam sekolah menulis online writing revolution

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aura Sebuah Chemistry

4 Januari 2012   06:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:21 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aura Sebuah Chemistri[1]

“Ngelembur lagi ya Mas?”

“Ya begitulah, banyak tugas dan skripsi mahasiswa yang harus segera ku koreksi. Kamu kan tahu sendiri aku juga sedang sibuk mengerjakan tesis, jadi mana sempat bila tidak ku bela-belain untuk lembur.”

Irmapun hanya mendesah pelan mendengar jawaban itu. Sudah hampir satu bulan ini, suaminya selalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaannya. Selain itu hampir setiap hari selalu ada mahasiswi yang datang menemui suaminya dengan alasan untuk bimbingan skripsi. Cemburu, ah kata itu terlalu naif untuk diucapkan. Bukankah suaminya memang seorang dosen terbaik dan calon doktor di universitas al-Badar tempatnya bekerja? Sangat wajar bila banyak mahasiswa-mahasiswi yang datang untuk konsultasi ilmu dengannya. Apalagi menjelang semester akhir seperti ini, sangat tidak realistis bila ia harus cemburu. Tapi bukankah para mahasiswi itu juga perempuan dewasa yang bisa jadi memiliki perasaan khusus terhadap suaminya. Laki-laki yang bertubuh gagah, berkulit putih dengan hidung yang mancung ditambah dengan kecerdasan yang brilian, wanita mana coba mana yang tidak tergoda.

“Mahasiswa Mas Ilham lebih banyak yang putri ya daripada yang putri?” kata Irma basa-basi sambil melihat daftar absen di meja kerja suaminya.

“Salah satu tanda kiamat itu kan wanita dibanding pria bagaikan seribu banding satu, ya wajar itu. Lagipula aku kan memang mengajar mahasiswa jurusan pendidikan yang lebih banyak diminati wanita daripada pria. Bedalagi kalau aku mengajar di jurusan tehnik, mahasiswaku kebanyakan pasti laki-laki. Memangnya kenapa kamu cemburu?” kata Mas Ilham tanpa mengindahkan kedua matanya dari skripsi yang sedang dikoreksinya.

Irmapun hanya mampu menelan ludah mendengar perkataan suaminya. Ia merasakan suaminya semakin dingin kepadanya akhir-akhir ini. Dulu waktu awal menikah ia sangat memahami bila suaminya tidak seromantis tokoh-tokoh novel karangannya. Ya karena suaminya adalah sarjana matematika yang hai-harinya selalu berkutat dengan angka-angka dan rumus-rumus rumit yang cenderung menggunakan otak kiri. Sangat berbeda dengan dirinya, mahasiswi sastra bahasa indonesia yang lebih cenderung suka membuat karangan fiksi dengan imajinasi yang tinggi dan cenderung menggunakan otak kanan. Dulu ia selau berfikir bahwa perbedaan itu akan menjadi pelengkap rumah tangganya. Tapi sebesar apapun usaha irma untuk selalu bersikap romantis tetap saja ditanggapinya dengan dingin. Apalagi dengan belum hadirnya buah hati di usia pernikahan mereka yang menjelang dua tahun, membuat hari-hari Irma semakin bertambah sepi.

“Mas mencintaiku?” tanya Irma sambil memijat bahu suaminya pelan.

“Apa?” balas Ilham pura-pura tak mendengar dan tetap fokus pada skripsi di depannya.

“Apakah Mas benar-benar mancintaiku?” ulang Irma.

Ilhampun hanya mendesah panjang mendengar pertanyaan itu.

“Kelihatannya Mas berat sekali menjawabnya.”

“Bukan begitu, aku Cuma nggak suka dengan pertanyaanmu..., pertanyaan apa itu....” Balas Ilham ketus sambil beranjak menuju rak buku yang ada di samping meja pribadinya.

Air mata Irmapun berlinang tanpa bisa ditahan. Sudah tiga minggu Ilham tidak menyentuhnya. Seperti malam ini, ia lebih mencintai pekerjaan daripada istrinya yang selalu menanti belaian kasih darinya. Ia sama sekali tak peka dengan sinar kerinduan di kedua bola mata Irma.

“Sudahlah kamu segera tidur, sudah hampir jam dua belas. Jangan terpermainkan oleh perasaanmu yang terlalu konyol itu. Hapus air mata tak bergunamu, aku tak suka melihat perempuan cengeng.”

Irmapun beranjak meninggalkan Ilham dengan airmata yang semakin mengalir deras.

“Selamat malam Mas..., Mas egois....”

Irmapun menelungkupkan wajahnya di ranjang tidur, menangis sesenggukan seperti anak kecil. Diraihnya bantal dan guling kesayangannya, ia tumpahkan air matanya pada kedua benda itu. Sebelum bantal dan guling itu benar-benar terbanjiri oleh air matanya, iapun beranjak untuk meraih diari kecil di laci maja riasnya. Diari itu selau menjadi saksi atas moment-moment yang ada dalam hidupnya. Jiwa sastranya selalu mampu merangkai serpihan-serpihan tulisan-tulisan itu majadi seutuh cerita yang terangkai indah.

Aku bukanlah batu yang bisa kau

biarkan dingin membeku

Aku adalah sekuntum mawar ungu,

si penyedia madu

Hisaplah sariku....

Atau akau akan layu....

*****

Peristiwa itu terjadi di depan matanya. Ilham sedang menggandeng seorang wanita, entah siapa. Ia tidak kenal, ia ingin memanggil, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Mereka tertawa, bercanda, bahkan....

Mereka naik dalam sebuah mobil, dan pergi. Iapun juga naik sebuah mobil mengejar untuk mereka. Mereka memasuki sebuah hotel, ia terus mengejar. Ilham menggendong wanita itu memasuki kamar hotel, pintu kamar itupun tertutup.

Ia menggedor-gedor pintu itu, memanggil-manggil nama Ilham. Tapi ia tetap tak bisa bersuara, lehernya terasa seperti dicekik.

Irma tersentak dari tidurnya yang sama sekali tidak nyenyak. Dilihatnya Ilham tidak ada di sisinya. Iapun beranjak menuju ruang kerja Ilham, rupanya ia tertidur di sofa. Ia ambilkan selimut, ia kecup kening belahan jiwanya itu dengan mesra, sebelum ia beranjak untuk mengambil air wudhu.

*****

“Halo Ir, kamu sekarang sedang dimana?”

“Sedang mengikuti seminar kepenulisan Mbak, memangnya kenapa?”

“Sekarang juga, cepat datang ke kafe sagitaria! Ada hal penting yang harus segera kamu ketahui.”

“Ada aa sih Mbak?”

“Sudah tidak usah banyak tanya, pokoknya sekarang kamucepat kesini! Nanti kamu akan tahu sendiri, Mbak nggak tega untuk mengatakannya.”

“Iya tapi ini seminarnya belum selesai, sayang Mbak kalau harus ditinggalkan hanya untuk urusan yang belum jelas.”

“Kamu lebih memilih seminar atau keutuhan rumah tangga kamu?”

“Keutuhan rumah tangga? Maksud Mbak apa?”

“Sekarang di depan mataku, suamimu sedang makan berdua dengan seorang gadis muda, yang ku rasa adalah mahasiswinya.”

“APA MBAK...??”

“Makanya cepatlah kesini, biar segalanya jelas!”

Diam tak ada sahutan....

“Halo... Ir..., kamu nggak papa kan? Ir... halooo....”

“KLIK”

Lemas sudah tubuh Irma mendengar berita yang beru saja disampaikan Desi, kakak kandungnya.

“Mas Ilham selingkuh? Apa yang ku mimpikan semalam ternyata benar? Ya Allah ini begitu menyakitkan....” Dialok Irma dengan hatinya.

Kepala Irma seperti baru saja tertimpa godam, lunglai sudah tubuhnya. Ia sudah tibak bisa lagi untuk konsentrasi menyimak isi seminar dari penulis terkenal yang ada di depannya. Pikirannya kacau, matanya kini mulai memanas. Sebelum butiran bening itu benar-benar keluar, iapun segera beranjak pergi meninggalkan ruang seminar itu.

Ilham selingkuh, oh wajah Irma sekarang sudah dibanjiri oleh air mata. Hatinya terasa semakin nyeri, rasanya ada ribuan jarum yang menusuk dadanya. Bayang-bayang mimpinya semalam, terus melintas menghantui jiwa. Ia merasa tidak dihargai, Ilham telah menghianati ketulusan cinta yang telah diberikannya.

Namun untuk apa Ilham melakukan semua ini? Bukankah dia orang yang paham agama? Tahu hukum syari’at islam, bahwa berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahrom itu haram hukumnya. Bukankah Ilham yang telah mengajari Irma untuk lebih jauh mengenal islam. Tapi kenapa sekarang semuanya berubah? Ilham justru menghianati kepercayaan yang telah seratus persen ia berikan.

Apakah ini karena belum hadirnya buah cinta dari pernikahannya yang telah menginjak 2 tahun? Tapi bukankah Ilham pula yang selalu menasihatkan untuk bersabar dan tak mudah putus asa? Di kala Irma mulai mengeluh Ilham justru menasihatinya dengan kisah Nabi Zakaria dan Nabi Ibrahim yang bahkan puluhan tahun belum dikaruniai keturunan. Bukankah Ilham selalu mengatakan bahwa ia tak akan berpaling dari wanita lain walaupun Irma tak bisa memberinya keturunan?

Apakah ini semua justru akibat kesalahannya yang tidak memberikan servis memuaskan kepada Ilham? Ke sana juga akhirnya Irma berfikir. Karena perselingkuhan takkan terjadi hanya karena seorang istri tidak bisa memasak atau mencucikan baju suaminya. Semua tugas itu bisa digantikan oleh orang lain. Tetapi, ada satu tugas yang tidak bisa digantikan oleh orang lain. Yaitu....

Kalau iya kenapa Ilham tidak pernah bilang? Irma merasa ia selalu menuruti apapun permintaan Ilham. Sepanjang tidak melebihi batas syar’i, ia jarang menolak. Kalaupun menolak, memang ia sedang benar-benar lelah atau sakit, dan biasanya Ilham akan memaklumi.

Jauh di lubuk hatinya, rasanya ia yang justru lebih banyak berkorban. Ia sering merasa tidak menjadi dirinya sendiri. Kadang ia merasa jauh.... kadang ia begitu lelah.... merasakan frekuensi yang tidak sama dengan Ilham. Tertatih-tatih ia berusaha mengikuti langkah Ilham.

Irma ingin menuju ke arah kafe Sagitaria, tapi arah kemudinya justru menuju rumah. Untuk apa ia menangkap basah perselingkuhan Ilham, itu hanya akan membuat tontonan publik dan mempermalukan dirinya sendiri. Ilham pura-pura tidak mengenali dirinya, dan mengatakan dirinya belum mempunyai istri. Atau Ilham akan mengatakan bahwa dirinya hanyalah wanita murahan yang mengaku-ngaku sebagai istrinya. Sesuatu yang klise, persis seperti yag sering terjadi di sinetron-sinetron.

Tapi bukankah semua itu perlu ditabayun dulu, supaya tidak dipermainkan oleh prasangka yang masih kabur? Ah... bukankah sikap dingin Ilham selama satu bulan ini merupakan tandanya. Lagipula nggak mungkin Mbak Desi berbohong, ia kakak kandungnya yang selalu menyayangi dan melindunginya.

“Aku akan mencari bukti lain yang mungkin disimpan Mas Ilham di rumah.” Kata Irma meyakinkan diri.

Sesampai di rumah, Irmapun langsung menuju ruang kerja Ilham, ia periksa setiap sudut di ruangan itu. Di bawah tumpukan buku, di laci, di lemari dan aah..., betapa terkejutnya Irma ketika mendapati puluhan bingkisan dan surat-surat yang bersampulkan warna merah jambu. Ia baca surat-surat itu, benar itu surat dari para pengagum Ilham. Bahkan ada yang terang-terangan meminta Ilham untuk menjadikannya istri kedua. Ooh..., Irma tak sanggup meneruskan semuanya. Kalau itu tak benar kenapa Ilham tidak pernah bercerita tentang semua itu pada dirinya. Kenapa Ilham justru lebih memilih menyembunyikan dari dirinya? Apakah supaya kedoknya tidak terbongkara dan bisa menutupi perselingkuhannya?

“Oh benar-benar munafik....” Ucap Irma sambil mencampakkan surat-surat yang adadalam genggamannya.

Suara mobil Ilham menderu di depan rumah. Irma masih duduk terpekur, menangis tersedu di depan bingkisan-bingkisan dan surat-surat murahan itu. Irmapun sama sekali tak menyahut ketika Ilham beruluk salam. Pikirannya telah kalut dengan perasaannya sendiri.

“Irma, sedang apa kamu? aku salam tidak dijawab. Rupanya kamu sedang berada di sini.” Kata Ilham ketika mendapati Irma berada di ruang kerjanya.

“Ini semua barang-barang dari siapa Mas?”

“Oo..., itu tak penting. Ambil saja kalau kamu mau.”

“Mas aku serius, kenapa Mas tak pernah bercerita kepadaku tentang barang-barang ini? Atau jangan-jangan Mas sengaja menyembunyikannya supaya aku tidak pernah tahu perselingkuham Mas?”

“Irma bicara apa kau, jangan terlalu membesar-besarkan masalah, aku tak punya waktu hanya untuk menanggapi perkara-perkara sepele seperti ini.”

“Perkara sepele? Mas tolong hargailah perasaanku sedikit saja, aku ini istrimu. Dan para mahasiswi Mas yang genit itu bukan lagi anak SD, mereka perempuan dewasa yang....”

“Oo..., jadi kau menuduhku selingkuh dengan mahasiswiku sendiri? Konyol sekali cara berfikirmu?”

“Tadi Mas makan siang dengan siapa?”

“Oo..., jadi karena itu hingga kau mengobrak-abrik ruang kerjaku?”

“Mengaku juga kau akhirnya Mas?”

“Tapi itu tidak seperti yang kau kira, aku hanya....”

“Ah sudahlah Mas, aku capek berdebat terus denganmu.” Kata Irma sambil beranjak meninggalkan Ilham.

Malam itu Irma dan Ilhampun tidur terpisah. Irma memilih mengunci diri di kamar tamu. Sedangkan Ilham memilih untuk tidur di sofa ruang kerjanya. Kamar utama mereka kosong. Pagi harinya mereka berdua bagaikan sepasang makhluk yang baru saja mengadakan perang dingin, tak ada sepatah katapun yang terucap. Keduanya diam membisu. Walaupun dalam keadaan marah Irma tetap berusaha setia menyediakan sarapan untuk suaminya, menyediakan air hangat untuk dia mandi, dan mempersiapkan segala kebutuhan kerja Ilham.

“Kau masih marah Ir?” tanya Ilham ketika hendak pergi ke kantor.

“Tapi Irma justru membuang muka dan sibuk membersihkan meja makan.”

“Baiklah akan ku jelaskan semuanya nanti sepulang kerja. Tunggulah aku, nanti malam aku akan malam dirumah, Assalamu’alaikum....”

Irma hanya mendengus dan menjawab salam Ilham dengan suara yang amat lirih.

*****

“Kau tau tanggal berapa ini Ir?” tanya Ilham mengawali pembicaraan.

Irma hanya diam membisu, tanpa mengiraukan ucapannya.

“Irma sayang..., sudah dong marahnya, jangan membuatku bertambah bingung....”

Sayang, baru sekali ini Irma mendengar kata itu dari mulut Ilham. Pasti ini hanya akal-akalan Ilham supaya Irma memaafkan perselingkuhannya. Pikir Irma waktu itu.

“Kau ingat Sayang, 28 mei ini adalah hari ulang tahun pernikahan kita yang kedua.”

Ya Allah..., Ilham mengingat tanggal pernikahan mereka. PadahalIrma sama sekali tak mengingatnya, apakah ini juga bagian skenario untuk menutupi kebohongannya?

“Terimakasih Sayang, kau telah setia menemani dan mendampingiku. Maafkan aku bila belum bisa membahagiakan dan menjadi suami yang terbaik untukmu....” Ucap Ilham sambil menyerahkan sebuah kotak dari beludru silver yang berisikan liontin yang sangat cantik.

Dalam hati Irma merasa tersanjung, dan benar-benar surprise terhadap kejutan yang diberikan Ilham. Tapi ia masih enggan untuk membuka percakapan. Dengan muka masam ia menanggapi kejutan yang Ilham berikan.

“Apa lni cara Mas untuk menutupi kemunafikan yang telah Mas lakukan?”

“Ir percayalah aku dan Linda sama sekali tidak memiliki hubungan kusus. Ia memang pernah memintaku untuk menjadikannya istri kedua, tapi di hatiku kau tak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Kemarin siang kami memperjelas semuanya dan ia bilang akan segera menikah dan pindah keluar kota. Kemarin ia hanya berpamitan denganku. Aku hanya punya Allah sebagai saksi atas ucapanku ini.”

Melihat tatapan cinta dari kedua sinar mata Ilham, hati Irma terasa bergetar seakan baru ada gemba dahsyat yang mengguncang tubuhnya. Ilham berani menjadikan Allah sebagai saksi, sangat mustahil kalau dia bohong. Irma tau betul siapa Ilham. Ya mungkin dia terlalu terpengaruhi oleh prasangka yang ia simpulkan sendiri. Walaupun Ilham belum menjadi suami seperti harapannya, tapi Ilham begitu baik. Irma mulai sadar bahwa masing-masing manusia memiliki kekura ngan dan kelebihan, temasuk suaminya dan sebagai istri tak seharusnya ia menghujat dn menuntut kesempurnaan darinya.

“Tapi kenapa akhir-akhir ini Mas selalu mengabaikanku?” line seucap Irma pada akhirnya.

“Oh Sayang, maafkanlah aku, aku begitu larut dengan pekerjaan dan tesis yang datelinenya sebentar lagi. Aku teramat ngkaran d, dan berkat kesabaran dan doa darimu Alhamdulillah aku telah menyelesaikannya. Malam ini khusus untukmu tanpa ada yang boleh mengganggu, walaupun hanya seekor nyamuk.

“Alah gombal...,” kata Irma sambil melempar remasan tisu di depannya.

“Malam ini kau teramat cantik Sayang, hingga cahaya sinar rembulanpun mampu mengalahkan sinar di wajahmu.” Bisik Ilham mesra.

Irma begitu tersipu malu, dua tahun mendampingi Ilham belum pernah ia melihat Ilham semesra itu. Apkah benar kata orang, bahwa pertengkaran adalah bumbu yang semakin merekatkan cinta mereka. Pikir Irma, sambil menikmati tatapan Ilham yang tanpa kedip, disertai senyumanlembut di balik genggaman tangan yang menopang mulut dan dagunya. Andaikan Irma tahu, Ilham butuh waktu berminggu-minggu untuk menyiapkan kejutan itu. Berbagai rubrik konsultasi dari beberapa tabloid berusaha ia ikuti, untuk belajar menjadi suami yang romantis. Iapun tak segan meminta saran dari para teman, pakar konsultasi keluarga sampai brosing di intrnet. Hasilnya tak sia-sia Irma begitu menikmati keromantisan itu. Lihatlah senyuman yang masih tersungging di wajahnya yang bersemu merah. Ah semua itu membuat hati Ilham bergetar hebat, seakan badai tsunami baru saja mengguyur hatinya. Aura sebuah chemistri itu kini semakin menggelora....

Irma baru tersadar ketika waktu berlalu tanpa percakapan. Ilham terus menatapnya. Irma tetap pura-pura tidak tahu. Ia menikmati tatapan itu. Marasakan adanya radiasi cinta pada lapisan udara di sekitarnya. Kadang ia mendongak, pura-pura menanyakan sesuatu untuk mengetahui apakah Ilham masih menatapnya atau tidak. Dan ia mendapatkan mata itu tetap sama. Benar-benar makan malam yang spesial buat Irma.

“Ir kau teramat sempurna untukku, maafkan aku jika belum mampu membahagiakanmu sayang, izinkan aku untuk terus belajar darimu....”

“Wahai Cintaku, hatiku telah rela akan hadirmu, namamu telah bersemayamdalam relung hatiku yang terdalam, akan selalu ku simpan cinta ini hingga kekal sampai surga. Selamat datang di pertapaan hatiku, rengkuhlah aku dengan melodi cintamu.”

Ilham beranjak dari tempat duduknya, menghampirinyahingga tak ada jaraklagi. “Irma sayangku....” Bisik Ilham mesra.

Aura sebuah chemistri kembali bergelora dengan lebih dahsyat. Hanya mereka berdua yang merasakan gejolaknya. Mendorong kedua tangan Ilham meraih tubuh Irma ke dalam gendongannya. Irma bisa merasakan detak jantung Ilham yang berdebaran. Ia suka menikmati detak jantung itu. Detak jantung yang sering ia dengarkan ketika lelah atau sedih. Ya walaupun Ilham bukanlah tipikal suami yang romantis, tapi ia juga tak memungkiri kalau Ilham selalu menyediakan dada dan bahunyauntuk sekedar bersandar, kapanpun ia butuh.

“Izinkan aku menyanyikan sebuah nasyid untukmu Sayang....”

“Dengan senang hati aku akan mendengarkannya Mas....”

Istri cerdik yang sholehah, penyejuk mata, penawar hati, penajam pikiran....

Di rumah ia istri, di jalanan kawan, di saat kita butuh ia penunjuk jalan....

(Perlahan, Irma merasa dibawa menyisir pinggiran sungai, di kaki bukit nan menghijau, pucuk-pucuk pohon cemara menari gemulai tertiup dingin angin pegunungan.di bawah kaki lapisan lumut dn pakis begitu tebal, begitu nyaman, sementara suara air menggemericik membeningkan hati. Begitu sejuk, begitu tenang, begitu damai. Betapa ia ingin selamanya berada di sana)

*****

[1]Reaksi-reaksi kimia, percikan-percikan rasa serupa listrik antara dua manusia berlainan jenis. Rasa ini eksklusif dan hanya muncul diantara keduanya.,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun