Mohon tunggu...
Safinatun Naja Akaleva
Safinatun Naja Akaleva Mohon Tunggu... -

Lahir di Ukraina, tapi tanah airku Indonesia. Mahasiswa Tingkat Akhir, Suka Menulis Tentang Apa Saja. Mari Belajar Tentang Banyak Hal, Jangan Batasi Ilmu di Ruang Sempit Fakultas.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Aset Triliunan Social Entrepreneur Express

26 Januari 2015   15:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:21 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Jika kita cermati, pasar Indonesia saat ini mengalami pergeseran lanskap. Era sebelum reformasi, para konsumen hanya mencari benefit bila membeli atau menggunakan sebuah produk. Kini, selain pastinya harus peroleh manfaat (to get reason), ada motivasi lain yang kerap menjadi alasan atau pertimbangan seorang konsumen sebelum membeli atau menggunakan sebuah produk. Yakni alasan, manfaat apa yang saya berikan (to give reason) jika saya menggunakan produk anda.

Konsumen kini menjadi lebih relijius dan berjiwa sosial. Dalam setiap pengambilan keputusan, selalu ingin melibatkan pertimbangan keyakinan (agama) dan perasaan (sosial). Dalam soal pertimbangan atau alasan dibolehkan oleh ajaran agama misalnya, maka direspon oleh pasar dengan membuat produk yang menonjolkan sisi ke-halal-annnya. Beberapa tahun lalu, “produk halal” masih amat sangat asing di dengar. Kini, kampanye penggunaan produk halal sudah jadi mainstream baru dalam dunia bisnis.

Walaupun Indonesia adalah negeri dengan mayoritas penduduk muslim, namun entah kenapa muncul semacam ketakutan menggunakan produk yang tidak ditandai oleh label dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan, bila ada produk terkenal karena kerap diiklankan namun tidak memiliki label halal, maka ramai-ramai (dugaan) “tidak halal” tersebut biasanya akan disebarkan secara sukarela di internet untuk diberitahukan kepada teman-teman bahwa produk ini tidak halal. Tanpa sadar, barangkali kita sudah termasuk dari bagian konsumen yang menjadikan “label halal” sebagai standar dalam menggunakan sebuah produk.

Produk harus berlabel halal MUI, merupakan satu instrument jika masyarakat kian relijius. Bagi pemasar, gejala “harus berlabel halal” ini direspons dengan membuat “produk halal”. Produk halal ini tidak harus produk baru. Ia bisa saja produk lama namun dikemas dengan wajah baru yang menonjolkan sisi “label halal”.

Selain pertimbangan agama, alasan misi sosial atau manfaat apa yang diberikan juga kini sedang menjadi tren di ranah bisnis Indonesia. Kerap kita jumpai kalimat begini “membeli berarti ikut berdonasi”, “setiap rupiah yang anda keluarga, sebagian disisihkan untuk penderita kanker”, atau ada juga minimarket dan supermarket yang bekerjasama dengan lembaga sosial untuk mendonasikan “recehan” sisa belanjaan. Cara-cara seperti ini, merupakan bentuk inovasi dalam bisnis yang bisa mengungkit brand. Sebuah merek jadi akan dikenal atau lekat di dalam hati masyarakat bahwa mereka memiliki kepedulian sosial. Tak hanya mengejar untung semata, akan tetapi juga turut mengajak konsumen dalam berdonasi.

Taksi Express cukup cerdas membaca celah market yang berjiwa sosial ini. Taksi Express merupakan salah satu brand yang menerapkan model misi sosial di dalam sistem bisnis mereka. Ketika seorang penumpang menggunakan jasa taksi Express, maka secara otomatis sudah turut dalam membantu pengemudi dalam memiliki mobil armada taksi yang mereka kemudikan. Ini karena taksi Express membuat sistem kemitraan dengan para pengemudi.

Mereka, para pengemudi tidak digaji  bulanan. Namun memperoleh pendapatan dari banyaknya uang yang berhasil dikumpulkan. Pengemudi dengan sistem kemitraan untuk memiliki armada “taksi yang mereka pegang”, hanya dibebankan menyetor harian dengan standar tertentu sesuai ketentuan kemitraan. Jika setoran mencapai target, maka kelebihan pendapatan menjadi hak mereka. Setelah selama enam tahun menjadi mitra atau pengemudi taksi Express, mereka bisa memiliki mobil yang dikemudikan hanya dengan membayar Rp 7,5 juta. Mobil yang masih dalam kondisi bagus tersebut, di pasaran laku terjual seharga Rp 60 juta sampai Rp 75 juta.

Model kemitraan taksi Express sudah kerap mendapat apresiasi di tingkat nasional hingga di tingkat Internasional. Tahun 2013, model kemitraan taksi Express yang memosisikan pengemudi sebagai partner bisnis memperoleh award dari  ajang Marketing Award 2013. Express Group menyabet dua kategori pemenang sekaligus, yaitu sebagai The Best Innovation in Marketing dan The Best in Social Marketing. Tahun 2008, model kemitraan taksi Express bahkan diapresiasi oleh badan PBB yang konsen di bidang pembangunan (UNDP). Menurut UNDP, model kemitraan taksi Express sangat efektif dalam mengentaskan kemiskinan.

Manfaat yang diberikan oleh model kemitraan taksi Express, telah dirasakan oleh ribuan pengemudi taksi Express, salah satunya Syamsudin. Seperti dikutip dari laman Kompas.com, dalam lima belas tahun bermitra dengan Express Group, Syamsudin telah membeli tiga unit mobil dari manajemen Express Group dengan mengikuti program kemitraan selama tiga kali berturut turut.

Setelah membeli unit mobil melalui skema kemitraan, Syamsudin lalu menjual unit yang dia dapatkan dan uang hasilnya digunakan sebagai modal untuk membuka warung kelontong. Saat ini, dengan kondisi ekonomi yang sejahtera, dia bisa menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang universitas. Padahal awalnya, Syamsudin memulai kemitraan dengan Express Group dalam kesulitan ekonomi karena tidak memiliki pekerjaan tetap.

Di tengah gelombang semangat pasar Indonesia yang gemar pada model social entrepreneur atau bisnis berbasis misi sosial, model kemitraan bisa menjadi kekuatan brand taksi Express. Taksi yang telah melakukan ekspansi di berbagai kota besar Indonesia ini, dapat dengan mudah menarik penumpang dengan menonjolkan misi sosial yang diemban. Apalagi, manfaat yang diberikan oleh model kemitraan taksi Express telah terbukti dirasakan oleh mitra/para pengemudi. Taksi Express yang pada tahun 2012 tercatat memiliki nilai aset perusahaan sebesar Rp 1,2 triliun, dapat menjadikan model social entrepreneur kemitraan dengan pengemudi, sebagai kendaraan untuk terus melaju menjadi market leader taksi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun