[caption id="attachment_355095" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.web.id)"][/caption]
Sebagai orang yang hobi menulis dan dinamis. Saya selalu memimpikan untuk mendirikan sebuah lembaga yang bisa mengalahkan Kompas Gramedia, Tempo Group dan juga CSIS. Terus terang saya iri dengan keberhasilan dan kebesaran mereka. Sepertinya Indonesia ada dalam genggaman mereka. Hal ini bukan karena saya dengki atau pikiran negative kepada mereka. Tapi Raksasa media dan thing tank ini sungguh tak tertandingi untuk saat ini. Mereka jaya dan berwibawa.
Di sisi lain media dan apalagi situs pemberitaan Islam kurang bisa diandalkan. Persis seperti kata Eva Kusuma Sundari, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menuding situs-situs Islam lebih berbahaya daripada pornografi. "Karena berdampak pada kerusakan jiwa para generasi muda," kata anggota Komisi III DPR dalam rilisnya.
Ia mendesak Menkominfo untuk memblokir situs-situs Islam pro-jihad seperti Al Busroh.com, millahibrahim.wordpress.com, Millahibrahim.com, Arrahmah.com, VOA-voice of al-islam, jihad.com, dan tauhid wal jihad. Ia mengatakan, situs-situs tersebut sudah meresahkan masyarakat dan aktivis-aktivis anti-kekerasan karena mengajarkan radikalisme.
Desakan ini, menyusul insiden bom panci di Mapolsek Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia menduga, pelaku mendapat ide dari situs Inspire Magazine Alqaida, yang mengajarkan pembuatan bom panci pakai pressure cooker. "Hal yang juga telah menginspirasi pelaku bom Boston marathon," tuding Eva yang anggota Kehormatan Waria ini.
Memang die era informasi ini terjadi ledakan informasi. Orang dengan sosmed yang dimiliknya tinggal mengklik tombol share saja, maka dia sudah bisa meledakkan informasi tadi. Seperti dalam Pemilu Pilpres kemarin, kedua Capres ditelanjangi, dikuliti dan dibully rame-rame. Tak hanya melalui kata-kata tapi juga lewat photoshop. Awalnya kreatif, tapi seterusnya mejadi pelecehan; Seperti gambar Jokow memakai baret merah dengan tampang bloon (Maaf). Prabowo juga dihabisi masa lalunya ketika masih menjabat sebagai Danjen Kopassus, terkait penculikan aktivis.
Begitu massif, sehingga aparat pun sulit untuk menindak. Karena tidak ingin juga menjadi salah sasaran atau menjadi blunder. Jadinya kita tidak tahu mana yang benar dan salah. Karena masing-masing punya pasukan cyber, baik itu laskar cyber Prabowo maupun Jasmev nya Jokowi.
Menurut A.M Hoeta Soehoet komunikasi adalah "suatu ilmu yang mempelajari usaha manusia dalam menyampaikan isi pernyataan kepada manusia lain". Dalam menyampaikan komunikasi dia berdasarkan motif. Motif adalah sesuatu yang terkandung dalam hati manusia. Manusia menyampaikan motifnya itu berdasarkan filsafat hidupnya, yakni sesuatu yang agung yang kalau diwujudkan dia yakin akan bahagia.
Di media motif ini tertuang dalam Policy Redaksional. Jadi sebenarnya tidak ada media yang tidak berpihak. Independen disini maksudnya dia bebas menyuarakan kebenaran yang dia yakini. Seperti Jakarta Post yang terang-terangan mendukung Jokowi-JK. The Jakarta Post menuangkan sikap itu dalam tajuk berjudul “Endorsing Jokowi”, Jumat (4/7).
“Itu keputusan berat,” ujar Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat, Jumat (4/7). Dia mengatakan, keputusan itu bukan hal mudah karena tradisi pers di Indonesia selama 40 tahun terakhir belum pernah seperti itu. The Jakarta Post memandang pemilihan presiden kali ini berbeda. Pilpres sebelumnya diikuti lebih dari dua pasangan. Kali ini, Pilpres 2014 diikuti dua pasangan.
Dimas mengatakan, The Jakarta Post memahami capres-cawapres memiliki plus dan minus. Namun, The Jakarta Post memiliki nilai, landasan, dan perspektif untuk mengarahkan dukungan ke Jokowi-JK. Menurut Dimas, ada empat pertimbangan, yaitu pluralisme, persoalan HAM, penguatan masyarakat sipil, dan menjaga semangat reformasi. “Kami menilai calon nomor satu kurang dalam semua poin,” kata dia.
Kendati memberikan dukungan, Dimas menjamin pemberitaan The Jakarta Post berimbang antara dua pasangan capres-cawapres. The Jakarta Post memisahkan antara berita dan opini dan tetap menyiarkan kegiatan Prabowo selaku pesaing Jokowi. “Tajuk adalah sikap kami,” ujarnya.
Anda percaya?
The Jakarta Post yang didirikan pada 1983 terafiliasi dengan Kompas Gramedia Group yang menerbitkan Kompas dan koran ekonomi Kontan. The Jakarta Post bukan satu-satunya media yang memublikasikan dukungan Jokowi-JK. Majalah mingguan asal Inggris, The Economist, juga menyiratkan dukungan untuk pasangan nomor urut dua tersebut. Dalam tulisan opini berjudul “Competing Visions”, The Economist menyatakan, seorang politikus yang naif memberi harapan lebih besar bagi masa depan Indonesia daripada seorang jenderal era Soeharto.
Anggota Dewan Pers Nezar Patria mengatakan, dukungan The Jakarta Post kepada Jokowi-JK merupakan kebijakan redaksi. Dari sudut jurnalis tik, netralitas tidak berarti media massa tidak berpihak. Tapi, kata dia, independensi warta wan me liput peristiwa harus dijaga.
Tapi bagaimana dengan pemberitaan TV One VS Metro TV? Program Manager Yayasan Satu Dunia, Anwari Natari mengakan Pemerintah Indonesia harus mengatur konglomerasi kepemilikan media massa usai Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. "Pemerintah harus bertindak tegas dalam mengatur kepemilikan media setelah Pilpres 2014, jika tidak ingin pilar demokrasi ke-4 itu roboh," katanya dalam siaran pers yang diterima Antara di Palangka Raya, Senin (11/8).
Ia mengatakan bahwa Pilpres 9 Juli 2014 telah membuka mata semua orang mengenai betapa carut-marutnya pengelolaan media massa di negeri ini. "Akibatnya, publik tidak mendapatkan informasi yang benar sebagai bekal mengambil keputusan untuk menentukan pilihan," ucapnya.
Aksi media-media partisan, ungkap Anwari, tidak hanya tercermin dalam pemberitaan, namun juga dalam prioritas belanja iklan capres di media massa sehingga media-media massa partisan tanpa malu-malu lagi mempublikasikan berita-berita yang menguntungkan salah satu capres tertentu saja.
Program Yayasan Satu Dunia ini adalah lembaga yang memantau baik media cetak maupun elektronik di lima kota yaitu DKI Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, dan Banjarmasin. Tujuannya adalah membantu upaya-upaya analisis, kritik, dan pemantauan terhadap perilaku beriklan para capres, terutama melalui pengamatan terhadap belanja iklan capres di media massa.
Sambil terus mengamati, saya ingin melihat, bagaimana pemberitaan Kompas, Tempo dan Jakarta Post selanjutnya. Apakah ketika Jokowi berkuasa liputan investigasi mereka masih sebagus dulu. Apakah pena kritik mereka tidak tumpul?
Penulis berkeyakinan media itu seharusnya diluar kekuasaan dan berdiri sejajar dengan pilar demokrasi lainnya. Ketika dia masuk berarti dia sudah berada diketiak kekuasaan. Bukankah anjing akan setia kepada orang yang rajin memberinya makanan?
Tapi bagi penulis sendiri ini adalah peluang untuk membuat sebuah media alternative baru. Karena rakyat pasti mencari second opinion. Jadi doanya sekarang semoga, lekas terwujud media Islam yang jaya dan berwibawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H