Mohon tunggu...
Safinatun Naja Akaleva
Safinatun Naja Akaleva Mohon Tunggu... -

Lahir di Ukraina, tapi tanah airku Indonesia. Mahasiswa Tingkat Akhir, Suka Menulis Tentang Apa Saja. Mari Belajar Tentang Banyak Hal, Jangan Batasi Ilmu di Ruang Sempit Fakultas.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Inilah Inovasi dalam Rivalitas Taksi Express vs Blue Bird

20 Januari 2015   15:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:46 9001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14217171091015446853

[caption id="attachment_391952" align="alignnone" width="974" caption="Contoh testimoni pengguna Epress yang bisa menjadi WOM setelah merasakan manfaat marketing yang membumi/dok.pribadi"][/caption]

Alhamdulillah, artikel saya sebelumnya yang berjudul Terungkap! Strategi Taksi Express Kalahkan Blue Birdmendapat apresiasi tinggi. Tak hanya dari rekan-rekan Kompasioner yang terhormat, namun juga apresiasi dari admin Kompasiana yang menempatkan artikel tersebut tayang di kanal Headline. Sebuah kehormatan dan kepercayaan. Thanks for the appreciation.

Menyambung artikel tersebut, yang membahas bagaimana sebuah merek yang cenderung baru di pasaran bisa melesat ke posisi teratas, mengejar atau bahkan mengalahkan penguasa pasar yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini, menyontoh persaingan ketat antara Express dan Blue Bird. Tentang strategi down to earth yang dilakukan Express sehingga lekat di benak pelanggan.

Berdasarkan penelusuran saya seminggu terakhir, tentu saja disertai dengan pengalaman menggunakan kedua armada taksi, selain menerapkan tarif yang lebih murah namun layanan berkelas, Express juga memberikan kemudahan bagi pelanggan dalam melakukan order.

Kita ketahui, saat ini sudah sangat banyak aplikasi untuk order taksi yang dikeluarkan oleh pihak ketiga dan bisa diunduh di smartphone. Misalnya EasyTaxi, GrabTaxi, Ubertaxi, dll. Selain aplikasi-aplikasi tersebut, setiap operator taksi juga telah merilis aplikasi tersendiri. Namun, yang membedakan antara aplikasi dari pihak ketiga dan aplikasi dari si perusahaan taksi, adalah soal adanya pembayaran minimal (minimum payment).

Blue Bird biasanya memberlakukan tarif Rp 40.000 untuk layanan order taxi, baik order by phone maupun order menggunakan aplikasi Blue Bird Taxi Reservation. Di taksi Express, juga ada minimum payment tapi lebih murah, yakni hanya Rp 25.000. Perbedaan lain yang cukup signifikan dalam order taksi adalah soal penggunaan aplikasi pihak ketiga. Menurut cerita seorang sopir taksi, di Blue Bird, para sopir tak dibenarkan menggunakan aplikasi semacam EasyTaxi, GrabTaxi atau UberTaxi. Bila ada sopir Blue Bird yang ketahuan menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut, maka akan dikenakan sanksi oleh pihak perusahaan.

Pelarangan tersebut oleh pihak Blue Bird, kabarnya untuk mencegah hilangnya potensi pendapatan perusahaan. Perusahaan mewajibkan para pengemudinya hanya menggunakan aplikasi yang khusus dikeluarkan perusahaan sebab dengan demikian, bisa memperoleh minimum payment Rp 40.000. akibatnya, tentu saja penumpang yang “dirugikan”. Jika menempuh jarak dekat, harus dikenakan pembayaran minimal Rp 40.000.

Berbeda dengan Blue Bird, Express lebih membebaskan para pengemudinya dalam berinovasi, termasuk bebas menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut untuk mencari penumpang. Penumpang pun enjoy, sebab tak dikenakan minimum payment ketika mengorder taksi menggunakan aplikasi pihak ketiga. Bahkan, justru kadang-kadang malah dapat diskon.

Misalnya setiap pertama kali menggunakan Grab Taksi, maka penumpang mendapat potongan Rp 15.000. Bulan November kemarin, Easy Taxi menggelar promo potongan Rp 30.000 jika mengorder taksi menggunakan aplikasi tersebut. Saya termasuk pernah menikmati promo EasyTaxi yang ditawarkan langsung oleh Pak Windra, sopir Express yang sangat ramah. Hehe. Sebagai penumpang, tentu saja saya sangat senang. Diuntungkan menggunakan armada taksi seperti Express yang bisa diorder dengan menggunakan aplikasi dari pihak ketiga tanpa ada pembayaran minimal.

Kembali ke soal kompetisi pada implementasi model marketing, dalam contoh harga serta servis order taksi, bisa ditebak, konsumen tentu memilih memesan taksi Express ketimbang Blue Bird. Sebab dari sisi harga dan layanan, Express lebih murah dan mudah. Dalam studi perilaku konsumen (consumer behavior) harga dan layanan merupakan variabel utama dalam neraca benefit memandu konsumen untuk mengambil keptusan pembelian.

Dibandingkan dengan consumer goods yang umumnya menonjolkan marketing artifisial seperti membangun citra menggunakan endorser dan bintang iklan dari kalangan selebriti, metoda pemasaran yang esensial yang manfaatnya langsung dirasakan oleh konsumen seperti yang dilakukan oleh Express, tentu saja lebih efektif. Bahkan bisa menjadi viral melalui word of mouth (WOM). Kicauan konsumen yang menikmati kepuasan, dengan mduah tersebar di jejaring sosial. WOM merupakan bentuk marketing paling otentik, karena mengandalkan keikhlasan konsumen berdasarkan pengalaman mereka. Multiple effect berkah pemasaran yang diraup WOM, bakal lebih berlipat ganda lagi.

Bila mekanisme pemasaran WOM telah bekerja, sebuah brand biasanya akan konsisten terus menanjak. Kekuatan WOM tak terbendung, ampuh hantarkan sebuah mereka menempati relung hati terdalam para konsumen. WOM merupakan teknik pemasaran yang klasik, namun hingga saat ini WOM belum memiliki padanan soal kekuatan dalam meraup konsumen yang loyal dan dengan ikhlas menjadi “relawan” pemasar-pemasar baru, yang bantu iklankan produk yang digunakan.

Apalagi teknologi informasi kian maju. Seorang konsumen yang merasakan manfaat sebuah produk, dalam sekejap bisa menjadi pemasar WOM dengan berkicau di twitter atau memajang di akun instagram foto produk yang memberinya kepuasan.

Bagi masyarakat, WOM lebih dipercaya. WOM berdampak lebih kuat katimbang mendengarkan celotehan bintang iklan yang telah “dibayar untuk berbicara tentang kebaikan sebuah produk”. Bahkan, kerap kali kualitas aktual produk yang diiklankan jauh di bawah harapan indah yang ditebarkan lewat jaring citra iklan di media. Bila sudah demikian, bukannyameraup banyak pelanggan, produk yang diiklankan menggunakan jasa public figure malah semakin tak diminati dan dicap sebagai produk muslihat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun