[caption id="attachment_229523" align="alignright" width="223" caption="teh manis"][/caption] Sore itu aku berkunjung ke rumahnya, rumah petaknya yang cuma berukuran 3 m x 3 m. Disinilah dia melakukan semua. Makan, tidur, masak, dan lainnya. Dia menyajikan secangkir teh manis untukku. "Untuk tamu", dia berujar sambil tersenyum. "Maturnuwun mbak", balasku Tiba-tiba anaknya merengek. 'Bu, Mau Teh...." "Hush..Wis ga usah dek!", ujar dia sambil meletakkan jari telunjuknya di bibirnya. Tangis anaknya semakin menjadi. "Bu, mau teh,,," "Nanti aja ya dek...", balas dia ke anaknya. Aku tak mengerti, mengapa untuk teh saja dia tak memberikannya kepada anaknya. "Mbak, dibikinin aja toh..wong cuma teh manis aja. Eh dek, minum teh manis punya mbak aja..", tawarku kepada anaknya. "Ga usah mbak, lha wong saya bikinin buat mbak kok. Kan mbak tamu...", timpalnya sambil tersenyum. Tangis anaknya semakin menjadi. "Ibu, mau teh....", sambil meraung. Diajaknya sang anak ke pojok rumah.Seraya berbisik, tapi terdengar juga olehku. "Nanti aja ya dek Ibu bikinin, jangan nangis. Malu. Ibu ndak punya gula lagi. Nanti ibu utangin gula ke warung sebelah", bisik dia sambil mengelus rambut anaknya. Mendengar kata-kata itu aku tertegun. Tak terasa airmata ini menetes. Dia kembali duduk di dekatku. "Maaf mbak, si Adek rewel", dia tetap terenyum. Aku terdiam, melihatnya berusaha tetap tersenyum manis, untuk secangkir teh manis yang tak mampu dia buat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H