“Ikan sepat ikan gabus, makin cepat makin bagus”
Itulah pantun yang diutarakan oleh bapak penceramah hari ini dengan logat melayu pontianak yang khas untuk mewakili ajakan untuk menyegerakan buka puasa. Entah kebetulan atau tidak, selama empat hari berturut-turut setiap ada kultum ba’da shalat isya menuju ke shalat tarawih, penceramah di masjid ini yakni Masjid Mujahiddin Pontianak ini selalu menggunakan pantun-pantun sebagai selingan dalam tausiahnya. Pantun-pantun yang diucapkan tersebut tentu saja mempunyai konteks dakwah di dalamnya.
Selama saya di Pontianak, saya mendapati pantun merupakan”media”yang digunakan dalam berbagai kesempatan baik resmi atau tidak. Contohnya saja dalam acara yang pernah diselenggarkan kantor saya, sang pembawa acara sering mengucapkan pantun untuk menyelingi acara. Pantun juga mengisi celotehan-celotehan penyiar radio di Pontianak, selain itu terdapat juga radio yang menyelenggarakan acara pantun secara khusus.
Menarik menurut saya melihat kenyataan bahwa budaya masih melekat kuat di dalam keseharian masyarakat khususnya di Pontianak. Pantun dengan logat khas, malah membuat suatu acara cukup menarik bagi saya. Tak perlu jadi sok-sok bule yang “maksa” agar tampak moderen dan gaul tapi jadinya yang keluar bukan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, melainkan bahasa aneh yang dibikin-bikin sendiri. Pengakuan masyarakat dan rasa kepemilikan terhadap budaya sendiri seperti yang saya lihat di masyarakat Pontianak merupakan suatu sisi positif dalam upaya pelestarian budaya bangsa.
Sayangnya, tak semua masyarakat masih beranggapan demikian. Lihat saja faktanya, orang dengan logat jawa, madura, ataupun bahasa ngapak yang kental saat ini masih ditertawakan dan dianggap sebagai kelucuan dan suatu kesalahan yang dipertontonkan pada acara lawakan di media. Anak muda sekarang pun berlomba-lomba menghilangkan logat daerah masing-masing agar tidak dibilang kampungan dan berlomba-lomba berbahasa dengan menggunakan bahasa asing adopsi yang dimodifikasi sendiri. Hal ini sama saja berarti malu mengakui identitas sendiri, dan apakah ini berarti malu menjadi warga negara Indonesia???
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI