Mohon tunggu...
SN W
SN W Mohon Tunggu... Penjahit - Biasa saja

Kejujuran itu penting walau kadang menjadi bumerang buat kita

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cintaku, Nodamu (2)

11 Oktober 2014   03:01 Diperbarui: 20 Oktober 2019   19:30 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku duduk di pinggir kolam sambil pandanganku tertuju jauh ke depan. Di seberang kolam lewat jendela yang terbuat dari kaca aku bisa melihat Ibu Meike tengah tertidur pulas di kamarnya. Kamarnya bersebelahan dengan kolam renang jadi aku bisa mengawasinya dari sini. Air kolam yang tenang jadi beriak tatkala aku mencelupkan kakiku ke dalam. Aku memajukan wajahku sedikit ke depan mencoba bercermin dalam air. 

Kembali aku menarik napas berat. Rambutku yang dulu sering kugerai kini kuikat ke belakang sedikit berantakan. Aku seperti tidak mempunyai semangat hidup. Kalau bukan karena bunda dan Airin, aku tidak akan bisa bertahan dengan pekerjaanku kini. Wajah almarhum ayah tiba-tiba berkelebat di pelupuk mataku. Ayahku yang terkasih, mengapa engkau begitu cepat pergi, batinku sedih.

Kembali terbayang masa-masa indah saat ayahku masih hidup. Ayah sangat memanjakan aku dan adikku, Airin. Masih jelas dalam ingatanku kenangan manis kebersamaan kami. Sampai suatu hari Airin meneleponku.

 “Pulang, Kak. Ayah sudah meninggal.” Begitu suara Airin di seberang ketika itu yang membuat badanku lemas seketika. Mataku basah. Hampir saja aku terkulai kalau saja Airin tidak menambahkan,” Bunda pingsan!’’ suaranya tersedu keras. Dua kata itu membuatku tersentak. Aku harus kuat. Aku tidak boleh pingsan di sini. Bundaku sangat rapuh. Sebagai anak sulung aku harus tegar.

“Daniar...kamu menangis?” Suara Pak Karim yang tiba-tiba membuatku tersentak. Bayangan ayah, bunda dan Airin langsung terbang seketika. Lelaki tua itu menyentuh kepalaku. Kuseka air mataku, mencoba tersenyum. Aku menoleh ke belakang. Tapi sekilas aku seperti melihat seseorang di balik jendela kaca dalam kamar Ibu Meike. Aku segera berdiri berlari masuk lewat pintu kaca yang menembus ruang keluarga menuju kamar Ibu Meike. Pak Karim memanggil namaku, tapi aku hanya mengangkat tanganku memberi kode bahwa aku akan segera kembali.

Sosok itu memang ada. Tengah duduk membelakangiku sedang mengamati Ibu Meike yang sedang pulas. Jantungku berdegup kencang. 

“Ss...ssiapa kamu?” Dengan suara pelan aku coba memberanikan diri bertanya. Sosok itu menoleh. Menatapku tajam tanpa ekspresi. Aku langsung tersadar. Wajah itu mirip dengan foto yang ada di atas meja kecil samping ranjangnya Ibu Meike. Randu! Hatiku langsung ciut. Dialah adik mbak Widya.

“Kamu siapa?” Randu balik bertanya tanpa menghiraukan pertanyaanku.

“Aku yang merawat....,” mataku tertuju pada tubuh Ibu Meike. Namun sebelum aku melengkapi kalimatku Randu sudah menyela sinis,

“Pembantu baru?”

Aku menelan ludah. Randu berdiri. Diperhatikannya aku dari kaki sampai kepala sama seperti kakaknya dulu, bedanya tatapannya terasa sinis sekali. Harga diriku muncul tiba-tiba.

“Ada yang salah?” Aku balik menatapnya. Randu memicingkan matanya. Ada kilat marah di sana. Hatiku gentar, namun entah mengapa mataku tetap menantangnya. “Jangan bikin ribut di sini. Nanti Ibu bangun.” Aku segera berbalik hendak keluar. Randu menarik lenganku. Dicengkeramnya dengan kuat. Aku meringis. Hampir saja aku berteriak kalau tidak kuingat mamanya yang tengah tertidur. Randu melepaskan cengkeramannya.

“Keluar kamu! Pembantu saja berlagak. Kamu jangan macam-macam sama aku ya....!”

Aku segera keluar. Dadaku bergejolak. Entah karena takut atau karena marah. Aku hanya dapat berdiri mematung di depan pintu kamar. 

“Nak Daniar....!” Pak Karim tiba-tiba sudah ada di dekatku. Tatapan lembut dari lelaki tua itu membuat pertahananku jebol. Air mataku mengalir begitu derasnya. Pak Karim menarik tanganku ke dapur. Diambilnya segelas air lalu diberikannya padaku. Aku menerimanya tapi air mataku tidak berhenti mengalir.

“Istirahatlah di kamar! Nanti kalau ibu bangun, Bapak panggil kamu.”

Aku mengikuti saran Pak Karim. Tapi di kamar aku tidak bisa tidur karena sebentar lagi waktunya Ibu Meike minum obat. Tapi sebelumnya beliau harus makan dulu. Dan sekarang waktunya makan. Duh, bagaimana ini? Handphone-ku berdering. Kulirik benda mungil itu. Bunda! Segera kusambar hp-ku.

“Assalaamu Alaikum, bunda!” 

“Wa alaikum salaam. Bagaimana keadaanmu, nak?” Suara bunda di seberang membuat hatiku terasa sejuk.

“Baik, bunda. Bunda bagaimana? Bunda sudah sembuh?”

“Ya. Maafkan bunda ya karena belum bisa kirim kamu uang.”

“Tidak apa-apa, bunda. Simpanan saya masih cukup,” jawabku berbohong. O ya, mulai sekarang bunda tidak usah kirim saya uang lagi. Saya sekarang sudah kerja. Gantian nanti saya yang kirimi bunda dan Airin. Tidak banyak sih tapi sekedar tambah-tambah saja.”

“Betul? Kamu sudah kerja?” bunda bertanya seperti tidak percaya.

“Ya, bunda.”

Tidak ada suara beberapa saat.

“Hallo! Bunda!” Aku mencoba memanggil.

“Ya. Kamu kerja di mana? Memang ada perusahaan yang mau terima pegawai yang belum rampung kuliahnya? Kamu tidak berhenti kuliah, kan?” tanya bunda dengan nada cemas.

“Tidak, , “ jawabku berbohong lagi. “Tenang saja bunda. Saya tidak akan mengecewakan bunda.”

“Baiklah. Jaga kesehatanmu, ya!”

“Ya, bunda.”

Bunda menutup teleponnya. Aku tersenyum senang. Kutarik napas lega. Perlahan kubaringkan tubuhku ke ranjang. Tapi mendadak aku terlonjak bangun saat melihat Randu sudah berdiri di depan pintu kamarku dengan tangan terlipat di depan dada. Matanya lurus menatapku tajam. Tanpa ekspresi dia mendekat ke arahku. Lalu matanya berkeliling ke semua sudut ruangan.

“Ck...ck...ck...., bagus juga fasilitas yang kamu dapatkan,” katanya sinis sambil mendekati laptopku. Disentuhnya benda itu dengan ujung telunjuknya. Lalu meja belajarku dan kursi. Mulutku terasa kaku, tapi hatiku memanas. Kuakui memang, mbak Widya memberikanku kamar yang cukup luas di lantai dua lengkap dengan isinya, terkecuali laptop dan printer. Kedua benda itu adalah milikku. Tapi dengan syarat yang cukup tegas bahwa aku harus merawat ibunya dengan sangat baik. 

Aku terkesiap saat tangan Randu menyentuh ranjang dengan perlahan sambil kepalanya menggeleng sinis. Aku berdiri melangkah mundur ke arah pintu bersiap untuk lari. Randu tertawa mengejek.

“Jangan takut, Bi. Aku tidak akan berbuat sesuatu yang merendahkan harga diriku dengan seorang pembantu.”

Dadaku hampir meledak mendengar kata-katanya. Namun ada sedikit kelegaan. Artinya bayangan buruk yang selalu hadir di kepalaku sejak masuk rumah ini tidak akan terjadi. Randu berlalu meninggalkan aku yang termangu penuh gejolak.

 * * *

Sudah dua minggu berlalu. Hari ini aku harus menemui dosen pembimbingku. Setelah beberapa hari mempersiapkan mental dan hatiku dalam menghadapi kenyataan ini, kini aku siap ke kampus. 

Seperti biasa setelah memandikan Ibu Meike dan membantunya berdandan aku mengajaknya berkeliling di kebun belakang dengan kursi rodanya, berjemur di hangatnya mentari pagi. Tampak raut wajahnya senang sekali. 

“Euuugggg.....,” Ibu Meike mencoba berbicara. Aku berhenti melangkah. Untuk pertama kali aku mendengar suaranya.

“Ibu...,” aku mencoba menangkap arti suaranya. Aku berlutut di hadapannya. Kugenggam tangannya. Aku merasa sedikit ada gerakan pada jarinya. Kami saling bertatapan. “Mengapa Bu?” tanyaku lagi. Kali ini Ibu Meike menatap pakaian yang kukenakan. Oo aku mengerti kini. 

“Bu, hari ini saya izin dulu sebentar ke kampus. Tidak lama kok. Boleh kan, Bu? Saya ingin bertemu dengan dosen pembimbingku.”

“Euuuuggggh.....ghhh....,” Ibu Meike mengerjapkan matanya. Dari sinar matanya aku tahu wanita tua itu tidak keberatan. Akupun mengucapkan terima kasih. Lalu kutuntun beliau kembali ke kamarnya. Setelah menyelimutinya akupun berangkat ke kampus.

Menginjakkan kakiku kembali di kampus membuat hatiku gembira, meski ada sesuatu yang terganjal dalam hatiku. Itu membuat kakiku sedikit enggan untuk melangkah. Namun bayangan aku diwisuda membuatku kembali bersemangat.

“Hei, Niar. Baru muncul! Ke mana saja selama ini?” Toni yang baru turun dari motornya menyapa. Aku tersenyum lalu menjawab,” Biasalah kangen sama bunda.”

“Kudengar bunda kamu sakit lagi ya?” tanya Toni sambil mengiringi langkahku.

“Sudah baikan kok. Pasti Rina yang memberitahu ya?”

“Eh tuh orangnya. Baru saja disebut namanya.” Toni menunjuk ke arah Rina dan Wati yang tengah berjalan mendekat.

“Kamu ganti nomor hp-mu ya, Niar?” tanya Rina.

“Tidak,” jawabku bohong. Padahal memang aku mengganti nomor hpku. Tidak ada yang tahu, terkecuali bunda, Airin, mbak Widya dan Pak Karim.

“Lalu kenapa kamu susah dihubungi?” Rina seperti tidak percaya. “Biasanya juga kamu sering hubungi aku.”

“Bagaimana mau hubungi kalau signalnya jelek,” jawabku lagi. 

Rina menatapku lekat. Toni dan Wati pamit karena Pak Alex yang merupakan dosen pembimbing mereka sudah keluar dari ruangan kuliah. Mereka mengejar Pak Alex yang sedang berjalan ke gedung rektorat.

“Bagaimana skripsimu?” Tanya Rina.

“Belum.”

“Kamu kenapa? Ada masalah?” Rina menatapku penuh selidik. Aku tertawa sambil memasang wajah lucu. Sebisa mungkin aku berusaha menyembunyikan masalahku. Bukan apa-apa. Rina memang sahabatku. Tapi kadang dia suka keceplosan bicara. Namun aku khawatir, cepat atau lambat Rina akan tahu karena aku sudah tidak tinggal lagi di tempat kos.

“Skripsimu sudah selesai?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Belum juga. Aku sekarang masih pontang panting cari bahan untuk melengkapi dataku. Seminggu lalu skripsiku dikoreksi habis-habisan sama Pak Haris. Sekarang aku mau bawa lagi perbaikannya. Mudah-mudahan bisa lolos.”

Aku manggut-manggut, lega. Rina disibukkan dengan skripsinya jadi dia tidak akan mengusikku dalam waktu dekat ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun