Sepeninggal Rina aku menangis dalam kamar. Berita yang kudengar sungguh membuat hatiku merasa sedih sekali. Aku ingat Randu. Meski dulu aku sering dibuatnya menangistapi aku merasakan kerinduan yang amat kuat pada lelaki itu. Aku merasa hatiku begitu nelangsa. Aku tidak pernah merasa seperti ini.
Aku cepat-cepat menyeka air mataku saat melihat Cinta masuk. Bocah itu ingin digendong lagi. Akhir-akhir ini Cinta selalu begitu. Cinta merebahkan kepalanya di bahuku setelah aku menggendongnya.
“Kita makan dulu yuk!” ajakku sambil menuju ke belakang. Di sana kulihat bunda sedang mengatur piring di meja makan. Aku membantunya dengan Cinta yang masih dalam gendongan. Aneh! Tidak biasanya bocah ini seperti ini. Mungkinkah karena Cinta rindu papanya?
“Kenapa sayang?” tanyaku ingin tahu. Cinta menggeleng lesu.
“Cinta tidak mau makan. Cinta mau bobo saja,” jawabnya pelan.
“Biar sedikit saja. Mama ambilkan ya?” pintaku dengan tatapan penuh kasih. Cinta melirikku lalu mengangguk lemah.
“Nah begitu baru anaknya mama.”
Lalu aku pun mulai menyuapi Cinta. Hanya beberapa suap, Cinta sudah minta berhenti. Dia ingin minum susu. Aku pun menurutinya. Dadaku serasa sesak melihat Cinta seperti itu. Untuk menghiburnya aku membacakan dongeng kesukaannya sebelum tidur. Bunda masuk tiba-tiba. Beliau mendekati Cinta lalu menyentuh dahinya.
“Tidak demam,” gumam bunda. Kenapa nak? Kok lesu begitu?” tanya bunda.
Cinta tidak menjawab. Dia hanya menatap aku dan Bunda bergantian dengan sorot mata sedih. Aku menjadi trenyuh. Kucium pipinya, keningnya, bibirnya, hidungnya.
“Mama sayang Cinta. Mama sayang Cinta....”
Berhasil! Aku melihat senyum tipis Cinta. Aku yakin dia merasa senang. Sesaat matanya memandang jauh ke langit kamar lalu terpejam. Aku pun memeluknya penuh sayang. Mama Janji Cinta, mama akan selalu menjaga dan menyayangimu selamanya, bisikku di hati.
Bunda berjalan keluar kamar. Aku menyusulnya kemudian setelah Cinta tertidur. Aku memberitahu bunda tentang mbak Widya dan mamanya. Bunda terkejut. Tampak matanya berkaca-kaca. Dan kali ini aku pun menangis. Mbak Widya pernah menjadi majikanku. Dan dia sangat baik sekali padaku. Aku tidak akan pernah bisa melupakan semua itu. Apalagi kini dengan kehadiran putrinya dalam hidupku.
***
Aku sedang membuat nasi goreng untuk bunda dan Cinta, Rina muncul tiba-tiba lewat pintu dapur.
“Bagi doong. Harumnya,” katanya sambil menarik napas dalam-dalam untuk mencium aroma nasi goreng. Aku tersenyum.
“Mau?” tawarku.
“Dengan senang hati,” katanya sembari tersenyum. Lalu diambilnya piring di atas rak tapi tiba-tiba dia berseru. “Tunggu ya! Ada yang saya lupa.” Rina segera berlari kembali ke messnya. Sepuluh menit kemudian dia kembali dengan membawa sekantong plastik berisi roti. “Untuk Cinta, mamanya dan neneknya,” katanya sambil tersenyum.
“Banyak sekali,” kataku, merasa tidak enak.
“Tenang saja. Masih ada dua kantong di mess. Semalam Om Farid datang. Dia baru tiba dari Makassar kemarin,” jelas Rina yang sontak membuat senyumku hilang. Untung Rina tidak melihat wajahku karena aku sedang membelakanginya.
“Cinta mana?”
“Masih tidur.”
“Hmm, Aku ingin main-main sebentar dengan dia sebelum ke lapangan. Rupanya masih tidur,” gumam Rina. Eh, ini untuk saya?” Rina bertanya saat melihatku mengisi piringnya dengan nasi goreng yang banyak. “Sudah...sudah, banyak sekali.” Rina menatap isi piringnya dengan mulut terbuka.
“Ini ikhlas atau marah?” tanyanya.
Aku tertawa pelan sambil membuat garnish di atas nasi gorengnya.
“Orang yang kerja di lapangan itu kan makannya harus banyak.”
“Tapi ini kan namanya ke...ter...la...lu...an,” katanya lagi membuatku terus tersenyum. “Ok deh kalau begitu. Trims ya!” Rina mencium pipiku senang lalu pamit.
menghilang di balik rimbunan pohon.
Sepeninggal Rina, aku memanggil bunda untuk sarapan. Tengah kami sarapan tiba-tiba ada sms masuk dari Rina.
Niar, trims ya nasi gorengnya. Untung kamu kasih banyak tadi. Banyak yang minat. Aku hampir tidak kebagian.
“Dari siapa?” tanya bunda
“Rina. Temanku waktu kuliah dulu.”
Bunda menatapku lekat. Tatapan yang sama saat aku membawa pulang Cinta dulu. Bunda menarik napas. Aku tahu bunda selalu memikirkan keadaanku.
“Niar...,” Bunda menghela napas sejenak. Aku mengangkat wajahku melihat bunda. “Tidakkah kamu berpikir untuk mencari pendamping hidupmu? Kamu tidak bisa seperti ini terus,” kata bunda memperingati.
Aku hanya diam mendengarkan. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Takut salah dan membuat bunda tambah sedih. Sebenarnya aku ingin bunda. Aku ingin sekali. Biar bagaimanapun aku membutuhkan seorang suami, batinku sedih. Tapi hatiku tidak bisa bergeming lagi untuk menerima kehadiran lelaki lain. Di samping karena adanya Cinta juga karena dia bunda. Tiba-tiba wajah Randu terbayang di pelupuk mataku. Aku menutup mataku mencoba mengibaskan bayangan lelaki itu.
“Niar....” Bunda menyentakku. Aku balik menatapnya. “Beberapa hari lalu Pak Yusran ke sini. Boleh dibilang Pak Yusran ingin melamarmu.”
“Apa, bunda?” Aku terkejut.
“Tidak semua laki-laki yang mau menikahimu dengan kondisimu yang seperti ini,” Bunda tambah menyerangku saat melihat penolakan dari sorot mataku.
“Pak Yusran orang yang baik. Istrinya sudah meninggal dua tahun lalu. Dan dia juga sangat menyayangi Cinta sejak kita ada di desa ini. Kamu juga tidak akan kekurangan apa pun jika menikah dengannya. Apa itu tidak cukup untuk menjadi pertimbanganmu?” tanya bunda lagi.
Aku gelagapan.
“Nanti Niar pikirkan, bunda. Tapi jangan mendesak,” jawabku gelisah.
“Baiklah. Pikirkanlah baik-baik. Kamu tidak akan menyesal jika menikah dengannya.”
Bunda meninggalkan aku yang termangu. Masih belum cukup, bunda. Aku tidak mencintainya, batinku di hati.
***
Cinta melipat rotinya menjadi dua dan menggigit bagian tengahnya yang empuk.
“Enak ya, ma,” puji Cinta sambil makan dengan lahap. Tadi aku membuatkan dia sarapan roti tawar yang dioles mentega, pemberian Rina tadi. Cinta meletakkan pinggiran roti yang kerasbegitu saja di atas piringnya. Lalu dia meminum susunya. Kemudian bersiap untuk pergi bermain.
“Eiit....mau kemana sayang, rotinya belum habis,” cegahku sambil mendudukkannya kembali di atas kursi.
“Cinta tidak suka pinggilnya,” jawabnya cemberut.
“Tidak boleh begitu sayang.”
“Untuk mama saja.” Cinta berusaha turun dari kursinya. Terpaksa aku hanya bisa membiarkannya pergi dengan hati geli. Dasar anak-anak. Tanpa merasa berdosa memberikan sisa makanannya pada mamanya. Pinggiran roti lagi yang sudah ada bekas gigitnya.
Aku sedang membersihkan meja saat Cinta masuk lagi.
“Ma, boleh kan Cinta main di sebelah!” pinta Cinta sambil menunjuk ke mess sebelah.
“Tidak boleh. Di sana bukan tempat main.”
“Tapi, ma. Katanya tante Rina tadi Cinta boleh main di sebelah.”
Aku menoleh keluar. Di mana anak ini ketemu Rina? Bukankah Rina sudah ke lapangan tadi? Yang dicari sedang berdiri di teras yang langsung tersenyum saat melihatku. Hp-ku tiba-tiba berbunyi. Ada sms masuk.
Boleh kan Cinta main di sini? Anak itu manis sekali waktu aku ajak katanya mau izin dulu sama mama. Kamu pernah melarangnya ya?
Aku lalu membalasnya.
Nanti mengganggu kalian yang lagi kerja.
Aku menunggu. Tidak ada balasan. Tapi baru saja aku meletakkan hp-ku di meja, mendadak Rina muncul.
“Aku jamin Cinta tidak bakalan bikin masalah. Iya kan Cinta?” Rina mengerdipkan matanya pada Cinta yang dibalas dengan anggukan.
“Boleh kan,ma?” rengek Cinta.
Aku terdiam sesaat sambil menatap keduanya.
“Baiklah. “Tapi tidak boleh nakal, ya!”
“Janji!” Cinta mengangkat sebelah tangannya. Aku dan Rina tersenyum.
Aku tidak pernah menyangka sejak hari itu Cinta jarang berada di rumah. Kadang kalau aku pulang dari mengajar, aku hanya mendapati bunda. Dari cerita Rina, teman-temannya suka dengan bocah itu, karena menghibur. Jadi walaupun tidak ada Rina di mess, bocah itu tetap punya teman.
Tapi belakangan ini aku dibuat resah karena tiap kali Cinta pulang ada saja yang dia bawa. Kadang coklat, kadang permen, atau kue. Tapi hari ini aku melihat dia pulang membawa sebuah pulpen. Pulpennya bagus sekali. Tidak mungkin Cinta dikasih pulpen
“Eh...punya siapa itu?” tanyaku gusar.
“Punya Om Ssst,” jawab Cinta
“Punya Om Ssst....?” Aku mengulang jawabannya sambil mengernyitkan keningku.
“Om siapa? Ayo kembalikan!” Aku berusaha mengambil pulpen itu dari tangan Cinta. Tapi bocah kecil itu menarik tangannya, menyembunyikan di belakangnya.
“Tidak mau. Bial saja Om ssst cari-cari tulisnya.”
Aku membelalak, tapi hatiku merasa geli. Oo..o, ssst itu nama orang ya. Aduuh siapa sih orangnya?
“Emang kenapa Om Ssst?” tanyaku menahan tawa. Cinta memasang muka cemberut. Pasti ada yang tidak disuka Cinta dari om yang bernama Ssst itu.
“Bagaimana kalau mama yang sembunyikan?” bujukku. Cinta menatapku lama, menimbang tawaranku.
“Bagaimana?” desakku sedikit panik. Cinta mengangguk sambil memberikan pulpen itu kepadaku.
Aku pun segera mengamankannya lalu mengirimkan Rina sms. Setelah pulang dari lapangan Rina segera menemuiku. Aku mengembalikan pulpen itu sambil menceritakan kejadiannya. Rina tertawa.
“Punya siapa pulpen itu?” tanyaku
“Om Farid.”
Aku tercekat.
“Sebenarnya, Niar. Om Farid tidak terlalu suka sama anak kecil. Dia kadang menegur Cinta dengan sst kalau dia merasa terusik,” jelas Rina yang membuatku terhenyak.
“Aku sudah bilang, nanti Cinta hanya menggangu saja,” kataku merasa tidak nyaman.
“Tenang saja...Om Farid tidak pernah marah kok. Malah aku sering dapati dia sedang memperhatikan Cinta diam-diam.”
Penjelasan Rina tidak mempengaruhiku. Aku sudah putuskan Cinta tidak akan kuizinkan lagi bermain di mess. Agar tidak membuat Rina tersinggung, akhirnya aku membawa Cinta ke sekolah tempatku mengajar. Sayangnya aku tidak bisa fokus, begitupun dengan murid-muridku.
Saat aku sedang menulis di papan, terdengar suara cekikikan di belakang, bersamaan dengan Cinta yang masuk menggiring seekor induk ayam beserta anak-anaknya. Aku menoleh. Dengan polosnya Cinta berkata,
“Ada anjing ma. Kami lali. Jadi Cinta bilang di sini saja.”
Gerr! Semua muridku tertawa. Aku hanya bisa tersenyum. Ah Cinta ada-ada saja.
Besoknya aku tidak lagi membawa Cinta ke sekolah tapi sebelum berangkat aku berpesan bahwa dia tidak boleh main di mess lagi. Kulihat bocah itu mengangguk kecewa. Sebenarnya aku kasihan. Tapi lebih baik begitu. Pulang dari mengajar aku mendapati bunda sedang berbaring dengan Cinta. Bunda memeluknya. Aku mendekat, dan bicara dengan memakai kode pada bunda apakah Cinta tidur? Dan bunda menjawab dengan menyentuh dahi Cinta memberitahuku kalau Cinta demam.
Aku terhenyak. Kudekati bocah itua. Cinta membuka matanya.
“Mama,” panggilnya dengan suara lemah. Kubelai kepalanya penuh sayang.
“Sejak kapan, bunda?”
“Tidak lama setelah kamu berangkat tadi.”
Aku terdiam. Kulirik jam dinding.
“Mama bawa ke dokter ya,” kataku pada Cinta yang hanya bisa menatapku lemah. Sementara bunda juga segera bersiap-siap.
(Bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI