Mohon tunggu...
SN W
SN W Mohon Tunggu... Penjahit - Biasa saja

Kejujuran itu penting walau kadang menjadi bumerang buat kita

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cintaku, Nodamu (15)

16 November 2014   17:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:41 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku menginjakkan kakiku di bandara Sultan HasanudinMakassar dengan Cinta dalam gendongan. Sejak berangkat tadi Cinta tidak mau dengan siapapun selain aku. Aku kini menyadari mungkin cinta merasa tidak enak badan lagi. Aku ingat beberapa hari yang lalu sebelum Cinta masuk rumah sakit dia selalu minta digendong. Ada rasa khawatir menjalar dalam dadaku. Aku berdoa dalam hati mudah-mudahan fisik Cinta tetap kuat sampai kami tiba di rumah sakit.

Sepanjang perjalanan tadi aku merasakan ketegangan yang terjadi antara Farid dan Randu. Sesekali kulihat keduanya tengah bertatapan tajam. Dalam pesawat tadi tempat dudukku sederet dengan Farid, dengan Cinta di antara kami. Sedang Rina duduk bersebelahan dengan Randu di deretan kursi seberang sebelah kanan Farid.

Aku merasa usaha Farid untuk mendekati Cinta sudah mulai tampak hasilnya. Tadi saat Farid mengenakan seatbelt ke tubuh Cinta sambil tersenyum, bocah itu diam saja sambil memperhatikan. Tidak ada penolakan.

Cinta kini telah tertidur pulas. Farid ingin ambil alih menggendongnya tapi aku menolak. Bukan apa-apa. Aku takut Cinta bangun tiba-tiba. Aku berpikir belum saatnya. Nanti saja kalau Cinta sudah terbiasa dekat dengan papanya.

Ada dua mobil yang menjemput kami. Aku, Farid dan Rina naik mobil yang satunya, sedangkan yang satunya Randu menyopir sendiri setelah menerima kunci kontak dari seseorang yang berlalu setelah pamit dengan membungkukkan sedikit badannya ke arah Randu. Mungkin dia adalah sopir Randu, pikirku. Mataku mengikuti tubuh Randu masuk ke dalam mobilnya.

Ah, Randu masih seperti dulu. Masih terlihat kekuatan pada sikapnya, pada perawakannya, dan pada wajahnya yang tampan. Tubuhnya yang tingggi tegap masih kelihatan bugar dan langsing.

Aku berbalik dan tak sengaja mataku bertabrakan dengan tatap Farid yang sudah membuka pintu mobil mempersilahkan aku masuk. Lelaki itu rupanya tengah memperhatikanku. Aku jadi salah tingkah. Dalam hati aku menggerutu perbuatanku tadi. Pesona Randutelah membuatku tersihir.

Setelah hampir satu jam melintas jalan beraspal, mobil kemudian berhenti pada sebuah rumah bergaya minimalis yang tidak begitu besar. Mobil Randu berhenti di belakangnya. Lelaki itu turun tergesa.

“Aku ingin bicara denganmu, berdua,” kata Randu ditujukan pada Farid. Aku dan Rina jadi tegang.

“Kalian berdua masuk,” tegas suara Farid kepadaku dengan Rina. Kami jadi Ragu. Tapi tiba-tiba Rina menarik tanganku menjauh setelah melihat tatapan om Farid yang tajam padanya. Sopir Farid yang juga sedang berdiri dekat, juga segera menjauh, menyeberang jalan lalu duduk di depan sebuah kios kecil

Rina menunjukkan kamar untuk aku dan Cinta. Setelah itu dia kembali ke ruang tamu mengintip dari sela gorden jendela. Aku meletakkan Cinta di tempat tidur lalu menyelimutinya kemudian segera menyusul. Aku ingin tahu apa yang terjadi. Wajah kami berdua masih tampak tegang.

Aku tidak tahu apa yang Farid dan Randu bicarakan. Tapi kelihatan jelas Randu sedang marah besar. Farid sesekali merunduk. Pandang mata Randu menyipit. Tangannya menunjuk-nunjuk muka Farid. Kedua lelaki yang berpostur sama tinggi itu tiba-tiba bersiap saling menyerang.Aku menahan napas. Namun kepalan tangan Farid tiba-tiba terbuka. Dia dalam posisi pasrah. Lelaki itu setengah menunduk ke samping sambil berbicara. Randu berangsur sedikit tenang, lalu lelaki itu menoleh ke rumah.

Setelah berbicara sebentar pada Farid, Randu kemudian bergegas masuk. Wajahnya yang masih marah mendapati aku dan Rina sedang berdiri terpaku di dekat pintu.

“Kemasi barang-barangmu,” perintahnya tiba-tiba padaku. Aku terkejut, demikian juga Rina. Karena aku tidak bergeming Randu langsung menarik tanganku menuju kamar. Randu mengambil tasku lalu menoleh pada Cinta yang sedang tertidur.

Tiba-tiba Randu menjatuhkan tas dari tangannya. Perlahan didekatinya bocah itu. Randu duduk di sampingnya. Lama Randu menatap wajah Cinta. Perlahan disibakkannya poni Cinta yang menutup dahinya. Randu mengerjap. Aku yakin lelaki itu merindukan mbak Widya.

Rasa haru tiba-tiba menyergapku. Sama seperti Randu aku juga merindukan wanita itu. Kehadiran Randu saat ini membuat kerinduanku semakin kuat. Tapi, sayang rasa itu hanya bisa tersimpan karena sosok mbak Widya kini telah tiada. Hanya tinggal Cinta sebagai kenangannya. Dan sekarang Cinta sakit, sama seperti mamanya dulu.

“Kita tidak boleh berlama-lama di sini. Cinta harus segera diperiksa.” Tiba-tiba Randu bicara. Farid yang sudah ada dengan Rina sejak tadi mendekat hendak menggendong Cinta, tapi saat itu Randu pun hendak melakukan hal yang sama. Suasana kembali tegang. Aku menengahi, dengan segera meraih tubuh Cinta.

Kini aku yang kebingungan setelah sampai di depan rumah. Ada dua mobil di depanku. Mobil mana yang akan kunaiki. Aku menahan napas. Aku tahu saat ini aku sedang diperhatikan. Perasaanku menyuruhku masuk ke mobil Farid. Aku tidak berani mengangkat wajahku, apalagi untuk menatap Randu.

Mobil kemudian mulai meluncur. Rina memegang tanganku, menatapku sambil tersenyum. Aku tahu Rina mencoba menenangkanku. Cinta bergerak dalam gendonganku. Wajahnya tampak pucat. Cinta membuka matanya. Perlahan dia menggumam sesuatu.

“Cinta...!” Aku berteriak panik. “Pak Cepat....Pak!” teriakku pada sopirnya Farid.

Kami semua panik. Cinta tampak lemas. Mobil kemudian melaju dengan kecepatan tinggi. Aku menangis. Aku sudah tak perduli lagi dengan kecepatan mobil saat ini. Cinta harus segera diselamatkan.

Tiba di rumah sakit, Farid langsung menggendong Cinta dan tergesa menemui petugas rumah sakit. Randu mengikutinya di belakang. Para petugas rumah sakit bertindak cepat. Tubuhku sempoyongan. Rina mendudukan aku di bangku panjang.

Aku marah dalam hatiku. Mengapa di saat-saat seperti ini tubuhku tidak bisa diajak kompromi. Mungkin selama Cinta sakit, tidurku kurang, makanku tidak teratur, dan asupan gizi kurang. Aku selalu merasa tidak kuat.

“Tunggu sebentar.” Rina berdiri melangkah ke arah Randu yang berjalan tergesa mendekati kami. Ternyata trombosit Cintaturun lagi. Kali ini Cinta memerlukan transfusi yang lebih dari biasanya.

Aku hendak berdiri tapi kepalaku terasa pusing. Aku merasa mual.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Randu dengan nada khawatir.

Aku mengangkat tanganku. “Tidak apa-apa..., kalian tolong liat Cinta,” kataku sambil memejamkan mata, berusaha menghilangkan rasa pusingku. Ya, Tuhan! Jangan Kau biarkan aku ambruk lagi. Aku ingin selalu di dekat Cinta, doaku di hati.

Tiba-tiba kurasakan lengan Randu merangkul bahuku dan jari-jarinya mencengkeram kuat. Lelaki itu mendudukkan aku kembali. Randu tidak beranjak dari sisiku. Aku membuka mataku. Tidak berani menoleh ke arahnya. Tapi di depanku Rina berdiri memperhatikan. Aku terhenyak. Bagai tersengat listrik aku berusaha melepaskan rangkulan Randu. Randu memang melepaskan rangkulannya tapi tidak beranjak.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Randu lagi. Aku mengangguk kuat. Sebisa mungkin aku berusaha menenangkan debaran jantungku.

Seorang perawat datang. Memapahku menuju sebuah ruangan dan membaringkanku di sana, lalu mengukur tensiku. Perawat itu menyuruhku harus beristirahat. Aku hanya bisa diam. Di saat seperti ini aku tidak bisa memikirkan diriku. Tubuh kecil Cinta yang tergolek lemah terus terbayang.

Seorang dokter datang, memeriksaku lalu menuliskan resep obat kemudian diberikannya pada Randu. Farid tiba-tiba datang memanggil Randu. Kedua lelaki itu kemudian berbicara serius lalu bergegas meninggalkan kami. Tapi sebelumnya dia menyerahkan resep dari dokter tadi kepada Rina lalu menatapku sesaat.

“Apa yang terjadi?” tanyaku pada Rina. “Aku harus ke sana.”

Rina mencegahku. “Tenang, Niar! Ada papa dan omnya. Kamu kini tidak perlu terlalu khawatir,” katanya pelan. Aku tahu dari nada suaranya Rina kurang yakin. Tapi sayang, rasa pusingku membuatku tak berdaya.

“Kau yang menghubunginya?” tanyaku lirih.

“Siapa?” Rina agak bingung sejenak. “Oo kak Randu?” Sambungnya kemudian. Aku mengiyakan. Rina terdiam. Tak perlu menjawab. Dari rautnya aku sudah tahu.

Aku ingin menyalahkannya, tapi rasanya tidak pantas. Randu berhak tahu. Semuanya sudah terlanjur terkuak. Dan saat ini kondisi Cinta yang lebih diutamakan. Aku tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi tak urung rasa gelisah kembali menyergapku. Aku takut Cinta akan direbut dari sisiku.

“Istirahatlah, Niar! Demi Cinta. Kamu harus kuat. Bagaimana bisa kamu menjaga Cinta kalau kondisimu begini,” ujar Rina. Rina memang benar. Aku harus tetap kuat. “Sekarang ini dokter sedang menangani Cinta. Ada om Farid dan kak Randu di sana. Kamu bisa istirahat sejenak. Aku akan menebus obat dulu.” Rina kemudian berdiri. “Kamu bisa sendiri kan?” tanya Rina. Aku hanya bisa mengangguk.

Sepeninggal Rina, aku ingat Cinta lagi. Rasa mual tiba-tiba kembali menyerangku. Aku berusaha memejamkan mataku sekuatnya. Aku harus kuat. Aku harus kuat, batinku. Apa juga yang bisa aku lakukan dengan kondisi begini jika aku memaksakan.

Rina datang dengan membawa obat dan beberapa bungkus biskuit dan air mineral. Setelah membuka kemasannya Rina menyodorkannya padaku. Tiba-tiba aku teringat kembali saat-saat kami kuliah dulu. Merk biskuit itu yang dulu sering ada dalam tas kuliah kami, sebagai pengganjal lapar jika belum sempat makan. Aku melirik Rina dengan mata berkaca-kaca.

“Terima kasih, Rin,” ucapku tulus. Rina tersenyum.

“Niar....,” Rina menghentikan kata-katanya. Aku menunggu sambil mengunyah biskuit. Rina menarik napas panjang. Lama Rina menatapku lekat. Sampai aku selesai minum obat dia belum juga bicara. Aku mengernyitkan keningku. “Sepertinya aku sudah tahu siapa wanita yang Randu cintai,” sambungnya lirih.

Deg! Jantungku seperti mau berhenti berdetak. Siapa dia? Aku balik menatap Rina. Kini mata kami saling tatap. Rina tersenyum.

“Aku harap wanita itu mau menerimanya. Aku akan bahagia jika itu terjadi,” sambungnya sambil meremas jemariku erat. Mataku menyelidik dalam tatapan Rina.”Kamu berhak mendapat semuanya.” Rina meneruskan kata-katanya.

“Aku tidak mengerti,” kataku spontan.

“Kamu akan mengerti nantinya. Atau mungkin kamu pura-pura tidak mengerti?” Rina bertanya dengan raut menggoda. “Baiklah! Aku langsung saja. Sepertinya Randu mencintai kamu.”

“Gila kamu,Rin!” sergahku cepat sebelum Rina menangkap ekspresi kagetku. Aku menoleh keluar ruangan. “Hati-hati kalau kamu bicara. Nanti didengar Randu.”

Rina tertawa pelan. “Memangnya kenapa?” tantangnya.

Mataku jadi mendelik. “Randu bisa marah kamu bilang begitu. Aduuh, aku tidak ingin dengar sindiran-sindirannya lagi,” jawabku gusar. “Kamu ini suruh aku istirahat malah membebaniku.”

“Emang kamu terbebani?” Rina terus menggodaku.”Ok, istirahatlah!” Rina menepuk lenganku. Lalu membisikkan sesuatu sebelum pergi. “Besok aku akan kembali ke Molinese. Aku tidak bisa menemanimu.”

Aku tertegun sesaat kemudian menarik napas berat, mengabaikan ocehan Rina tadi. Kini aku harus berusaha beristirahat, meski aku tidak yakin apakah bisa karena bayangan Cinta yang lemah terus berkelebat. Detik demi detik telah berlalu. Kini hampir sejam aku terbaring tanpa bisa apa-apa. Ya, Tuhan! Apa yang terjadi dengan Cinta. Mengapa tak ada seorangpun yang datang memberitahuku. Waktu terasa begitu lambat jalannya. (Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun