Mohon tunggu...
SN W
SN W Mohon Tunggu... Penjahit - Biasa saja

Kejujuran itu penting walau kadang menjadi bumerang buat kita

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cintaku, Nodamu (16)

21 November 2014   15:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:14 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku membuka mataku saat merasakan sebuah sentuhan pada tanganku. Suasana yang serba putih membuatku sempat berpikir tapi akhirnya menyadari di mana aku berada. Aku menadapati wajah Randu tepat berada di sampingku. Aku mencoba bangkit. Aku ingat tadi aku bukan berada dalam ruangan ini. Selang infus yang tertarik karena gerakan tanganku membuatku meringis. Aku baru sadar kalau ternyata aku diinfus.

“Apa yang terjadi?” kataku linglung

“Jangan banyak bergerak dulu!” Randu mencegahku.

“Apa yang terjadi?” Aku mengulang pertanyaanku.

“Kamu tadi pingsan. Seharusnya tadi kamu istirahat saja. Mengapa kamu tidak mendengar kata suster tadi,” jelas Randu gusar.

Aku mendesah. Aku jadi ingat kini. Karena lama menunggu kabar tentang kondisi Cinta, aku tadi mencoba keluar mencari tahu. Selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi.

“Cinta...bagaimana dia?” tanyaku

“Cinta tidak apa-apa. Kondisinya sudah mulai stabil,” jelas Randu.

“Aku ingin ke sana.” Aku mencoba bangkit.

“Sabar, Niar,” cegah Randu. “Cinta sekarang sedang tidur. Kamu makan dulu.” Nada suara Randu begitu tegas. Membuatku kembali teringat ke masa lalu. Aku memejamkan mataku sejenak.

Tiba-tiba aku merasa badanku terangkat jadi sedikit tegak. Dan Randu sudah ada di sampingku dengan sepiring nasi lengkap dengan ayam goreng dan sup. Randu tidak memberi kesempatan aku bicara. Laki-laki itu langsung mendekatkan suapan pertama ke mulutku. Aku terpaksa membuka mulutku saat mendapati sorot matanya yang tajam. Ekspresi itu....ekspresi yang sangat kukenal jika Randu tidak suka dibantah.

Sungguh aku tidak pernah membayangkan kalau aku akan mengalami hal ini. Disuapi Randu, jika mengingat kami dulu bagaimana. Tidak sadar aku menghela napas dalam-dalam.

“Kenapa?” Randu memicingkan matanya. Ada garis tipis tertarik di sudut bibirnya. Wajahku tiba-tiba terasa menghangat. Aku menunduk. Mungkinkah Randu juga berpikiran sama denganku?

“Biar aku saja. Aku bisa sendiri,” kataku sambil mengulurkan tanganku kepadanya.

Randu bergeming. Seperti tak mendengar kata-kataku, dia terus menyendok nasi dan membawanya ke mulutku. Dan lagi-lagi aku hanya bisa membuka mulutku. Aku memberanikan diri menatapnya.

Seorang perawat masuk. Syukurlah! Aku bisa memintanya melepas infus di tanganku. Perawat itu terdiam sesaat sambil menatapku sejenak setelah aku bicara. Aku memberi isyarat dengan mengangkat kedua bahuku sambil melebarkan sedikit mataku. Mencoba memberi tahu kalau aku tidak apa-apa kini.

Akhirnya perawat itu melepaskan infus dari tanganku. Aku menarik napas lega. Memang kini aku sudah merasa sedikit baikan. Aku menatap piring yang ada di tangan Randu lalu mengulurkan tanganku memintanya. Aku harus makan. Aku tidak ingin pingsan lagi.

“Biar aku saja.” Randu tidak menyerahkan piring yang kuminta.

“Tapi...,Pak,” protesku lirih.

Randu mendelikkan matanya. Hatiku tercekat. Tapi aku harus makan sendiri, batinku di hati.

“Terima kasih,” ucapku kemudian. “Aku bisa sendiri.”

Aku tidak membuka mulutku saat Randu mengulurkan lagi tangannya.

“Aku bilang aku bisa sendiri,” kataku bersikeras. Sungguh aku merasa tak nyaman.

Randu menarik napas dalam-dalam. “Kau masih marah padaku?” tanyanya tiba-tiba. Aku tertegun. Sorot matanya tampak terluka.

“Untuk apa aku marah....,” jawabku lirih.

Randu menyerahkan piring padaku. Aku menerimanya tanpa bersuara. Kemudian aku memasukkan suapan demi suapan ke mulutku hingga isi piring habis. Aku berpikir aku harus menjaga kondisiku mulai kini. Aku selalu tidak ada tiap Cinta drop. Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.

Sementara itu Randu terus memperhatikan aku. Diamengambil segelas air dan menyerahkannya padaku. Aku terpaksa menerimanya.

“Terima kasih,” ucapku kemudian setelah menandaskan isinya. Lalu aku mencoba turun dari tempat tidur untuk mengembalikan gelas yang sudah kosong. Randu membantuku.

Aku menengadahkan wajahku bermaksud menolak. Dan...serr! Darahku berdesir halus. Jarak kami yang begitu dekat membuatku hampir lunglai. Aku berusaha menguasai diriku.

“Di kamar mana Cinta dirawat?” tanyaku setelah meletakkan gelas di tempatnya. Namun tiba-tiba aku tertegun.

“Kenapa?” tanya Randu.

“Sudah malam rupanya,” gumamku sambil melihat keluar jendela. Aku menoleh ke Randu.

“Kamu tadi pingsan lama sekali,” jelas Randu sambil menghela napas berat.

Aku mendesah resah. Bayangan Cinta berkelebat. Apakah Cinta tidak mencariku?

“Cinta memang tadi menanyakanmu,” jelas Randu lagi seperti bisa membaca isi pikiranku. Tapi...”

“Di kamar mana?” Aku memotong bicaranya. Ah, Cinta. Maafkan mama, bisikku di hati. Mendadak aku begitu rindu pada bocah itu.

“Bersebelahan dengan kamarmu ini. Farid sementara menungguinya,” jelas Randu lagi.

Aku segera bergegas. Namun baru dua langkah, tiba-tiba aku merasakan tarikan pada tanganku yang begitu kuat, dan aku pun tersentak saat menyadari aku telah berada dalam pelukan Randu. Aku mencoba melepaskan diriku. Tetapi Randu mempererat pelukannya.

“Maafkan aku,” bisiknya parau.

“Untuk apa?” tanyaku bingung.

“Untuk semuanya. Untuk semua yang pernah kulakukan padamu.” Randu menengadahkan wajahku. “Sebenarnya aku melakukan semua itu hanya untuk mengingkari kata hatiku. Aku baru menyadarinya setelah kau pergi,” aku Randu.

Mata kami saling beradu. Tatapan Randu yang begitu dalam seolah menarikku masuk lebih jauh ke dalam lingkaran misterius yang selama ini mempermainkan hatiku.

“Aku merindukanmu,” bisiknya kemudian. Ya Tuhan! Aku sangat merindukanmu.”

Randu kembali menenggelamkan kepalaku dalam pelukannya. Aku tertegun. Terdiam tanpa kata. Hanya jantungku berdegup keras. Aku dapat mencium aroma parfum lelaki itu bercampur dengan bau tembakau dan keringat, yang kesemuanya perlahan menyentuh indraku. Membuat suatu perasaan damai merangkak pelan dalam hatiku. Perlahan kupejamkan mataku, namun mendadak akuterbelalak saat mendengar suara Cinta memanggil.

“Mama...!?” Cinta tiba-tiba sudah ada di depan pintu dalam gendongan Farid.

Aku gelagapan. Randu dengan tenangnya melepaskan pelukannya. Farid terpaku menatap kami. Tampaknya dia terkejut.

Aku tersenyum sambil mengulur tanganku pada Cinta. Lalu mendekat pada Farid dan mengambil Cinta darinya. Aku mencium pipi Cinta berulang-ulang. Bocah itu tersenyum riang.

“Mah, ayo pulang. Cinta sudah bosan.” Cinta tiba-tiba merengek.

Aku kebingungan. Cinta memang sudah tampak agak membaik, tapi wajahnya masih kelihatan pucat. Aku melirik Farid.

“Apa kata dokter?”

“Cinta sayang. Nanti om tanya dulu sama om dokter, ya!” Farid bicara pada Cinta tanpa menghiraukan pertanyaanku. Cinta melengos. Lalu disembunyikan kepalanya di bahuku.

“Cinta mau pulang,” isaknya pelan.

Kubelai rambutnya penuh kasih. “Ya, sayang...kita pulang, mama pamit dulu sama om dokter. Boleh kan?”

Cinta tidak menjawab. Dia makin mempererat pelukannya. Aku tahu bocah itu sedang menangis pelan kini. Hatiku terasa sakit. Mungkin Cinta tidak ingin aku meninggalkannya lagi. Bisa kubayangkan bagaimana suasana hatinya tiap kali sadar mamanya tidak ada bersamanya, malah dikelilingi oleh orang asing. Ah, aku merasa bersalah. Aku tertegun sesaat. Ada rasa sedih yang menyeruak. Aku menggigit bibir bawahku menahan air mata yang akan keluar.

“Malam ini Cinta akan melakukan tes darah tulang belakang untuk memastikan penyakitnya,” jelas Farid.

Jantungku serasa berhenti berdetak Aku meliriknya. Mengernyitkan dahiku mencoba mengerti kata-katanya barusan.

“Tes darah tulang belakang?” gumamku. Bagaimana bisa darah diambil dari tulang belakang? Membayangkan keadaan yang akan dialami Cinta selanjutnya membuatku shock. Tubuhku terasa gemetar.

Farid menyentuh pundakku sambil tersenyum, mencoba menghiburku. Tapi aku tahu dari sorot matanya lelaki itu menahan kepedihan yang teramat sangat.

Randu mencoba mengambil Cinta dari gendonganku. Cinta mengangkat kepalanya, ditatapnya omnya sesaat, lalu bocah itu mengulurkan tangannya. Randu memeluknya. Cinta merebahkan kepalanya. Dan aku melihat ada kilau di sudut mata Randu.

Aku terkejut. Bukan karena kilau di sudut mata Randu, tapi karena reaksi Cinta. Cinta baru mengenal Randu. Tapi mengapa Cinta tidak menolak lelaki itu? (Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun