DALAM KASUS AKIL, PRESIDEN DALAM LANGKAHNYA PERLU KEBIJAKSANAAN KETATANEGARAAN TERHADAP MK
Oleh: Syamsul Arifin, SH
Penangkapan Akil Muchtar yang baru enam bulan menjabat ketua MK (Mahkamah Konstitusi) oleh KPK secara tangkap tangan memang memberikan efek traumatik psikologis dalam penegakan hukum di negeri ini, mengingat ditengah gencar-gencarnya pemberitaan praktik koruptif hampir disemua lini cabang kekuasan Negara baik di ekskutif, legistatif maupun yudikatif selama ini hanya MK dan KPK lah tempat dimana masyarakat menggantungkan rasa keadilan, akan tetapi semenjak ditangkapnya mantan ketua MK Akil Muchtar Rabu (2/9) malam Reaksi kekeceawaanpun bermunculan dari masyarakat secara luas maupun dari pihak pemerintah termasuk dari bapak Presiden SBY dengan mengundang dan membahas bersama pimpinan-pimpinan lembaga negara lainnya dengan menghasilkan beberapa poin langkah-langkah progresif penyelamatan MK (Mahkamah Konstitusi) yang salah dua poinnya yaitu (a). Presiden akan menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (PERPU) sebagai acuan baru dalam penyeleksian hakim Mahkamah Konstitusi dan, (b) didalamnya akan dimuat pula terkait pengawasan eksternal terhadap hakim konstitusi, namun demikian penulis memiliki pandangan bahwasanya Presiden dalam menyikapi penangkapan Akil Muchtar oleh KPK perlu kehati-hatian dan kebijaksanaan ketatanegaraan sehingga langkah-langkahnya tidak reaktif agresif terhadap MK, oleh karena itu menurut hemat penulis kiranya ada beberapa poin yang harus diperhatikan:
Pertama- apakah benar-benar dibutuhkan presiden mengeluarkan Perpu?
Perpu termasuk rezim regulasi mendesak (Belanda: noodverordeningsrecht) dan dimaksudkan untuk mengatasi keselamatan negara (eks-Penjelasan Pasal 22 UUD 1945). Dari sudut isi sebuah Perpu itu mengatur materi muatan undang-undang. Artinya isi Perpu itu sebenarnya adalah undang-undang yang dibuat dalam kegentingan yang memaksa.
Presiden dapat menerbitakan Perpu karena itu telah menjadi salah satu kewenangan presiden seperti yang telah dikatakan dalam UUD’45, Perpu diterbitkan oleh presiden dalam hal ihkwal kegentingan yang memaksa, namun pertanyaannya sekarang apakah mekanisme seleksi hakim konstitusi yang telah diatur dalam UU MK atau urgensi keberadaan pengawasan eksternal terhadap hakim Mahkamah Konstitusi dapat dijadikan dasar untuk dikatakatan kegentingan yang memaksa atau tetap dikatakan dalam keadaan normal-normal saja berkaitan dengan tertangkap tangannya mantan ketua MK Akil Muchtar oleh KPK? Saya kira itu menjadi hal yang wajib dikaji secara mendalam lagi sehingga jikalaupun presiden tetap bersikukuh menerbitkan Perpu tidak dipijakkan pada dasar yang parsial dan lemah, walaupun memang terminology kegentingan yang memaksa itu tidak diatur dalam perundang-undangan di negeri ini sehingga menjadi hak subyektifitas kaca mata presiden untuk menginterpretasikannya. Hal yang perlu menjadi catatan penulis ialah urgennya pengaturan terminologi hal ihkwal kegentingan yang memaksa dalam peraturan perundang-undangan kita sehingga mampu memberi penjelasan terhadap penerbitan“Perpu dalam keadaan normal, dan Perpu dalam keadaan darurat, kritis atau bahaya,” sehingga betapa sekalipun presiden memiliki wewenang untuk menerbitkan Perpu, tetapi harus tetap didasarkan pada pertimbangan yang matang dan mendasar sehingga tidak menjadi preseden latah perpu kedepannya.
Kedua- legislative revie bisa menjadi solusi
Selain patut di pertanyakan pijakan presiden ketika ingin menerbitkan Perpu, dalam prosenya pun dapat dilakukan penilaian atau melakukan pengujian politik (political review) DPR serta diperlukan persetujuan DPR, sehingga apabila DPR tidak memberikan persetujuan maka Perpu harus dicabut atau dibatalkan. Sehingga penulis berpandangan jikalaupun substansi mekanisme seleksi hakim konstitusi dan urgensi pengawasan eksternal hakim konstitusi dipandang perlu adanya revisi dan penambahan maka legislative revie lah yang paling tepat, mengingat mekanisme seleksi hakim konstitusi diatur dalam UU MK, maka dikembalikan kepada DPR dan Presiden sebagai pembuatnya untuk dilakukan legislative revie. menurut hemat penulis legislative revie yang lebih dimungkinkan untuk digunakan karena (a), penggunaannya tanpa harus didasari pada sebab kondisi tertentu (semisal getentingan yang memaksa yang menjadi dasar Perpu diterbitkan) dan (b), ketika Perpu yang digunakan maka berpotensi untuk dibatalkan atau dicabut ketika pada sidang berikutnya tidak dapat persetujuan DPR.
Ketiga- potensi reduksi antar lembaga Negara
Dalam doktrin trias politica (oleh John Locke 1632-1704 dan Montesquie 1689-1755)memiliki prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan), akan tetapi refleksi filsapati dari prinsip checks and balances system tidak mengurangi prinsip kemandirian dan independensi cabang kekuasaan atau lembaga.
Dalam hal reaksi presiden terhadap penangkapan mantan ketua MK Akil Muchtar dengan mengambil langkah penyelamatan terhadap MK dengan menerbitkan Perpu tidak bisa di interpretasikan sebagai langkah personal tetapi harus dimaknai sebagai langkah kelembagaan, artinya mengingat Presiden dan MK merupakan lembaga negara yang kedudukan dan derajatnya sama dimata konstitusi, serta dicabang kekuasaan yang berbeda yaitu ekskutif dan yudikatif, maka langkah Presidan akan dinilai teralu jauh dan berpotensi menjadi alat untuk mereduksi kemandirian dan independensi MK sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang mandiri dan bebas dari intervensi, ketika materi yang akan dimuat bertentangan prinsip-prinsip kemandirian MK. Perpu menjadi bentuk decretismo (governing by decree), bahkan sekadar instrumentalisasi hukum dan kekuasaan oleh kepentingan tertentu kalau kegentingan yang memaksa penerbitannya tak sesuai kondisi sosiologis.