Malam telah berlalu, Adzan subuh sebagai panggilan sholat membangunkan aku. Mentari pagi datang menyambut, dengan sedikit malu menyapa "selamat pagi wahai pujangga". Sejenak kumelamun membayangkan indahnya rembulan malam. Keindahan yang dihiasi dengan cahaya bintang-bintang yang gemerlapan yang telah meninggalkanku seiring datangnya pagi. Namun lamunanku cepat berlalu seketika, begitu mendengar sapaan dan merasakan sejuknya mentari pagi.
Kuambil sebuah pena, kuukir di atas ketas putih nan suci, sajak-sajak indah tentangmu wahai mentari pagi. Kedatanganmu bagai sebuah obat inspirasi baru, menggantikan indahnya rembulan malam yang semalaman membayangiku. Cahaya manismu memberi warna berbeda pada embun-embun di atas rerumputan. Kecantikan dan keanggunanmu menjadi bunga-bunga di taman, mekar dan semua tersenyum akan kedatanganmu.
Mentari pagi, selembar kertas tak cukup untuk menuliskan rasa kagumku padamu. Namun rasa kagum seakan tersandung pada batu-batu kecil pertanyaan dalam hati. Akankah engkau mau menemaniku sampai siang nanti, saat berubah menjadi mentari siang yang panas. Sudihkah engkau tetap memberikan keindahan padaku saat duduk menatap senja di sore hari, sebelum malam menjemput ajalku ke peristrahatan terakhirku. Hanya tuhan dan engkau wahai mentari pagi yang mengetahuinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H