Pembicaraan mengenai hubungan antara islam dan musik sudah beredar sejak lama yang cukup kontroversial di lingkungan masyarakat. Muhammad Syaltut, mantan rektor Universitas Al-Azhar, mengklaim bahwa musik adalah "salah satu" kesenangan naluriah hidup, seperti sentuhan pakaian lembut, rasa makanan yang enak, atau bau yang harum".Â
Di sisi lain terdapat jenis musik yang dilarang menurut pandangan islam seperti musik yang mengalihkan orang dari jalan Allah SWT. Menurut pandangan ini, musik yang menghasut para pemain atau pendengarnya untuk menjadi lalai dan menganggur dilarang, sejauh itu mengarah pada 'kelupaan akan Tuhan' atau 'perendaman' dalam keduniawian' (Murthy 2010). Meskipun demikian, kehadiran musik dikomunitas Muslim terus berkembang cukup pesat. Terutama menarik bagi kaum muda Muslim, ditandai dengan munculnya sejumlah grup musik islami, seperti Bimbo dan Kyai Kanjeng dan keberadaan genre musik islami seperti qasidah, nasyd, alawah, dan dangdut (Notosudirdjo 2003).
Anne K Rasmussen, seorang etnomusikolog, menyatakan bahwa seni Islam dan musik Islami dibahas dalam banyak konteks, bahkan di antara yang paling otoritas keagamaan konservatif. Oleh karena itu, meskipun ada ketegangan di wacana musik dalam Islam yang lebih condong ke arah larangan, Musik tidak dilarang lepas kendali dan sebenarnya memiliki tempat yang diakui dalam Islam Indonesia (Van Zanten 2011). Musik telah menjadi identitas khususnya bagi anak muda muslim Indonesia, khususnya pada saat bulan suci bulan Ramadhan.Â
Selama Ramadhan, mereka mengenakan pakaian Islami sambil memainkan musik islami, namun, sejak awal 2010, mulai terjadi pergeseran. Beberapa musisi "bermigrasi secara spiritual" (hijrah) ke dunia Dakwah Islam, meninggalkan aktivitas bermusik, bahkan mengaku bermusik kegiatan yang dilarang (forbidden).
Banyak pemuda Muslim menggunakan musik sebagai bentuk "counter-culture" dan ekspresi "kontra-pembentukan". Misalnya, Jacobsen menulis tentang seorang pemuda Muslim Norwegia yang merasa bahwa identitas Muslimnya telah "terpinggirkan dalam produksi budaya arus utama". Ini membawanya ke musik, yang menurutnya "mengartikulasikan dan memberi" menyuarakan pengalaman hidup bersama" (Jacobsen dan Vestel 2018). Di sisi lain, Katy Khan menemukan bahwa musik telah menjadi media untuk menyuarakan kritik di kalangan pemuda Muslim kulit hitam terhadap kebijakan pemerintah AS dan, terlebih lagi, "populer di Amerika" penyanyi Muslim kulit hitam telah menghasilkan budaya tandingan, berusaha untuk memberikan 'sudut pandang alternatif' tentang identitas Muslim" (Khan 2007).
Seorang ulama Umar, dari Pemuda Hijrah, membenarkan larangan musik dengan dalil penyucian jiwa. Seseorang yang berhijrah, menurut Umar, wajib tetap fokus hanya pada Allah dan tidak terganggu oleh hal-hal lain. Musik memiliki pesona yang membuat orang teralihkan, oleh karena itu dianggap kebalikan dari kekhidmatan proses hijrah. Banyak internet situs mendukung larangan musik bagi umat Islam.
Jamaluddin Muhammad menegaskan dua alasan untuk kebolehan musik. Pertama, musik tidak secara konkrit dilarang oleh Al-Qur'an dan Hadist, dan karena musik adalah bidang mu'amalah (masalah sosial). Kedua, dia mengacu pada prinsip al-Ghazali tentang hubungan bentuk-isi yang mendengarkan musik atau bernyanyi tidak berbeda dengan mendengarkan kata-kata atau suara yang diturunkan dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu menyampaikan pesan. "Jika pesannya baik dan mengandung nilai-nilai agama, maka tidak jauh berbeda dengan mendengarkan khutbah atau ceramah agama, dan sebaliknya" (Mohammad 2009).
Hingga saat ini perbedaan pendapat mengenai hukum bermusik dalam islam masih menjadi topik pembicaraan yang kontroversial, banyak dari masyarakat muslim yang mendukung atas larangan adanya seni musik, namun tidak sedikit pula yang mendukung bahwa bermusik merupakan salah satu cara untuk memperkenalkan dan menyebarkan agama islam. Sebagai masyarakat muslim terlepas dari kontroversi tentang seni musik tersebut harus mampu mebedakan informasi yang diberikan, yang sesuai dengan ajaran islam menurut Al-Quran dan Hadist atau tidak, tanpa harus menyalahkan kepercayaan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H