Judul tulisan ini berasal dari bahasa Jawa yang tersusun dari kata selikur yang berarti dua puluh satu dan akhiran -an. Kalo ditranslate kedalam bahasa Indonesia begitu saja berarti duapuluhsatunan. Arti sebenarnya dari selikuran mengacu pada tradisi yang dilaksanakan masyarakat di daerah kami (Magelang) dalam menyambut malam ke-21 di bulan Ramadhan berupa dzikir diikuti dengan makan bersama (kenduri/genduren) dan dilaksanakan di masjid atau mushola. Biasanya selikuran dilaksanakan setelah sholat Isya' dan dipimpin oleh kyai atau ulama setempat.
Tradisi selikuran dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur atas tibanya hari ke-21 di bulan Ramadhan. Rasa syukur ini pantas diwujudkan dalam sebuah ritual karena malam ke-21 Ramadhan menandakan dimulainya kehadiran Lailatul Qadar yang sangat dinantikan oleh semua muslim yang berpuasa. Lailatul Qadar merupakan malam yang dijanjikan sebagai malam yang lebih baik nilainya daripada 1000 bulan atau lebih dari 83 tahun jika diisi dengan ibadah kepada Allah SWT dan tibanya Lailatul Qadar ini ada pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Dengan selikuran yang diisi dengan dzikir dan doa-doa tersebut, diharapkan semua umat Islam yang berpuasa dapat menemui malam Lailatul Qadar tersebut, mengisinya dengan memperbanyak ibadah berupa dzikir-dzikir, membaca Al Qur'an, berdoa mohon ampunan dan rahmat sehingga terpilih menjadi muslim yang berhak untuk mendapatkan keutamaannya yaitu kebaikan melebihi seribu bulan.
Dan malam ini adalah malam ke-21 tersebut, dimana-mana dalam suasana tanpa hiruk pikuk, para warga melaksanakan selikuran. Perburuan sebuah malam yang lebih baik daripada 1000 bulan pun dimulai. Siapa yang akan jadi pemenang, hanya Allah yang tahu..!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H