Mohon tunggu...
Mas Sapari
Mas Sapari Mohon Tunggu... -

Pekerja pendidikan yang masih ingin belajar tentang banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Air Mata Kami Tumpah di Hari Yang Fitri

27 Agustus 2011   06:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:26 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memasuki bulan Ramadhan, seperti ribuan desa lain di negeri ini yang mendadak berubah rutinitas warganya, tanak kelahiranku desa Salakan, sebuah desa kecil di Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang Jawa Tengah berubah pula kehidupan warganya. Pagi sampai siang hari sepi karena kebanyakan dari kami, sibuk bekerja sebagai buruh di Kota Magelang, menjelang sore suasana mulai terlihat hidup karena ibu-ibu rumah tangga sibuk menyiapkan menu berbuka puasa, kami para pemuda dan bapak-bapak sudah pulang dari tempat kerja sedangkan anak-anak pun mulai bermain di luar rumah.

Masuk waktu berbuka puasa yang ditandai dengan adzan Maghrib, denyut kehidupan di desa kami mulai benar-benar terasa. Selesai berbuka puasa di rumah masing-masing, kami pun bergegas menuju masjid kecil di tengah desa untuk segera melaksanakan sholat magrib. Karena sudah pulang dari tempat kerja, maka yang bisa berjamaah sholat Maghrib, lebih banyak daripada jamaah Sholat Ashar. Pun demikian Sholat Isya' yang dilanjut dengan Tarawih berjamaah, masjid penuh sesak oleh jamaah.

Selanjutnya malam-malam Ramadhan pun di hiasi dengan tadarrus ayat-ayat suci Al Qur'an yang terdengar nyaring dari pengeras suara masjid dan ketika memasuki Ramadhan ke-26 biasanya kami, para pemuda yang tadarrus di masjid desa sudah mengkhatamkan Al Qur'an dua kali, tadarrus selama hampir satu bulan pun disudahi dengan kenduri dan doa bersama.

Mulai saat itulah, seluruh warga mulai tenggelam dalam aktifitas menyiapkan diri menyambut Idul Fitri. Membeli pakaian baru, membersihkan rumah dan lingkungan, serta menyiapkan kue-kue lebaran menjadi aktifitas wajib menjelang Idul Fitri.

Dari semua itu, ada satu tradisi unik dalam menyiapkan kue lebaran yang tidak dilakukan secara massal oleh warga desa-desa tetangga, membuat jenang (dodol) yang kami sebut Jenang Lot, jenang yang teksturnya alot/kenyal karena bahan utamanya dari tepung beras ketan. Kalau tidak ada halangan, bisa dipastikan semua keluarga di desa kami membuat Jenang Lot ini dari Ramadhan ke-25 sampai malam Idul Fitri. Inilah yang membedakan Idul Fitri desa kami dengan desa-desa tetangga, tersaji Jenang Lot.

Malam Idul Fitri, ketika semua anggota keluarga yang merantau sudah berkumpul di rumah masing-masing, langit di desa kami dipenuhi dengan gema takbir bersahut-sahutan dengan takbir dari desa-desa tetangga. Laki-laki dewasa, remaja dan anak-anak berkumpul di masjid mengumandangkan satu lafal, Takbir, dan kami melaksanakannya hingga fajar menjelang.

Tiba saat yang dinanti-nanti, kami seluruh warga desa Salakan, pagi-pagi sudah berkumpul bersama di masjid yang kami cintai, bersama-sama dengan khusyuk melaksanakan sholat Id. Setelah rangkaian sholat selesai, kenduri pun dilaksanakan, kami membawa makanan dari rumah masing-masing, berdoa bersama dan makan bersama mensyukuri nikmat hari raya Idul Fitri yang kami rasakan.  Sejenak setelah itu, para pemuda menyulut petasan yang sudah disiapkan jauh-jauh hari, dar der dor, seperti medan perang desa kami dipenuhi suara petasan.

Begitu kegembiraan perayaan Idul Fitri selesai dengan pesta petasan dari para pemuda, segera kami menutup rangkaian perayaan pagi itu dengan melaksanakan silaturahmi bersama-sama yang kami namai dengan badan, atau melaksanakan bodo (lebaran) dengan saling mengunjungi dan minta maaf.

Dimulai dari keluarga masing-masing dengan melaksanakan ritual sungkeman kepada Bapak/Ibu atau simbah (kakek/nenek) sampai akhirnya merata semua keluarga saling mengunjungi. Inilah puncak kebahagian dan keharuan kami, setelah satu bulan melaksanakan puasa Ramadhan dengan memohon ampunan atas dosa-dosa kepada Allah, saatnya tiba bagi kami untuk meminta maaf dan saling memaafkan diantara kami atas dosa-dosa kepada sesama manusia. Saat-saat sungkeman seperti ini, tanpa terasa, dengan segala keharuan, gembira atas perayaan dan sedih atas segala kesalahan, air mata kami tumpah di hari yang fitri ini, mengalir meluluhkan segala keangkuhan diri. Mengakui betapa diri kami adalah manusia-manusia lemah yang penuh dosa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun