Suatu hari Senin saya menunggu cucu pulang sekolah, di sebuah Sekolah Dasar di Bekasi dekat perbatasan dengan Jakarta. Sejak beberapa tahun lalu sekolah ini merupakan Sekolah GRATIS yang operasionalnya dibiayai dengan B.O.S.
Ternyata hari itu saya harus menunggu agak lama, kira-kira 1 jam mundur dari waktu yang ditentukan, sehingga punya kesempatan yang cukup untuk melihat-lihat.
Sepeda motor saya parkir di luar, meski matahari sangat terik tetapi sudah saya siapkan gombal bersih di dalam bagasi, nanti kalau sadel terlalu panas, gombal bisa saya basahi untuk mendinginkan.
Udara Jakarta memang panas, saya mencari tempat menunggu di halaman sekolah yang terlindung dedaunan. Terpikir anak-anak di kelas pasti kepanasan. Di tiapa kelas ada satu atau dua buah kipas angin. Umumnya hanya satu dekat tempat duduk guru. Seharusnya dipilih jenis kipas angin atap (ceiling). Sayapun berpikir untuk menyelenggarakan iuran pembeli kipas angin? Berapa ya iurannya?
Kipas angin memang menjadi tugas orang tua untuk menyediakan (?) melalui persatuan orang tua yang disebut Komite Orang Tua (dulu POMG). Jangan harap pihak sekolah akan menyediakan kipas angin untuk kenyamanan para siswanya.
Jangankan kipas angin, yang bukan perlengkapan studi, sedangkan petugas kebersihan (dulu namanya pak Kebon atau pak Bon) saja tidak ada, tidak disediakan oleh sekolah negeri gratis ini.
Apa jadinya kalau tak ada petugas kebersihan sekolah?
Kebersihan menjadi TANGGUNG JAWAB MURID - bukan Guru. Dengan nama PETUGAS PIKET.
Setiap anak secara bergiliran diberi tugas membersihkan tempat di sekeliling kelasnya.
Kalau dulu saya masih di Sekolah Dasar, yang namanya sampah itu hanya terbatas dedaunan dan kertas (rasanya jarang sekali saya lihat), Tetapi sekarang ini .....,astaga ..... botol minum, plastik bungkus kue, kulit kacang, bekas mainan yang rusak dan daun-daun yang gugur.
Anak-anak di sekolah ini memiliki kedisiplinan yang saya anggap cukup, selalu membuang sampah di keranjang sampah yang tersedia (kira-kira ada 6 buah) yang cukup besar. Tetapi yang namanya anak, membuang sampah kadang tepat di bak, kadang juga tak tepat atau terbang tertiup angin penuh berdebu.
Petugas Piket hari itu adalah dua murid, yang sedang menyapu lantai depan kelasnya. Menyapu, artinya mengayunkan sapu, kalau asal-asalan debu pasti akan beterbangan kemana-mana. Salah satu anak memegang cikrak/pengki, tapi karena menyapunya sembarangan, sebagian masuk got, hanya sebagian kotoran masuk ke cikrak. Kemudian kotoran dituangkan ke keranjang sampah plastik bekas cat. Setelah penuh, mereka berdua mengangkat keranjang sampah ini menuju ke bak sampah di luar halaman sekolah, agak 50 meter jauhnya.
Agak 2 meter dari pintu kelas ada pagar berpintu. Tepat di pintu ini ada seorang ibu memarkir sepeda motornya tepat menghalangi kedua anak yang mengangkat keranjang sampah ini. Ibu ngobrol dengan orang tua murid lainnya, sehingga dua anak ini terpaksa berjalan merapat ke pagar tanaman yang penuh debu.
Kenapa ya ibu ini tak peduli ada dua anak membawa bak sampah, ibu ini tak juga menepi, jangankan menepi, menengokpun tidak!
Sebagai sarana latihan berdisiplin, menjaga kebersihan dan tanggung, saya setuju anak-anak diberi tugas membersihkan lingkungannya, tetapi masalahnya yang mengangkat keranjang sampah itu murid kelas dua yang tingginya kira-kira 115 cm, sedang keranjang sampah plastik itu tingginya 60 cm-an. Anda tahu bak sampah
plastik ini, tentu tak bersih mengkilap - melainkan keranjang yang kotor sekali, penuh debu, ada juga bagian yang basah sehingga debu berwarna hitam menempel disitu cukup tebal.
Bukan apa-apa sih,.... tapi ini hari Senin, anak-anak memakai baju seragam putih-putih. Aduuuh, kalau tersenggol bak kotor itu, sayang bajunya.
Kenapa ya para guru tak mau mempekerjakan petugas kebersihan kelas dan halaman? Lalu buat apa saja sih BOS itu sebetulnya?
Kemudian, dua anak lain mengepel lantai. Iya mengepel, seperti yang sering saya lihat di berbagai tempat, kain pelnya hanya dicelup air saja, tak ada seorangpun yang peduli untuk mengajari bahwa kain pel harus bersih, air yang sudah kotor harus diganti. Maka tak heran kalau air untuk ngepel jadi HITAM, kain pelnya juga HITAM
Kalau sampai terciprat ke anak-anak yang berbaju putih itu?
-
Bagaimana keadaan kamar mandi dan WC nya ?
Jangan tanya lagi, tak usahlah saya ceritakan di sini, bisa terbayang kalau sekolah tak mau membayar petugas kebersihan, apa mungkin gurunya yang membersihkan? atau Komite Orang Tua? Tentu tidak. Sedang Murid hanya bertugas di sekeliling kelasnya.
....
Akhirnya cucuku keluar setelah sejam saya menunggu sambil "melihat-lihat keadaan" organisasi sekolah Negeri dengan B.O.S. ini. Gombal saya basahi di wastafel yang ada di halaman sekolah itu. wastafel yang berlabelkan sponsor salah satu perusahaan susu. Dan cucuku bisa pulang dengan sadel yang telah dingin.