Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Orang Abangan yang Heran dengan Salafus Shalih

6 Januari 2021   18:43 Diperbarui: 6 Januari 2021   18:59 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar :pecihitam.org

Orang Abangan yang Heran dengan Salafus Shalih

Cerpen : Saeran Samsidi

 

                 Pagi itu Mbah Soeh ribut-ribut ngomeli anak dan mantunya. Cucunya mogok enggak mau sekolah. Entah kenapa, jadi ngomprang-ngomprang, "Ndoyooo ... kepriwen si ko dadi wong tua? Ora tau ngurus, ya. Kiye si Zoel ora gelem sekolah. Mogok!"    Ibunya si Zul, mantunya Mbah Soehyah hanya tersenyum, "Sareh Mbaaaah .... sareh .... Nanti kalau sudah lerem bombong saya antar ke sekolah. Kan sudah pakai seragam, pakai sepatu. Terlambat tidak apa-apa. Saya antar nanti"

                Kejadian Zoelkifli anaknya Mas Handoyo dan Mba Sarah, cucunya Mbah Soehyah mogok sekolah sudah beberapa kali terjadi. Si Zoel sekolah di SMP IT favorit. Sekolah yang diselenggarakan oleh perguruan Islam menerapkan pendidikan Islam Terpadu disingkat IT. Sekolah bergengsi itu menyelenggarakan berbagai macam ekstrakurikuler pilihan dan bagi yang jauh rumahnya atau luar kota asalnya, sekolah menyediakan asrama. Boarding school istilahnya.

                "Sar jane kenang apa ko Si Zoel sering ngambek enggak mau sekolah?" tanya Mbah Soehyah pada mantunya.

"Zoel kepengin ikut ekstrakurikuler sekolah, Mbah"

"Lha, mung mau ikut ekstrakurikuler bae koh, ya tinggal ikut. Ora olih neng ko padha, ya?"

"Tidak ... tidak. Boleh saja ikut ko, Mbah. Hanya ......"

"Hanya bagaimana ?"

"Belum bisa memenuhi persyaratannya, perlengkapannya" Sarah mantunya menjawab lemas.

                Begitulah salah satu warga di RT saya yang menjadi tetangga saya dan rumahnya bersebelahan dengan rumah saya. Masalah cucu Mbah Soeh anak bontotnya Mas Handoyo dan Mba Sarah ini yang mogok nggak mau sekolah gara-gara mau ikut ekstrakurikuler sekolah IT itu dan belum bisa disembadani persyaratannya oleh orang tuanya sudah terjadi dual kali. Warga wilayah RT ku ini memang prural. Ada warga yang Tionghoa yang jadi pengurus yayasan sekolah di perguruan Tionghoa yang ngebranding sekolah nasional  tiga bahasa dan yayasannya berbasis Konghucu ada yang jadi guru di Yayasan Dominikus dan ada pula yang jadi tu di SMK Maranata.

                Tampaknya para warga RT yang memiliki 40-an kk beragam agama atau keyakinan atau terpengaruh agama tempat mereka bekerja,, guyub rukun.  Oh, ya. Belum lagi Mba Rahayu yang sering kirim salam rahayu ke wa-ku bila berkomunikasi. Mba Lestari adalah Sekretaris Umum DMW Gema Pakti (Generasi Muda Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME-Indonesia) pustakawan bergelar master di kampus negeri di kotaku dan para warga yang bhineka di RT-ku ini enggak pernah aeng-aeng, neko-neko Wajar saja..

                Pada awal bulan mereka para ibu kumpulan untuk arisan yang diinisiasi PKK RT. Para emak inilah yang paling getol mengadakan kegiatan. Bikin bank sampah, posyandu dan selalu ribet jadi seksi kosumsi kalau ada acara kegiatan peringatan hari nasional, senam sehat setiap Minggu pagi dan heboh banget ngadain lomba konyol-konyolan saat 17-an.

Para bapak juga sering kerja bakti merawat lingkungan. Membersihkan sampah yang dibuang ke kali dari warga RT,  RW di sebelah utara wilayah RT-ku. Gotong royong membuat balai pertemuan warga RT sekaligus dijadikan Posko Covid 19. Yaaah ... pokoknya guyub rukun saling menghargai, menghormati saling membantu walau berbeda-beda agama dan keyakinannya. Terbukti pada  perayaan hari besar agama. Semua warga berkumpul di Gang Cempaka gang utama yang berada di RT-ku. Mereka berhalal-buihalal bersalam-salaman saling memaafkan berjajar sepanjang gang tersebut. Juga ada perayaan  Natal di awal tahun baru sekaligus menyambut tahun baru.

"Mbak nyong arep takon, Mba" suatu hari saya bertanya pada Mba Iyeng yang buka warung sembako di seberang gang depan rumahku.

"Tangled napa, Pak?" Mba Iyeng balik tanya sambil gramakan di grobog mencari rokok yang akan saya beli.

"Kuwe lho, Bu Umi" saya menanyakan tentang Bu Umi, nama aslinya saya tak tahu. Ia sering dipanggil anak-anaknya umi ... umi, istrinya Pak Gufron.

"Nggih, kenging napa, Bu Umi?"

"Kae angger njujugna anake sekolah meng TK  jan mriggani pisan"

"Lha, pripun, si?" Mbak Iyeng tanya lagi heran.

"Kuwe lho, angger numpak motor njujugna anake sekolah. Mriggani banget, mbok kesrimpet apa tabrakan. Bahaya"

"Kesrimpet? Pripun, si?" Mba Iyeng bingung dengan pertanyaanku.

                Lalu kuceritakan kekuatiranku pada Bu Umi yang selalu  memakai baju gamis warna hitam dalam kehidupan sehari-harinya. Ia antar jemput anaknya yang masih TK. Anaknya itu  didudukkan di depan berpegangan stang motor. Baju gamis warna hitam yang tak pernah copot dan mungkin banyak koleksinya itu, kedodoran, gombrang-gombrang menjulur sampai ke sandalnya, pakai burka dengan jilbab yang melambai ke bahu sampai ke pinggang. Saya ngeri membayangkan berkendara motor antar jemput anaknya yang juga berkostum sama dengan ibunya kecelakaan. Mungkin pandangan mata agak terganggu dengan burka, baju kedombrangan bisa nyrimpet masuk ruji motor dan terguling.

                Selepas subuh aku berolahraga. Sehari bersepeda keliling agak jauh sampai ke desa-desa tetangga, sehari berikutnya jalan kaki, begitu bergantian. Jalan kakiku suka menyusur gang-gang setapak di kampungku. Suatu pagi masih gelap sebab mendung menutup langit peristiwa menggelikan terjadi. Saking asyiknya menyelusuri gang-gang sempit, lorong-lorong kampung sambil napak tilas area bermain saat aku kecil aku nyaris bertabrakan dengan mahkluk yang menyeramkan bagiku saat itu. Hiiiii .... terhenyak kaget berhadapan dengan sosok kostum putih-putih, celana cungkrang jenggot nggambreng putih menjulur ke leher dan berselempang serban. Eiiit ... aku melompat menghindar mau lari ketika di pertigaan gang saat membelok, nyaris tabrakan dengan mahkluk itu. Mahkluk itu pun ternyata menyapaku,

"Waaah .... olahraga pagi jalan sehat ya, Pak?"

Tak jadi lari, berhenti, lalu membalik mengamati mahkluk  yang menyapaku. Trataban, masih dheg-dhegan kuamati. Oooo ... Uwa Kaji Fahrudin warga di ujung RT dekat langgar   yang sehari-harinya memang berbusana khas seperti itu, "Oooo .. Uwa Kaji. Jan, kaget kula!"  sambil menarik nafas panjang meredakan dheg-dhegan, "Nggih, Wa. Jaaan ... meh tabrakan, ujar kula ..."

                Sungguh indah lingkungan kampungku, lingkungan RT ku. Selain berpenghuni warga yang bhineka, berbeda-beda agama dan keyakinan juga beraneka busana, pakaian yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti Mas Sri  satu lagi contoh yang berbusana khas. Mas Sri yang mengelola Padhepokan Seni Pinggir Lepen selalu pakai iket di kepalanya. Juga kerap memakai surjan, apalagi bila sedang melatih karawitan dan  ndhalang para muridnya di padhepokan seninya. Lengkap dengan beskap dan jarit dilingkarkan ke celana.

                Yaah ... menarik lah. Kalau mereka bertemu jadi satu, berkumpul kaya parade budaya, lah. Bu Umi yang  berbusana kedodoran gombrang-gombrang lengkap bercadar, berburka. Uwa Kaji Fahrudin, celana putih, baju koko putih, sorban dan udheng-udheng putih serta jenggot nggambreng putih. Mba Lestari yang pakai kebaya lurik dan Mas Sri pakai iket dan surjan. Lingkungan kluwung beraneka warna-warni, guyub rukun saling menghargai dan menghormati masing-masing identitas pribadinya.

                Eee ... bagaimana dengan si Zoel, Zoekifli cucunya Mbah Soehyah? Cucunya Mbah Soeyah yang kerap tak mau sekolah pada hari Sabtu itu karena tak dibelikan alat-alat untuk kepentingan mengikuti ekstrakurikuler di sekolahnya. Sabtu memang hari ekstrakurikuler, para siswa dibebaskan untuk memilih berbagai ekstrakurikuler yang dilaksanakan serentak setiap hari Sabtu.

"Kenging napa si niku putune, mboten purun sekolah, Mbah?"  Saya pernah minta penjelasan perihal Zoelkifli yang lagi ngambek nggak mau berangkat sekolah.

"Lha njaluk alat nggo melu ekstrakurikuler, maksa bae" Mbah Soeh menjelaskan cucunya itu memaksa dibelikan alat-alat untuk ekstrakurikuler.

 "Nggih dipun tumbasaken mawon si, Mbah"

"Ya ora mampu lha, nggo tuku alat kaya kuwe. Anak pejabat apa anak dai kondhang, apa?"

"Lha, alat napa si niku?" lalu Mbah Soeyah menjelaskan,

"Kuwe, alat sing nggo manah. Jerene melu ekstrakurikuler panahan" Ooo ... begitu.

Saya merasa kagum dan salut keberagaman warga RT. Ragam busananya, berbeda-beda agama dan keyakinan, tapi rasanya masih  ada yang mengganjal dan belum mengerti mengapa ada fenomena seperti itu. Terutama ya busana Bu Umi dan Uwa Kaji Fahrudin serta ekstrakurikuler panahan di sekolah IT si Zoel, cucunya Mbah Soeh.

Sampai suatu ketika aku bertemu dengan teman lamaku satu sekolah satu angkatan di sekolah perguruan Katholik dari SMP sampai SMA. Saat kuliah berpisah ia kuliah di UIN dan kini menjadi pengurus LTN PWNU Kabupaten.

"Kuwe ... sing jenenge Salafus Shalih ..." temanku menyebut kata itu.

"Salafus Shalih ..?" saya baru mendengar istilah itu, "Apa si, kuwe?"

"Oooo rika tesih kafir, ya? " teman akrabku  yang aktif di komunitas budaya yang sering bercanda penjorangan khas wong ngapak tertawa terbahak-bahak.

"Nyong krungu kabar jere rika wis nglakoni sholat. Tapi dasar rika abangan ya ora ngerti apa kuwe Salafus Shalih!"

"Abangan?"

"Ya, rika abangan!"

            Lalu dia memaparkan apa itu Salafus Shalih. Salafus Shalih, suatu istilah untuk menyebut tiga masa istimewa pasca Rasulullah SAW yang dinyatakan sebagai umat terbaik (dalam hadits Bukhari-Muslim, Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, lalu manusia yang hidup pada masa berikutnya, lalu manusia yang hidup pada masa berikutnya.") Hendaknya kita semua mengikuti salafus shalih sesuai kehidupan Nabi dan para sahabatnya, agar kita jadi muslim/muslimah kaffah, sampai kepada hal-hal yang artifisial (seperti memanah, berkuda, berjenggot, ber-burqa', makan kurma, tidak pakai vaksin bayi)

            Oooo ... begitu, aku jadi ngeh. Dan itu menambah kekagumanku pada para tetanggaku, warga RT ku yang sudah menerapkan Salafus Shalih dan bisa memahami, menghargai dan menghormati keyakinan ber-salafus shalih mereka, dan, aku yang ....  abangan   ...   ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun