"Ya ora mampu lha, nggo tuku alat kaya kuwe. Anak pejabat apa anak dai kondhang, apa?"
"Lha, alat napa si niku?" lalu Mbah Soeyah menjelaskan,
"Kuwe, alat sing nggo manah. Jerene melu ekstrakurikuler panahan" Ooo ... begitu.
Saya merasa kagum dan salut keberagaman warga RT. Ragam busananya, berbeda-beda agama dan keyakinan, tapi rasanya masih  ada yang mengganjal dan belum mengerti mengapa ada fenomena seperti itu. Terutama ya busana Bu Umi dan Uwa Kaji Fahrudin serta ekstrakurikuler panahan di sekolah IT si Zoel, cucunya Mbah Soeh.
Sampai suatu ketika aku bertemu dengan teman lamaku satu sekolah satu angkatan di sekolah perguruan Katholik dari SMP sampai SMA. Saat kuliah berpisah ia kuliah di UIN dan kini menjadi pengurus LTN PWNU Kabupaten.
"Kuwe ... sing jenenge Salafus Shalih ..." temanku menyebut kata itu.
"Salafus Shalih ..?" saya baru mendengar istilah itu, "Apa si, kuwe?"
"Oooo rika tesih kafir, ya? " teman akrabku  yang aktif di komunitas budaya yang sering bercanda penjorangan khas wong ngapak tertawa terbahak-bahak.
"Nyong krungu kabar jere rika wis nglakoni sholat. Tapi dasar rika abangan ya ora ngerti apa kuwe Salafus Shalih!"
"Abangan?"
"Ya, rika abangan!"