"Kesrimpet? Pripun, si?" Mba Iyeng bingung dengan pertanyaanku.
        Lalu kuceritakan kekuatiranku pada Bu Umi yang selalu  memakai baju gamis warna hitam dalam kehidupan sehari-harinya. Ia antar jemput anaknya yang masih TK. Anaknya itu  didudukkan di depan berpegangan stang motor. Baju gamis warna hitam yang tak pernah copot dan mungkin banyak koleksinya itu, kedodoran, gombrang-gombrang menjulur sampai ke sandalnya, pakai burka dengan jilbab yang melambai ke bahu sampai ke pinggang. Saya ngeri membayangkan berkendara motor antar jemput anaknya yang juga berkostum sama dengan ibunya kecelakaan. Mungkin pandangan mata agak terganggu dengan burka, baju kedombrangan bisa nyrimpet masuk ruji motor dan terguling.
        Selepas subuh aku berolahraga. Sehari bersepeda keliling agak jauh sampai ke desa-desa tetangga, sehari berikutnya jalan kaki, begitu bergantian. Jalan kakiku suka menyusur gang-gang setapak di kampungku. Suatu pagi masih gelap sebab mendung menutup langit peristiwa menggelikan terjadi. Saking asyiknya menyelusuri gang-gang sempit, lorong-lorong kampung sambil napak tilas area bermain saat aku kecil aku nyaris bertabrakan dengan mahkluk yang menyeramkan bagiku saat itu. Hiiiii .... terhenyak kaget berhadapan dengan sosok kostum putih-putih, celana cungkrang jenggot nggambreng putih menjulur ke leher dan berselempang serban. Eiiit ... aku melompat menghindar mau lari ketika di pertigaan gang saat membelok, nyaris tabrakan dengan mahkluk itu. Mahkluk itu pun ternyata menyapaku,
"Waaah .... olahraga pagi jalan sehat ya, Pak?"
Tak jadi lari, berhenti, lalu membalik mengamati mahkluk  yang menyapaku. Trataban, masih dheg-dhegan kuamati. Oooo ... Uwa Kaji Fahrudin warga di ujung RT dekat langgar  yang sehari-harinya memang berbusana khas seperti itu, "Oooo .. Uwa Kaji. Jan, kaget kula!"  sambil menarik nafas panjang meredakan dheg-dhegan, "Nggih, Wa. Jaaan ... meh tabrakan, ujar kula ..."
        Sungguh indah lingkungan kampungku, lingkungan RT ku. Selain berpenghuni warga yang bhineka, berbeda-beda agama dan keyakinan juga beraneka busana, pakaian yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti Mas Sri  satu lagi contoh yang berbusana khas. Mas Sri yang mengelola Padhepokan Seni Pinggir Lepen selalu pakai iket di kepalanya. Juga kerap memakai surjan, apalagi bila sedang melatih karawitan dan  ndhalang para muridnya di padhepokan seninya. Lengkap dengan beskap dan jarit dilingkarkan ke celana.
        Yaah ... menarik lah. Kalau mereka bertemu jadi satu, berkumpul kaya parade budaya, lah. Bu Umi yang  berbusana kedodoran gombrang-gombrang lengkap bercadar, berburka. Uwa Kaji Fahrudin, celana putih, baju koko putih, sorban dan udheng-udheng putih serta jenggot nggambreng putih. Mba Lestari yang pakai kebaya lurik dan Mas Sri pakai iket dan surjan. Lingkungan kluwung beraneka warna-warni, guyub rukun saling menghargai dan menghormati masing-masing identitas pribadinya.
        Eee ... bagaimana dengan si Zoel, Zoekifli cucunya Mbah Soehyah? Cucunya Mbah Soeyah yang kerap tak mau sekolah pada hari Sabtu itu karena tak dibelikan alat-alat untuk kepentingan mengikuti ekstrakurikuler di sekolahnya. Sabtu memang hari ekstrakurikuler, para siswa dibebaskan untuk memilih berbagai ekstrakurikuler yang dilaksanakan serentak setiap hari Sabtu.
"Kenging napa si niku putune, mboten purun sekolah, Mbah?" Â Saya pernah minta penjelasan perihal Zoelkifli yang lagi ngambek nggak mau berangkat sekolah.
"Lha njaluk alat nggo melu ekstrakurikuler, maksa bae" Mbah Soeh menjelaskan cucunya itu memaksa dibelikan alat-alat untuk ekstrakurikuler.
 "Nggih dipun tumbasaken mawon si, Mbah"